Deskripsi:
Di sebuah ruang sunyi yang dihiasi mawar merah dan lilin-lilin berpendar redup, seorang pengantin dengan gaun merah darah duduk dalam keheningan yang mencekam. Wajahnya pucat, matanya mengeluarkan air mata darah, membawa kisah pilu yang tak terucap. Mawar-mawar di sekelilingnya adalah simbol cinta dan tragedi, setiap kelopaknya menandakan nyawa yang terenggut dalam ritual terlarang. Siapa dia? Dan mengapa ia terperangkap di antara cinta dan kutukan?
Ketika seorang pria pemberani tanpa sengaja memasuki dunia yang tak kasat mata ini, ia menyadari bahwa pengantin itu bukan hanya hantu yang mencari pembalasan, tetapi juga jiwa yang merindukan akhir dari penderitaannya. Namun, untuk membebaskannya, ia harus menghadapi kutukan yang telah berakar dalam selama berabad-abad.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24: MENYUSURI KETIDAKPERCAYAAN
Langit malam yang gelap pekat menyelimuti dunia yang baru saja terlahir kembali. Namun meski keheningan itu seolah menyembunyikan harapan baru, sesuatu yang lebih mengerikan sedang menyelimuti mereka. Kekuatan besar yang masih tersembunyi terus merasuki bumi ini dengan ancaman yang tak terlihat.
Raka berjalan dengan langkah yang penuh tekad, bersama wanita penjaga dan pria tua yang kini telah menjadi bagian dari perjalanan hidupnya. Ketiganya melintasi jalanan yang gelap, dikelilingi oleh pohon-pohon besar yang merunduk seolah menunggu saat untuk kembali hidup. Angin malam yang dingin berhembus, menyentuh kulit mereka dengan sentuhan yang tajam, membawa bau tanah dan kegelapan yang menambah ketegangan.
"Kita harus sampai ke kuil itu," kata wanita penjaga itu, suaranya tegas namun menyimpan kekhawatiran yang tak tampak di wajahnya. "Di sana kita akan menemukan jawaban yang kita cari."
Raka menatap ke depan. Ada perasaan yang menghantuinya. Kuil itu, yang menurut cerita, adalah tempat di mana semua misteri tentang dunia ini disimpan. Namun kuil itu juga dikenal sebagai tempat yang diliputi dengan mitos dan kutukan—satu-satunya tempat yang bisa memberikan mereka petunjuk tentang kekuatan gelap yang tersembunyi itu.
"Apa yang kita cari di sana?" tanya Raka, suara penuh rasa penasaran, namun juga penuh ketakutan yang menggerogoti hatinya. "Apa yang bisa kita temukan di tempat yang begitu penuh dengan misteri?"
Wanita penjaga itu berhenti sejenak, memandangnya dengan tatapan yang penuh makna. "Kekuatan yang mengancam dunia ini ada di sana, Raka. Kekuatan yang belum pernah kita lihat sebelumnya. Jika kita tidak segera menemukannya dan menghentikannya, semuanya bisa hancur lagi."
Pria tua yang berjalan di samping mereka mengangguk pelan. "Kuil itu adalah tempat di mana mereka yang tahu tentang kekuatan dunia ini pernah bersembunyi. Mereka yang tahu tentang ancaman yang lebih besar dari yang kita bayangkan."
Raka terdiam sejenak, merenung. Dia tahu mereka sedang berjalan menuju sebuah kebenaran yang lebih besar, yang mungkin akan mengguncang segalanya yang telah dia kenal. Kegelapan yang telah mereka hadapi sebelumnya hanyalah bagian kecil dari gambaran yang lebih besar.
Mereka tiba di sebuah lembah yang terletak di antara dua gunung besar. Di sana, sebuah kuil tua berdiri megah, namun sangat berbeda dengan bayangan yang ada di benak Raka. Tidak ada cahaya, hanya bayangan kelam yang menyelimuti seluruh kuil itu. Sinar bulan yang samar-samar menyinari temboknya yang rusak, memberikan kesan menyeramkan. Seperti sebuah tempat yang tidak pernah benar-benar hidup, hanya menunggu waktu untuk dihancurkan.
"Kuil ini sudah lama terlupakan," kata wanita penjaga itu dengan suara rendah, seolah menghormati tempat tersebut. "Tidak banyak yang tahu tentangnya. Tetapi di sinilah semuanya dimulai."
Raka merasa ada ketegangan yang mulai merasuki tubuhnya. Dia tahu mereka berada di ambang penemuan yang besar, tetapi apa yang mereka temukan di sini bisa mengubah segalanya. "Apa yang sebenarnya terjadi di sini?" tanya Raka, matanya berfokus pada pintu besar kuil yang terbuka sedikit.
Wanita itu menatap Raka dengan tajam. "Dulu, para penjaga kuil ini adalah mereka yang mengawasi keseimbangan dunia ini. Tetapi ada sesuatu yang salah. Sesuatu yang terjadi di sini yang menyebabkan kehancuran dan membawa kegelapan. Kekuatan yang lebih besar dari yang kita ketahui mungkin telah terlepas dari tempat ini."
Pintu kuil yang berat itu terbuka perlahan, mengeluarkan suara berderak yang mengerikan. Keheningan malam semakin terasa saat mereka melangkah masuk. Di dalamnya, udara terasa lebih berat, kaku, seperti ada sesuatu yang menyelimuti ruang itu. Dinding kuil itu dipenuhi dengan ukiran-ukiran kuno yang hampir tidak dapat dikenali, melambangkan berbagai simbol yang tak dikenal oleh siapa pun di antara mereka.
"Kita harus berhati-hati," bisik pria tua itu, suaranya bergetar. "Tempat ini tidak ramah. Ada kekuatan yang telah lama terperangkap di sini, dan kita tidak tahu apa yang akan terjadi."
Namun, mereka tidak punya pilihan selain terus maju. Raka merasakan langkahnya semakin berat, meskipun tidak ada yang tampak menghalangi mereka. Mereka terus menelusuri lorong kuil yang panjang, dikelilingi oleh bayangan yang bergerak dengan sendirinya. Setiap suara di dalam kuil itu terasa begitu menakutkan, seperti ada sesuatu yang mengikuti mereka dari balik kegelapan.
Akhirnya, mereka sampai di sebuah ruang besar, yang dikelilingi oleh patung-patung kuno yang tampak hidup. Mata patung itu seperti mengawasi mereka, memberikan perasaan yang sangat tidak nyaman. Di tengah ruangan itu, sebuah altar besar terlihat, di mana sebuah batu hitam besar terletak di atasnya, memancarkan cahaya yang sangat gelap, seperti energi yang berbahaya.
"Itu... batu itu..." bisik wanita penjaga itu, wajahnya tampak ketakutan. "Itulah sumber dari kekuatan yang telah merusak dunia ini."
Raka merasa darahnya seperti membeku saat memandang batu itu. Ada sesuatu yang sangat kuat dan jahat yang terpancar darinya, seolah-olah batu itu hidup dan menunggu untuk dibebaskan dari penjara yang telah mengurungnya selama ribuan tahun.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Raka dengan suara yang nyaris tak terdengar.
Wanita itu menarik napas dalam-dalam, seolah mengumpulkan keberanian. "Kita harus menghancurkannya. Jika tidak, dunia ini akan jatuh ke dalam kegelapan yang lebih dalam lagi."
Pria tua itu mengangguk pelan. "Hancurkan batu itu, Raka. Jangan ragu."
Namun, saat Raka melangkah maju, batu hitam itu mulai bergetar, dan suara gemuruh terdengar dari dalam kuil. Angin kencang berputar, dan cahaya merah pekat tiba-tiba menyembur keluar dari batu itu, menerangi seluruh ruangan. Raka merasa seakan-akan dia diserang oleh gelombang energi yang sangat kuat, membuatnya terhuyung mundur.
"Raka!" teriak wanita penjaga itu, mencoba untuk meraih tangannya, tetapi energi gelap itu menghalangi mereka, membuat ruang itu semakin mencekam.
Batu hitam itu mengeluarkan suara yang dalam dan menyeramkan, dan seiring dengan itu, sebuah bayangan besar muncul di atas altar, sosok gelap yang tak tampak sepenuhnya. Wujudnya sepertinya terdiri dari bayangan yang berputar-putar, mengeluarkan suara seperti jeritan dari masa lalu.
"Aku... yang terlupakan..." suara itu bergema di seluruh kuil, menggetarkan dasar hati mereka.
Raka menatap sosok itu dengan ketakutan yang semakin mendalam. "Siapa kamu?" suaranya bergetar.
"Aku adalah kekuatan yang terjebak di dalam batu ini... Aku adalah kegelapan yang mengendalikan dunia ini, dan sekarang... aku bebas."
Sosok itu mulai merayap keluar dari batu, semakin besar dan gelap, membungkus seluruh kuil dengan kehadirannya. Raka, wanita penjaga, dan pria tua itu tidak bisa bergerak. Mereka terperangkap dalam jaring kegelapan yang semakin mengikat.
"Kita harus berhenti!" teriak wanita penjaga itu, suaranya penuh dengan ketakutan. "Jangan biarkan dia keluar!"
Namun, batu itu semakin bergetar hebat, dan suara bayangan itu semakin keras, menciptakan gelombang yang mengguncang seluruh kuil. Dunia ini mungkin baru saja selamat, tetapi dalam bayang-bayang kegelapan yang terlepas ini, mereka akan menghadapi sesuatu yang jauh lebih mengerikan.
"Kegelapan ini tidak akan pernah berakhir."