Seorang arsitek muda bersedia mengikuti rencana iseng temannya dalam sebuah perjodohan atas dasar peduli teman. Namun siapa sangka, rencana tersebut malah menyebabkan konflik serta membongkar kasus yang melibatkan beberapa oknum pengusaha dan aparat. Bahkan berujung pada terancamnya kerajaan bisnis dari sebuah keluarga keturunan bangsawan di Perancis.
Bagaimana akhir dari rencana mereka? Simak kisah seru mereka di novel ini. (un) Perfect Plan. Semoga terhibur...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puspa Indah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAGIAN 23
Andre terkejut dengan ucapan Pierre. Dia mengerutkan keningnya, bertanya-tanya apakah yang baru didengarnya tadi memang seperti yang dia sangka.
"Pierre, apa maksudmu?"
Pierre kembali menghela nafasnya.
"Aku yang memberitahu Pére tentang Tiara", ucapnya dengan lebih nyaring.
Andre ternganga mendengar pengakuan Pierre. Wajahnya menunjukkan bahwa dia tak memahami kenapa kakaknya sampai berbuat demikian.
"Maafkan aku Andre, tapi aku terpaksa melakukan itu. Kau bersikeras menghubungi Intan agar bicara dengan Tiara. Aku.. aku tak bisa percaya sepenuhnya kalau Intan tak akan membujuk Tiara untuk menentang rencana Pére"
"Tapi.. tapi kenapa kau berbuat seperti itu Pierre. Bukankah kita sudah sepakat akan bicara baik-baik dengan Tiara. Memberinya pengertian akan situasi yang sedang keluarga kita hadapi. Dan memberikan dia kesempatan untuk memutuskan, langkah apa yang ingin dia ambil", Andre kini tak bisa menahan suaranya karena emosi.
Pierre memalingkan wajahnya ke rumah, khawatir kalau anak dan isterinya mendengar suara Andre yang meninggi.
"Tolong pelankan suaramu. Jangan sampai isteriku mendengar pembicaraan kita", ucapnya sedikit panik.
Andre hanya mendengus kesal. Kemudian mendekati Pierre agar bisa berbicara lebih pelan.
"Dengar, aku tahu kau menyayangi Pére. Dan kau juga tidak perlu meragukan rasa sayangku padanya. Tapi permasalahannya adalah, apa kita akan mengorbankan adik kita begitu saja untuk kepentingan Pére dan saudara-saudaranya?"
Pierre kembali terdiam. Kepalanya menunduk dan hanya sesekali menatap Andre seperti orang yang telah melakukan kesalahan besar.
"Andre, aku.. belum memberitahumu. Sebenarnya aku melakukan ini juga demi isteri dan anak-anakku"
"Apa maksudmu? Bagaimana Celine dan anak-anakmu bisa berhubungan dengan masalah ini?"
"Karena.. sebenarnya aku juga terlibat dalam masalah Pére. Bagaimana nasib isteri dan anak-anakku nanti kalau aku juga ikut jadi tersangka dalam kasus itu? Aku secara pribadi juga berhutang budi pada Gerard Vermont. Aku benar-benar takut kalau Gerard membongkar semuanya karena Louis gagal mendapatkan Tiara"
Bugh!!
Sebuah pukulan keras dari Andre mendarat di rahang Pierre dan membuatnya tumbang. Pierre terbelalak kaget tak percaya sambil memegang rahangnya yang sakit bukan main akibat pukulan itu.
Dari dalam rumah terlihat Celine berlari hendak menghampiri keduanya. Tapi sebelum wanita itu sampai, Andre sudah pergi meninggalkan Pierre yang masih terduduk di tanah dengan pandangan kesal. Entah pada Andre, atau pada dirinya sendiri.
********
Mita mengambil ponselnya yang berbunyi. Ternyata panggilan dari Alin. Mita mengerutkan dahinya seraya berdiri menuju jendela kaca bagian depan rumah Zaki untuk melihat keluar. Mengapa mobilnya tak ada di depan?
"Ya, kenapa?"
"Apa? Bagaimana kamu tahu?"
Mita tersenyum.
"Kamu memang hebat!"
"Baiklah, aku mengerti. Jangan khawatir"
Ia kemudian menutup panggilan itu kemudian kembali duduk di kursi tamu menunggu kedatangan Zaki dan Rizal.
Mama Chika keluar dari dalam sambil membawa nampan berisi teh dan makanan kecil lalu meletakkannya di meja.
"Aduh, maaf. Jadinya merepotkan" Mita jadi merasa tak enak.
"Ah, cuma ini aja kok Mbak. Gak merepotkan sama sekali. Aku juga malah senang dapat kenalan baru"
Terdengar suara motor di halaman, kemudian pintu depan terbuka.
"Assalamualaikum..", ucap Zaki dan Rizal beriringan.
Mita menjawab salam mereka diikuti Mama Chika yang kemudian permisi kembali ke dalam karena mendengar tangisan Chika.
"Mobilnya kemana Mbak? Kukira tadi Mbak Mita sudah pulang", tanya Zaki seraya duduk di kursi.
"Ya.. begitulah hidupku Zak. Gak bisa bebas kemana-mana tanpa ada yang mengawasi. Untungnya Alin sudah antisipasi, jadi dia bisa tahu kalau ada mobil orang suruhan papa yang mau mencari tahu aku lagi dimana"
Sementara Zaki malah menatap iba. Dan ternyata lelaki di sebelahnya juga terlihat begitu.
Tak ada suara selama beberapa detik dan Mita menyadari kalau kedua orang di hadapannya merasa prihatin padanya dan itu membuatnya tak nyaman.
"Kalian kenapa sih? Kok jadi diam gitu. Gimana kelanjutan pembicaraan kita tadi?", ucapnya menyadarkan Zaki dan Rizal.
"Ah, iya. Kok sampai lupa. Itu tuh Bang, seperti yang tadi aku bilang ada oknum kepolisian yang bermain di kasus ini", Zaki mengulang apa yang disampaikannya sebelum sholat tadi.
Rizal menyeruput teh untuk melegakan tenggorokannya.
"Iya, aku juga sudah tahu", Rizal mendengus kesal.
Zaki mengerutkan dahinya.
"Aku sudah lama mencurigai beberapa orang yang jadi mafia kasus, hanya saja aku tak punya buktinya"
Zaki mengangguk-angguk tanda paham.
"Sebenarnya aku sama Arya sudah dapat keterangan dari informan kami tentang beberapa orang yang sepertinya terlibat dengan manipulasi kejadian tabrakan itu. Seorang jurnalis bernama Lastri dan dua orang polisi"
"Lastri? Apa mungkin dia itu salah seorang jurnalis yang sering ketemu papaku ya?", tanya Mita yang sebenarnya lebih tertuju pada dirinya sendiri.
"Ya mungkin aja Mbak. Tapi sayangnya sampai sekarang aku belum bisa ketemu dia"
"Terus, yang polisi?", tanya Rizal.
Zaki menggaruk-garuk kepalanya yang tiba-tiba terasa gatal.
"Ya itu tuh bang, yang rada horor. Informan kami bilang namanya Pak Deni"
"Pak Deni? Wakabareskrim?", Rizal mengkonfirmasi.
"Ya.. kecuali ada Pak Deni yang lain"
"Yang ini?", tanya Mita seraya menunjukkan foto di layar ponselnya.
Di situ nampak foto dirinya, ayah tirinya dan seorang anggota polisi.
"Saya gak tahu Mbak, belum pernah ketemu"
"Ya memang itu Pak Deni. Sepertinya kalian kenal dekat", selidik Rizal, karena Mita pernah ke kantor polisi dan meminta bertemu orang itu.
"Sering ke rumah ngobrol sama Papa. Kadang juga main golf atau mancing bareng. Pokoknya lumayan dekat lah sama Papa"
"Ternyata orangnya masih muda ya, kirain dah tua. Secara jabatannya Wakabareskrim gitu. Kayaknya paling lebih tua dua atau tiga tahun doang dari Bang Rizal", celetuk Zaki.
"Tapi koneksinya Zak.. apa sih yang gak bisa kalo sudah punya koneksi tingkat tinggi. Ya gak?", sahut Rizal seraya matanya mendelik ke arah Mita.
"Kamu nyindir aku? Ngiri sama Deni yang punya jabatan tinggi, sementara kamu masih jalan di tempat? Gitu?", protes Mita, tak senang dengan ucapan Rizal yang menyinggungnya.
"Aduh.. kok gini lagi sih? Bang, Abang kan tadi sudah janji. Jangan gitu dong Bang, please...", Zaki meringis memohon pada Rizal.
"Iya, iya.. sensitif banget sih"
"Apa kamu bilang? Sensitif? Bukannya mulut kamu tuh yang gak ada remnya. Ngomong sembarangan.." Mita kembali kesal.
"Siapa yang ngomong sembarangan, memang kenyataannya begitu kan?"
"Stop.. stop! Kalo terus-terusan begini, aku do'a in kalian jodoh. Biar bisa puas berantem kapan aja!", Zaki sangat kesal sampai mengeluarkan kata-kata asal.
Akhirnya ia terpaksa harus menerima saat kepalanya di keplak Rizal akibat omongan ngawurnya.
"Sekali lagi kamu ngomong macam-macam, aku pecat kamu jadi ipar", ancam Rizal.
"Iya bang, maaf. Tapi tolong jangan berantem lagi ya. Entar urusan kita gak selesai-selesai nih..",
"Iya!", sahut Rizal ketus kemudian mendelik ke arah Mita.
Wajah Mita kini terlihat memerah, sepertinya ia juga sangat marah dengan ucapan Zaki. Atau malu?
"Terus, yang satunya lagi siapa?", tanya Rizal kembali ke pembicaraan mereka sebelumnya.
"Informan kami lupa namanya, katanya susah. Terus, tadi pagi aku kan dapat rekaman CCTV yang lebih jelas tentang tuduhan kalau Arya ketemu sopir tronton itu. Nah.. kayaknya rekaman ini menjelaskan, siapa orang kedua itu", Zaki bersemangat menunjukkan layar ponsel kepada kedua lawan bicaranya.
Di situ terlihat seseorang dengan tampilan dan gaya berpakaian yang mirip Arya. Tapi ketika diperhatikan wajahnya, sangat jelas kalau itu bukan Arya.
"Fritz?", tanya Rizal.
"Iya Bang. Ternyata dia yang ketemu sopir itu, dan sengaja memfitnah Arya dengan memakai pakaian seperti itu"
"Tanyain ke teman kamu, si Fritz juga sering ke rumah dia atau gak", ucap Rizal dengan pandangan yang tak jelas ke arah mana.
"Teman yang mana Bang, Arya?", tanya Zaki tak mengerti.
"Ck, kok malah Arya sih?! Itu tuh, orang penting depan kamu", sahut Rizal kesal.
Sontak Mita melotot kesal tak terima dengan perlakuan Rizal.
"Yah.. mulai lagi. Kenapa gak Abang aja yang langsung nanya sih? Ribet amat. Lagian jangan suka nyindir orang pake sebutan-sebutan begitu bang. Dia kan punya nama. Armita Atmadja... Ya kan Mbak?", bela Zaki, tak enak dengan sikap Rizal.
"Lah, bukannya kamu yang kemaren nyebut dia orang penting. Aku kan cuma ikut-ikutan"
"Sudah, sudah. Iya, dia pernah ke rumah beberapa kali bareng Deni", akhirnya Mita bersuara.
"Bisa dibilang kalau dia itu tangan kanannya Deni"
"Eng.. trus gini Zak. Apa hubungan Pak Deni sama Pak Ibrahim cuma sebatas teman atau.. ada hubungan bisnis gitu misalnya?", tanya Rizal.
Zaki mendengus kesal mendapati kelakuan kakak iparnya. Begitu juga Mita yang semakin jengah dengan sikap Rizal yang dianggapnya semakin absurd.
"Eh, Pak. Saya bisa terima kalau anda ngomong kasar. Tapi kalau anda menganggap seolah-olah saya gak ada, bukannya itu sudah keterlaluan?!", protes Mita tak tahan lagi.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi.
"Alin, kamu di mana?"
"Apa? Ngapain Papa mau ke sana?"
"Aduh, gimana nih?"
"Oke, aku ke sana secepatnya"
"Kenapa Mbak?", tanya Zaki yang melihat wajah panik Mita.
"Itu, Alin kan bawa mobilku ke tempat Ayah supaya Papaku mengira aku di sana. Beliau malah bilang ke Alin kalau mau ke sana juga buat ketemu Ayah sekalian minta ijin mau ngajak aku pulang ke rumah dia malam ini"
"Aku pulang sekarang aja ya. Bahaya kalau sampai keduluan Papa sampai di sana, terus ketahuan kalau aku bohong. Aku bakalan gak bisa kemana-mana lagi", sambungnya seraya membuka aplikasi taksi online di ponselnya.
"Diantar aja Mbak, biar cepat. Tolong Bang, anterin Mbak Mita ya? Abang kan pulangnya searah sama rumah Arya. Pake aja mobilku dulu, entar besok bawa aja ke kantor nanti kutukar di sana sama motor Abang"
"Eh, kenapa musti aku yang antar?! Biarin aja dia pakai taksi", Rizal menolak, tak sudi.
"Aduh Bang.. Ntar lambat kalo harus nunggu taksi lagi. Ayolah Bang... Demi kemaslahatan bersama. Apa susahnya sih tinggal antar doang terus cabut balik ke rumah. Gak usah pake ngobrol. Anggap gak ada siapa-siapa di samping kalian. Ayo cepetan bang.. darurat nih!", ucap Zaki seraya menyerahkan kunci mobilnya dan mendorong Rizal menuju mobil.
"Ayo Mbak.. gak usah mikir apa-apa. Yang penting Mbak secepatnya harus sampai di sana", sambungnya saat melihat giliran Mita yang cuma diam.
Dengan terpaksa dan langkah malas, akhirnya kedua orang itu memasuki mobil Zaki.
"Ayo cepetan! Nanti gak keburu!", Zaki gemas melihat sikap mereka.
"Iya! Ini juga sudah mau jalan. Berisik!", sahut Rizal kesal.
Akhirnya mobil itu pun melaju menuju rumah Arya.
Bagus...