Aksa harus menelan pil pahit saat istrinya, Grace meninggal setelah melahirkan putri mereka. Beberapa tahun telah berlalu, tetapi Aksa masih tidak bisa melupakan sosok Grace.
Ketika Alice semakin bertumbuh, Aksa menyadari bahwa sang anak membutuhkan sosok ibu. Pada saat yang sama, kedua keluarga juga menuntut Aksa mencarikan ibu bagi Alice.
Hal ini membuat dia kebingungan. Sampai akhirnya, Aksa hanya memiliki satu pilihan, yaitu menikahi Gendhis, adik dari Grace yang membuatnya turun ranjang.
"Aku Menikahimu demi Alice. Jangan berharap lebih, Gendhis."~ Aksa
HARAP BACA SETIAP UPDATE. JANGAN MENUMPUK BAB. TERIMA KASIH.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Tiga Puluh Tiga
Ghendis sedang belajar berjalan di taman belakang rumah Aksa. Dia telah bisa berjalan tanpa bantuan kursi roda lagi. Setelah lelah latihan melangkah, dia duduk di bangku biasanya dia melukis. Pandangan gadis itu tertuju ke taman bunga.
Di sana dia melihat tak ada lagi bunga yang sempat dia tanam kembali. Telah berganti dengan bunga yang baru. Ghendis menarik napas dalam. Teringat kejadian malam itu. Air mata kembali jatuh membasahi pipinya.
"Sekarang kau pasti bangga karena di bela Aksa," ucap Ibu Novi. Entah sejak kapan ibunya Ghendis itu datang. Dia tampak tidak baik-baik saja. Terlihat dari raut wajah yang cemberut.
Ghendis hanya diam tak menjawab ucapan ibunya. Bukannya ingin menjadi anak durhaka. Justru dia takut akan mengeluarkan kata-kata pedas jika menjawab perkataan ibunya.
"Ingat Ghendis, jangan pernah lagi kau meminta cerai. Bersyukur Aksa mau menikahi gadis seperti kamu. Yang entah bagaimana kelakuan kamu selama pacaran dengan Dicky. Mungkin telah tidur bareng," ucap Ibu Novi.
Ghendis tak bisa diam lagi, jika itu menyangkut Dicky. Apa lagi yang mengatakan hal buruk mengenai pria itu. Selama lima tahun pacaran, dia tahu bagaimana kekasihnya itu. Tak pernah sekalipun dia menyakiti hati Ghendis. Jangankan meniduri dirinya, mengecup pipinya saja jarang dilakukan. Dia begitu menjaganya.
"Jangan menuduh begitu, Bu. Aku dan Dicky tak pernah pacaran hingga sejauh itu. Atau Ibu sedang mengatakan Kak Grace. Di rumah saja dia berani pelukan erat dengan kekasihnya apa lagi di luar," ucap Ghendis.
"Jaga mulutmu! Jika dia tidak gadis lagi pasti Aksa telah menceraikan dirinya dari awal pernikahan. Asal kamu tahu, Aksa begitu mencintai Grace, karena tau dia gadis yang sangat baik!" ucap Ibu Novi dengan emosi.
"Jika Ibu sakit hati Kak Grace dikatakan jelek, kenapa Ibu menjelekan aku. Apa karena aku bukan anak Ibu? Jujur saja, Bu. Atau aku yang akan cari tahu sendiri. Selama ini aku menerima semua yang Ibu lakukan padaku, tapi sekarang aku sadar jika itu tak wajar. Kenapa Ibu begitu membedakan aku dan Kak Grace?" tanya Ghendis.
"Itu karena kamu memang beda! Kamu dan Grace jauh berbeda. Dia anak yang baik, dan kamu pembangkang!"
"Jadi aku anak pembangkang? Apakah melawan namanya jika aku ikuti semua mau Ibu? Ibu minta aku masuk fakultas ini, aku ikuti. Ibu mau aku apa pun aku ikuti. Itu yang namanya pelawan. Yang anak baik itu seperti Kak Grace. Saat Ibu minta dia kuliah, justru berhenti karena ingin jadi model!" balas Ghendis dengan kata-kata penuh penekanan.
"Kenapa kamu selalu saja bandingkan dengan Grace? Kau tak pantas di samakan dengan anakku itu. Jauh berbeda!"
"Bukan aku yang selalu bandingkan justru ibu yang melakukan itu semua. Aku selalu saja salah di mata Ibu. Katakan saja Bu dengan jujur, jika memang aku ini bukan anak kandungmu!" ucap Ghendis.
"Itu saja yang kau tanyakan terus. Jika kau memang bukan anak kandungku, Kau mau apa?" tanya Ibu Novi dengan suara tinggi.
"Jika aku memang bukan anak kandungmu, aku pasti tak akan banyak tanya tentang perbedaan perlakuan Ibu selama ini. Jadi benar aku bukan anakmu, Bu?" tanya Ghendis lagi.
"Kau ...."
Ucapan Ibu Novi terputus saat mendengar suara Alice berteriak memanggil Ghendis. Bocah itu berlari menuju gadis itu duduk.
"Mimi ...," ucapnya begitu dekat. Dia lalu mengecup pipi Ghendis.
Ibu Novi hanya memandangi cucunya itu. Alice tak begitu dekat dengannya. Jika di rumah, bocah itu hanya bermain dengan Ghendis.
"Ibu, sudah lama datang?" tanya Aksa. Dia tadi pergi menjemput Mama dan anaknya. Tak menyangka jika mertuanya akan datang berkunjung.
"Baru saja sampai. Ibu mau mengajak Ghendis masuk. Kasihan sendirian di luar," ucap Ibu Novi dengan ramah.
"Aku memang tadi pagi membawanya ke sini agar terkena sinar matahari pagi. Kita masuk lagi, ya," ucap Aksa.
Aksa langsung menggendong Ghendis. Gadis itu ingin melihat reaksi ibunya jika dia memeluk suaminya itu. Bukankah dia selalu berkata jika pria itu tak pernah ada perasaan sedikitpun untuknya.
Ghendis melingkarkan tangannya di leher sang suami dan menyandarkan kepalanya ke dada Aksa. Pria itu justru tersenyum mengira istrinya memang telah memaafkan dirinya. Padahal gadis itu melakukan semua hanya untuk melihat sikap sang ibu. Ibu Novi melihat itu semua dengan cemberut.
Aksa menurunkan tubuh istrinya di sofa ruang keluarga. Alice ikut duduk di sampingnya. Mama Reni muncul dengan sepiring kue.
"Ada kami, Nov. Kapan datang?" tanya Mama Reni.
"Baru saja. Aku ingin melihat Ghendis. Sekalian menjaga Alice. Takutnya Ghendis tak bisa menjaganya," ucap Ibu Novi.
"Ghendis dan Alice biar aku saja yang menjaganya. Sebagai orang tua Aksa, itu kewajibanku menggantikan anakku. Lagi pula rumah kamu jauh, Nov," ucap Mama Reni.
Mama Reni kurang suka dengan Novi sejak tahu temannya itu menekan Ghendis. Dia tak mau menantunya menjadi makin sakit. Aksa juga telah kurang respek dengan mertuanya itu sejak mendengar ucapan wanita itu pada istrinya. Dia sudah meminta seseorang menyelidiki asal usul istrinya. Apakah anak kandungnya Novi atau bukan?
"Ma, aku berencana menjual rumah ini dan membeli rumah yang lebih dekat ke kantor," ujar Aksa.
"Kenapa di jual? Ini rumah impian Grace dari dulunya. Pasti dia akan sedih melihat rumahnya berpindah ke orang lain," ucap Ibu Novi tak terima.
"Nov, kenapa Grace harus marah. Dia sudah tak ada di bumi. Kenapa semuanya harus diingat dan dikaitkan dengannya? Hidup terus berjalan. Kita tak mungkin hanya berjalan di tempat. Menjual rumah bukan berarti melupakan,' ucap Mama Reni.
"Aku tak setuju. Ghendis pasti tak keberatan jika tetap tinggal di rumah ini. Semua foto Grace juga telah kalian turunkan. Apa masih kurang cukup? Apa semua ini maumu, Ghendis?" tanya Ibu Novi.
"Ghendis tak pernah meminta apa pun. Semua atas keinginanku. Novi, Ghendis juga putrimu seharusnya kau juga menjaga perasaannya. Tak mungkin semua foto pernikahan Grace yang terpajang padahal dia istri Aksa saat ini!" ucap Mama Reni.
"Tak, aku tak bisa terima ini," ucap Ibu Novi.
Dia berdiri lalu melihat semua isi rumah Aksa. Mungkin wanita itu baru menyadari banyak perubahan yang terjadi.
"Siapa yang menurunkan foto Grace? Aku mau foto itu tetap terpajang di dinding. Itu sebagai kenangan untuknya. Aku mohon, Aksa! Pasang kembali foto anakku. Hanya dia anakku," ucap Ibu Novi dengan terisak.
Ghendis menjadi sangat iba melihat ibunya begitu. Walau wanita itu selalu membedakan dia dan Grace, tapi dia tetap ibunya.
"Novi, foto Grace masih ada di rumah kamu. Sebagai istrinya saat ini, memang sepantasnya foto Ghendis yang terpajang. Dia anakmu juga'kan?" tanya Mama Reni. Dia sengaja memancing Novi agar mau berkata jujur.
"Ghendis bukan anakku!" ucap Ibu Novi dengan penuh penekanan.
Ghendis begitu terkejut mendengar ucapan ibunya. Begitu juga dengan Aksa dan Mama Reni.
...----------------...
baca cerita Gendist ...
terasa semakin sakit di hati
hatiku ikut sakit