Elisabet Stevani br Situmorang, tadinya, seorang mahasiswa berprestasi dan genius di kampusnya.
Namun, setelah ibunya meninggal dan ayahnya menikah lagi, Elisabet kecewa dan marah, demi menghibur dirinya ia setuju mengikuti ajakan temannya dan kekasihnya ke klup malam, ternyata ia melakukan kesalahan satu malam, Elisabet hamil dan kekasihnya lari dari tanggung jawab.
Karena Ayahnya malu, untuk menutupi aib keluarganya, ia membayar seorang pegawai bawahan untuk menikahi dan membawanya jauh dari ibu kota, Elisabet di kucilkan di satu desa terpencil di Sabulan di Samosir Danau toba.
Hidup bersama ibu mertua yang yang sudah tua dan ipar yang memiliki keterbelakangan mental, Elisabet sangat depresi karena keluarga dan suaminya membuangnya saat ia hamil, tetapi karena kebaikan ibu mertuanya ia bisa bertahan dan berhasil melahirkan anak yang tampan dan zenius.
Beberapa tahun kemudian, Elisabet kembali, ia mengubah indentitasnya dan penampilannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sonata 85, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Awalnya Ingin Marah
Kita tidak bisa memilih , kita akan hidup di mana dan lahir dari Ibu yang mana, tetapi Tuhan menciptakan dua takdir untuk manusia, takdir yang bawaan dan takdir pilihan kita, yang akan kita jalani.
Bonar tidak ingin lahir dari ibu yang miskin, tetapi itulah hidup yang diberitakan Sang Pencipta, mendapat hinaan , bully, itulah yang membuat Bonar sangat membenci keluarganya, terutama kakak perempuannya yang idiot.
Saat mereka masih kecil, Bonar selalu meneriaki sang kakak menyebut wanita itu pembawa sial bagi hidupnya, meneriaki wanita itu untuk mati, karena Nurlah ia selalu di ledek dan dihina sama teman-temannya. Bonar kecil tidak punya teman, semua menjauhi menyebutnya adik orang gila.
Tetapi setiap kali ia memukul dan meminta Nur untuk mati, wanita itu tidak pernah marah .
Pulang dari rumah bapa udanya, Bonar menyetir ke sebuah taman, ia duduk di sana sendirian, hinaan keluarganya benar-benar melukai harga diri dan hatinya, ia mengerjap-erjapkan mata agar bendungan air yang tertahan sedari tadi tidak tumpah, ia mengangkat kepala ke atas .
Ingatan masa kecil itu kembali melintas di pikirannya, di mana saat kecil di suatu hari, ia pulang sekolah, dan saat itu turun hujan, Bonar basah kuyup, dari kejauhan Nur datang menjemput Bonar, ia membawa daun pisang sebagai pengganti payung, bukan bukannya merasa senang, ia malah memukuli Nur pakai kayu dan meninggalkan di jalan, saat tiba di rumah, Bu Lisda dan bapak Bonar tanya luka-luka di kaki Nur, gadis idiot itu mengisyaratkan dengan bahasanya kalau ia jatuh, padahal wanita malang itu tidak pernah berbohong. Namun, demi melindungi Bonar dari bapak mereka, ia berbohong, bapak Bonar lelaki yang ringan tangan, setiap kali ia mabuk dari lapo(kafe) Bu Lisda dan Bonar akan jadi sasaran amukannya, tetapi ajaibnya bapak Bonar sangat sayang sama Nur.
“Maafkan aku Kak, mungkin … ini balasan, dari perlakuanku selama ini padamu,” lirihnya dengan mata berkaca-kaca.
Ia merogoh kantung celananya dan mengeluarkan ponsel, jemari itu menekan nomor Vani.
Sementara di sisi lain tepatnya di rumah Vani.
Karena hari itu hari minggu badan Vani balas dendam, setelah mandi, selesai serapan ia hanya tidur-tiduran di dalam kamarnya sementara Jonas, Nur, Bu Lisda lagi berkreasi di kebun belakang.
Saat lirik lagu Adele ‘easy on me’ berkumandang di kamar Vani, pendengarannya teralihkan ke ponsel yang bergetar diatas nakas, dengan cepat ia menyambar benda pipih persegi empat tersebut, ia berpikir itu panggilan dari William, ternyata nama pemanggil Bonar. Ia mengecilkan volume musik.
“Ada apa lagi sih Pak Bonar, dari tadi nelpon mulu, Abang pasti kangen berat padaku.” Vani berseloroh. Tetapi tidak ada suara, Bonar diam.
“Bang …?” hanya suara napas panjang yang terdengar.
‘Pasti terjadi sesuatu padanya’ Vani menduga-duga dalam hati.
Beberapa detik mereka berdua hanya diam, “ Bang, kalau tidak bicara aku menutup teleponnya.”
“Apa kamu puas sekarang!”
“Puas karena apa,” balas Vani.
“Kamu puas sekarang karena mereka merendahkan ku! Menghinaku! Puas kamu Vani!”
“Aku tidak mengerti apa yang abang katakan”
“Kamu tidak tahu, bapa uda, namboru, bahkan Johan anak bau kencur juga ikut memakiku, tadinya aku datang ke sana dengan percaya diri, tapi aku keluar dari rumah karena aku merasa dipermalukan.”
Vani mendengar Bonar seperti orang menangis, ia diam mendengarkan apa saja yang di katakan Bonar, terdengar seperti curhatan .
“Aku tidak ada niat untuk bikin abang menangis seperti ini”
“Tapi buktinya kamu melakukannya Vani, kamu menyebabkan aku dapat perlakuan seperti itu”
“Bang … apapun yang kamu katakan, kita tetap pasangan suami istri, walau pun cinta ataupun tidak cinta, aku tetaplah seorang istri dari marga Sinaga, menantu dari boru Silaban”
“Tapi nyatanya, pernikahan kita hanya sebuah perjanjian, aku dan kamu tidak pernah menganggapnya serius”
“aku menganggapnya serius, makanya aku bertahan sampai sepuluh tahun”
“Tapi aku tidak Vani, aku ingin menikah dengan wanita yang benar- benar aku cintai dan mencintaiku”
“Tapi abang menemukannya tidak?”
“Itu karena kamu yang menghancurkan rencana ku”
“Baiklah terserah abang saja, pus-puaskan saja dulu, jika kamu sudah lelah maka berhentilah”
‘Pada saat kamu berhenti, mungkin aku tidak akan menunggumu lagi … mungkin aku sudah berbalik badan dan mencari kehidupan untukku sendiri’ ucap Vani dalam hati.
“Apa yang harus aku lakukan Vani, aku hanya ingin membuktikan pada keluarga bapa uda itu, kalau aku bukan Bonar yang dulu lagi, aku bukan anak yang mereka perbudak dulu … Tapi jadinya malah seperti ini, aku sedih bangat, hatiku sangat sakit Vani, apa kamu tahu rasanya dihina dan direndahkan dari kecil?”
“Bang, rasa sakit dalam hati dan dendam, akan membuat hatimu tidak tenang, cobalah berdamai dengan hati dan buang rasa dendam mu pada mereka. Kamu tidak perlu pembuktian pada mereka, lakukan yang terbaik , biarkan alam yang bekerja”
“Kamu tidak tahu sih Vani … bagaimana inang uda itu memperlakukanku, apa salah aku menunjukkan kalau aku sudah sukses, kalau aku sudah sarjana?”
“Itu namanya kesombongan Bang, aku sudah bilang sama abang, lakukan yang terbaik, biarkan alam dan Tuhan yang bekerja, hidup manusia itu akan selalu berputar”
“Mudah mengatakannya Vani, tapi susah untuk melakukannya, kamu belum pernah mengalami apa yang aku alami, makanya kamu bicara seperti itu,” ujar Bonar.
Ia tidak sadar kalau Vani mengalami hal yang lebih menyakitkan dari yang dialami Bonar.
Vani membuang napas panjang,
“ lalu yang aku alami sekarang apa bang … !? apa aku harus menceritakan lagi semua sama abang, aku hamil karena dijebak adik tiri malam itu ? lalu kekasihku menghilang dan bapakku menamparku karena aku hamil, lalu aku dinikahkan ke karyawannya dan kucilkan di desa terpencil tanpa uang, tinggal dengan ibu mertua yang sangat miskin, setiap hari dapat hinaan dari tetangga. Apa aku menjelaskan ulang semua penderitaan yang aku alami”?
Bonar diam, ia baru tahu kalau Vani hamil karena dijebak Winda, selama ini ia berpikir kalau Vani datang ke bar malam itu untuk mencari pelarian, karena malam itu Bonar juga ada di sana saat Vani minum-minum dengan teman-temannya.
“Apa kamu dijebak?” tanya Bonar.
“Sudahlah jangan membahasnya lagi, aku benci membahas wanita keparat itu, aku jadi marah jadinya kalau menyinggung tentang mereka.
Berikan aku uang bang. Kami ingin makan-makan enak sama inang malam ini”
“Baiklah mana nomor rekening mu?”
‘Eh … tumben mau’ Vani membatin.
“Abang tumben mau, aku juga mau bayar kontrakan , terus beli baju”
“Makanya, ngapainlah kau bawa mama itu ke Jakarta ? di sini semua serba mahal, nanti apa yang mau kasih buat makan mama, apa kau sudah kerja rupanya”?
“Sudah”
“Kerja apaan?”
“OB”
“APA?”
“Kok abang kaget yang penting halal kan”
“Janganlah, kamu berhenti … bagaimana kalau pak Sudung tau. Kamu berhenti saja, nanti aku cari rumah untuk kalian tinggali nanti aku cari kerjaan sama kamu, ya sudah mana nomor rekening mu”
“Jangan sebut lelaki itu, aku tidak suka”
“Baiklah, aku tutup teleponnya dulu, aku lapar,” ujar Bonar.
“Bang, hatinya sudah adem belum”
“Belum … ini mau ngadem dulu, lapar dari tadi”
Niat awal menelepon Vani ingin memarahinya dan memaki-makinya, berpikir perlakuan keluarga yang ia terima karena Vani datang ke sana. Tanpa terduga, setelah mencurahkan semua unek-unek dala hati pada sang istri semuanya jadi lega.
Bersambung