800 setelah perang nuklir dahsyat yang melibatkan Amerika Serikat, Rusia, dan Tiongkok, dunia telah berubah menjadi bayangan suram dari masa lalunya. Peradaban runtuh, teknologi menjadi mitos yang terlupakan, dan umat manusia kembali ke era primitif di mana kekerasan dan kelangkaan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Di tengah reruntuhan ini, legenda tentang The Mockingbird menyebar seperti bisikan di antara para penyintas. Simbol harapan ini diyakini menyimpan rahasia untuk membangun kembali dunia, namun tak seorang pun tahu apakah legenda itu nyata. Athena, seorang wanita muda yang keras hati dan yatim piatu, menemukan dirinya berada di tengah takdir besar ini. Membawa warisan rahasia dari dunia lama yang tersimpan dalam dirinya, Athena memulai perjalanan berbahaya untuk mengungkap kebenaran di balik simbol legendaris itu.
Dalam perjalanan ini, Athena bergabung dengan kelompok pejuang yang memiliki latar belakang & keyakinan berbeda, menghadapi ancaman mematikan dari sisa-s
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17: Ruang Tahta Atlantis
Di pusat kekuasaan Atlantis, Kota Emas, sebuah bangunan megah menjulang tinggi di antara gedung-gedung lainnya—Istana Obsidian. Di dalamnya, para pemimpin Atlantis berkumpul di ruang tahta yang dingin dan penuh keangkuhan. Dinding-dindingnya terbuat dari logam hitam berkilau, memantulkan cahaya dari obor listrik yang melingkari ruangan. Di tengah, sebuah meja bundar besar terbuat dari kaca murni mempertemukan orang-orang yang mengendalikan kekaisaran terbesar yang masih bertahan di dunia ini.
Di sisi meja, seorang pria tinggi berpakaian seragam militer lengkap berdiri. Wajahnya dingin, rahangnya tegas, dan matanya memancarkan ketegasan tanpa ampun. Namanya Jenderal Varek, komandan militer tertinggi Atlantis. Ia membuka pertemuan dengan nada tegas.
“Pemberontakan semakin meluas,” kata Varek sambil menunjuk peta holografis yang muncul di tengah meja. “Kota kecil seperti Alara dan Cakar telah memulai perlawanan. Mereka mungkin hanya api kecil sekarang, tetapi jika dibiarkan, mereka bisa menjadi kobaran yang tak terkendali.”
Di seberangnya duduk Lady Isolde, Menteri Sumber Daya Atlantis, yang terkenal karena kekejamannya dalam mengelola koloni. Rambutnya yang keperakan diikat rapi, wajahnya tenang tapi penuh ancaman.
“Api kecil bisa dipadamkan dengan mudah, Jenderal. Mengapa Anda belum melakukannya?” tanyanya dengan nada sinis.
“Karena api kecil ini lebih pintar dari yang kita duga,” jawab Varek tanpa ekspresi. “Mereka telah membangun jaringan yang terorganisir, dan mereka memiliki seorang pemimpin—Athena. Wanita ini bukan pemberontak biasa.”
Nama Athena membuat ruangan menjadi sunyi. Semua orang di meja tahu bahwa nama itu telah menjadi simbol perlawanan yang mengancam dominasi mereka.
Di kepala meja duduk seorang pria yang lebih tua, tapi masih memancarkan aura kekuatan. Kaisar Lucien, pemimpin tertinggi Atlantis, memandang semua yang hadir dengan tatapan tajam. Ia mengenakan jubah hitam berornamen emas, simbol kekuasaannya yang tak terbantahkan.
“Jenderal Varek,” katanya dengan suara berat yang memenuhi ruangan, “Anda telah diberi kendali penuh atas militer. Saya tidak akan menerima alasan untuk kegagalan Anda. Berapa lama Anda membutuhkan waktu untuk menghancurkan perlawanan ini?”
Varek menahan napas sejenak sebelum menjawab. “Tiga bulan, Yang Mulia. Saya akan memastikan tidak ada kota yang tersisa untuk membangkang.”
“Tiga bulan terlalu lama,” sela Isolde. “Sumber daya kita tergantung pada koloni-koloni itu. Jika mereka terus memberontak, pasokan logam dan tenaga kerja kita akan terganggu. Kita tidak bisa membiarkan ini berlarut-larut.”
“Cukup.” Lucien mengangkat tangannya, menghentikan perdebatan. “Kita tidak hanya menghadapi pemberontakan kecil. Ini adalah ancaman terhadap kekuasaan kita. Saya ingin solusi yang lebih cepat.”
Di antara para pemimpin, seorang pria yang lebih muda, mengenakan jas rapi dengan kacamata bulat kecil, mengangkat tangannya dengan sopan. Dia adalah Dr. Caleb Moor, kepala ilmuwan dan arsitek Proyek Naga.
“Yang Mulia, jika saya boleh berbicara,” katanya, suaranya tenang tapi penuh keyakinan.
Lucien mengangguk, memberi izin.
“Proyek Naga hampir selesai. Jika kita dapat meluncurkannya sesuai jadwal, kita tidak perlu mengkhawatirkan pemberontakan ini. Dengan teknologi ini, kita bisa menghancurkan setiap kota pemberontak hanya dalam satu serangan, tanpa mengorbankan pasukan kita.”
“Dan apa jaminannya bahwa teknologi ini akan bekerja seperti yang Anda janjikan?” tanya Isolde skeptis.
“Teknologi ini didasarkan pada energi plasma generasi baru,” jawab Caleb dengan percaya diri. “Saya telah melakukan pengujian, dan hasilnya sempurna. Yang kita butuhkan hanyalah sedikit waktu lagi untuk menyelesaikan perangkat peluncurnya.”
Lucien memandangi Caleb dengan mata tajam. “Berapa lama waktu yang Anda butuhkan?”
“Enam minggu, Yang Mulia. Tidak lebih.”
Lucien mengangguk perlahan. “Baiklah. Anda punya waktu enam minggu. Jenderal Varek, fokuskan pasukan Anda untuk menahan pemberontakan sampai Proyek Naga siap diluncurkan.”
Setelah pertemuan selesai, Varek kembali ke kantornya yang berada di lantai atas Istana Obsidian. Ia memandang peta wilayah Atlantis yang terpampang di dinding, memikirkan langkah-langkah berikutnya.
“Kita harus mematahkan semangat mereka,” katanya kepada Letnan Elara, asistennya yang setia.
“Apa perintah Anda, Jenderal?”
“Bakar kota-kota kecil yang mereka lindungi. Tangkap para pemberontak hidup-hidup, dan eksekusi mereka di depan umum. Biarkan mereka tahu apa akibatnya menentang Atlantis.”
Elara mengangguk, matanya berkilat dingin. “Akan saya laksanakan.”
Varek menatap peta itu lagi, kali ini sorot matanya tajam dan penuh kebencian. “Athena,” gumamnya. “Kamu pikir bisa melawan kami? Kau akan belajar bahwa melawan Atlantis hanya membawa kehancuran.”
Namun, tidak semua pemimpin Atlantis mendukung pendekatan brutal ini. Di dalam istana, seorang wanita muda bernama Kaela, anggota Dewan Strategi Atlantis, diam-diam memandang situasi ini dengan rasa gelisah.
Kaela adalah salah satu dari sedikit orang di pemerintahan Atlantis yang masih memiliki rasa kemanusiaan. Ia tahu bahwa tindakan mereka terhadap kota-kota kecil hanya akan memperparah kebencian rakyat.
“Mereka tidak akan pernah berhenti melawan jika kita terus memperbudak mereka,” katanya pelan kepada asistennya, seorang pria setia bernama Rian.
“Kaela, Anda tahu bahwa pandangan seperti itu bisa membuat Anda dihukum,” jawab Rian dengan nada khawatir.
“Tapi ini salah,” balas Kaela. “Kita tidak bisa terus memerintah dengan cara seperti ini. Jika pemberontakan ini terus menyebar, itu karena mereka tidak punya pilihan lain.”
Kaela tahu bahwa ia harus berhati-hati, tetapi di dalam hatinya, ia mulai merencanakan sesuatu. Jika ia bisa menemukan cara untuk berkomunikasi dengan pemberontak, mungkin ia bisa mengubah arah konflik ini tanpa pertumpahan darah yang lebih besar.
Di Istana Obsidian, para pemimpin Atlantis bersiap untuk menghadapi perlawanan dengan kekuatan penuh. Tetapi di antara mereka, mulai muncul perpecahan kecil—sebuah tanda bahwa bahkan kekaisaran terbesar pun tidak kebal terhadap kehancuran dari dalam.
Di luar tembok Kota Emas, Athena dan kelompoknya terus berjuang, tanpa mengetahui bahwa musuh mereka juga sedang dihantui oleh konflik dan ambisi yang saling bertentangan. Perang yang sesungguhnya baru akan dimulai.