Hujan deras di tengah malam menyatukan langkah dua orang asing, Dasha dan Gavin di bawah payung yang sama. Keduanya terjebak di sebuah kafe kecil, berbagi cerita yang tak pernah mereka bayangkan akan mengubah hidup masing-masing.
Namun hubungan mereka diuji ketika masa lalu Gavin yang kelam kembali menghantui, dan rahasia besar yang disimpan Dasha mulai terkuak. Saat kepercayaan mulai retak, keduanya harus memilih menghadapi kenyataan bersama atau menyerah pada luka lama yang terus menghantui.
Mampukah Dasha dan Gavin melawan badai yang mengancam hubungan mereka? Ataukah hujan hanya akan menjadi saksi bisu sebuah perpisahan?
Sebuah kisah penuh emosi, pengorbanan, dan perjuangan cinta di tengah derasnya hujan. Jangan lewatkan perjalanan mereka yang menggetarkan hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Dasha selalu merasa bahwa hidupnya penuh dengan kebahagiaan sejak menikah dengan Gavin. Mereka telah melalui banyak hal bersama, dan meskipun kadang-kadang harus menghadapi tantangan, mereka selalu saling mendukung. Namun, ada satu hal yang belum mereka alami bersama—mereka belum memiliki anak kandung. Gavin dan Dasha sangat mencintai Nathan, anak tiri Dasha, yang sudah dianggap seperti anak kandungnya sendiri. Tetapi, selalu ada impian untuk memperluas keluarga mereka.
Suatu pagi, Dasha merasa sedikit aneh. Ada rasa mual yang datang begitu tiba-tiba, dan ia merasa lelah meski baru saja bangun tidur. "Mungkin aku hanya terlalu capek," pikirnya, tetapi rasa tidak enak itu terus berlanjut. Setelah beberapa hari merasakannya, Dasha memutuskan untuk membeli tes kehamilan. Ia tidak ingin terlalu berharap, tapi hatinya tetap berdebar-debar.
Setelah beberapa menit menunggu, tes itu menunjukkan dua garis merah yang menandakan bahwa dia hamil. Dasha hampir tidak bisa mempercayainya. Mata Dasha berkaca-kaca saat ia melihat hasil tes itu. Ini benar-benar terjadi!
Dengan senyum lebar di wajahnya, Dasha segera keluar dan menuju ruang tamu. Gavin sedang duduk di sofa, sedang membaca surat kabar sambil menikmati secangkir kopi. Dasha berjalan mendekat dengan perlahan dan duduk di sampingnya.
"Ada apa, Dash? Kamu terlihat... bahagia sekali," tanya Gavin sambil menurunkan surat kabarnya dan memandang Dasha dengan penuh perhatian.
Dasha tersenyum, lalu mengeluarkan tes kehamilan dari dalam tasnya. "Gavin, aku... aku hamil!" katanya dengan suara yang bergetar karena kegembiraan.
Gavin terdiam sejenak, lalu melihat wajah Dasha dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Kamu... serius?"
Dasha hanya mengangguk, lalu tertawa terbahak-bahak. Gavin langsung memeluk Dasha erat, merasakan kebahagiaan yang luar biasa. "Ini adalah hal terindah yang pernah terjadi dalam hidupku," katanya sambil menahan air mata.
Hari itu juga, mereka memutuskan untuk memberitahu Nathan. Dasha dan Gavin duduk bersama di ruang makan, menunggu Nathan pulang dari sekolah. Ketika Nathan masuk, mereka memanggilnya dengan penuh kehangatan.
"Nathan, kita ada kabar baik untukmu," kata Gavin sambil tersenyum lebar.
Nathan yang baru saja meletakkan tas sekolahnya di samping pintu, menatap mereka dengan penasaran. "Kabar apa, Papa?"
Dasha memegang tangan Nathan dengan lembut dan berkata, "Kamu akan jadi kakak, Nathan. Aku hamil."
Mata Nathan membelalak. "Kamu serius, Bunda?"
Dasha mengangguk, dan Nathan langsung melompat dengan kegembiraan. "Aku akan punya adik! Ini keren banget!"
Gavin tertawa melihat antusiasme Nathan yang begitu besar. Mereka semua berpelukan bersama, merasakan kebahagiaan yang mengalir dalam setiap detik. Meskipun Nathan sudah merasa sangat dekat dengan Dasha, dia tahu bahwa sekarang mereka akan menjadi keluarga yang lebih besar lagi.
Selama bulan-bulan pertama kehamilannya, Dasha merasa sangat bersyukur karena tidak mengalami banyak kesulitan. Meskipun dia kadang merasa mual atau lelah, Gavin selalu ada di sampingnya untuk mendukungnya.
"Apa yang kamu butuhkan, Dash? Mau makan apa? Aku akan buatkan," kata Gavin setiap kali Dasha merasa mual.
Nathan juga sangat perhatian. Setiap kali Dasha merasa kelelahan, Nathan akan menawarkan untuk membantunya dengan pekerjaan rumah atau membacakan cerita untuknya. "Bunda, aku akan jadi kakak yang baik, kamu nggak perlu khawatir," kata Nathan dengan penuh keyakinan.
Dasha merasa sangat dihargai. Meski begitu, dia tahu bahwa kehamilannya juga membawa banyak perubahan bagi dirinya, dan dia berterima kasih atas dukungan yang diberikan oleh Gavin dan Nathan. Setiap langkah kecil dalam perjalanan ini, dari pergi ke dokter bersama Gavin, memilih nama untuk bayi mereka, hingga merencanakan ruangan bayi yang baru, semuanya terasa begitu berarti.
Di malam hari, saat mereka duduk bersama di ruang tamu, Dasha menatap Gavin dengan penuh cinta. "Aku sangat bersyukur memiliki kalian. Aku nggak sabar menunggu saat-saat kita menjadi tiga orang yang lengkap."
Gavin menggenggam tangan Dasha dengan penuh kasih. "Kita sudah menjadi keluarga, Dash. Ini hanya langkah berikutnya dalam perjalanan kita."
Nathan yang duduk di sofa, ikut tersenyum bahagia. "Aku nggak sabar jadi kakak!"
Suasana di ruangan itu dipenuhi tawa dan cinta. Mereka tahu bahwa perjalanan ke depan akan membawa tantangan, tetapi yang terpenting adalah mereka akan menghadapinya bersama. Dasha, Gavin, dan Nathan sudah memiliki ikatan yang kuat, dan kehadiran bayi yang akan datang hanya akan semakin mempererat keluarga kecil mereka.
Dasha tahu, dengan kehadiran anak dalam kandungannya, hidup mereka akan semakin penuh warna. Setiap detik, mereka semakin menyadari bahwa cinta yang ada di dalam keluarga mereka adalah hal yang paling penting cinta yang akan terus tumbuh, memberi harapan baru, dan membawa kebahagiaan tak terhingga.
.
.
.
.
.
Setelah kabar bahagia bahwa Dasha hamil, Gavin merasa kebahagiaan yang luar biasa. Namun, semakin lama, perasaan itu berubah menjadi kekhawatiran yang berlebihan. Ia mulai menjadi lebih posesif terhadap Dasha. Setiap kali Dasha keluar rumah, Gavin merasa cemas. Ia tak suka Dasha beraktivitas terlalu jauh darinya, bahkan untuk hal-hal kecil seperti pergi ke toko atau bertemu teman.
"Sayang, kamu pasti lelah. Kenapa nggak istirahat saja di rumah hari ini?" Gavin akan berkata saat Dasha berencana untuk keluar.
Dasha yang merasa baik-baik saja, awalnya hanya menganggapnya sebagai perhatian. Namun, seiring waktu, ia mulai merasa ada yang aneh dengan sikap Gavin. Kadang-kadang, ia merasa terlalu dibatasi, seperti Gavin mulai mengontrol lebih banyak hal dalam hidupnya.
"Kenapa kamu nggak ingin aku pergi ke dokter sendirian, Gavin? Aku tahu cara menjaga diri," kata Dasha suatu hari saat Gavin menawarkan untuk menemaninya ke klinik, meskipun ia tahu Dasha baik-baik saja.
Gavin tampak ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. "Aku hanya khawatir, Dash. Aku ingin memastikan kamu dan bayi kita baik-baik saja."
Namun, dalam hati Dasha mulai merasa tertekan. "Aku tahu kamu sayang, tapi kamu juga harus memberi aku sedikit ruang, Sayang."
Tidak hanya Gavin yang mulai menunjukkan kecemasan berlebihan, ternyata Nathan pun menunjukkan perubahan sikap yang sama. Mungkin karena melihat bagaimana ayahnya sangat protektif terhadap Dasha, Nathan pun mulai merasa perlu untuk melindungi Dasha. Ini terlihat jelas saat ia mulai masuk TK B. Nathan yang sebelumnya ceria dan penuh rasa ingin tahu, kini mulai menunjukkan sikap yang lebih hati-hati dan cemas.
Suatu hari, Dasha pergi untuk menjemput Nathan di sekolah, dan ketika dia tiba, Nathan terlihat berdiri di depan pintu kelas dengan wajah khawatir.
"Bunda, kamu nggak boleh jauh-jauh. Papa bilang harus selalu dekat sama aku," kata Nathan dengan tatapan serius.
Dasha terkejut mendengar kata-kata Nathan, yang terlihat sedikit terlalu berlebihan untuk seorang anak seusianya. "Nathan, Bunda cuma ke toko sebentar kok. Kenapa kamu jadi khawatir gitu?"
Nathan menggenggam tangan Dasha dengan erat, seakan khawatir sesuatu yang buruk akan terjadi jika Dasha pergi lebih jauh. "Aku takut kalau Bunda kenapa-kenapa," jawab Nathan, mengungkapkan ketakutannya.
Dasha terdiam sejenak, lalu membungkuk untuk menatap wajah Nathan. "Sayang, kamu nggak perlu khawatir. Aku selalu kembali, dan aku selalu aman."
Namun, meski Dasha mencoba meyakinkan Nathan, ia mulai merasakan beban di hatinya. Sikap berlebihan ini, baik dari Gavin maupun Nathan, membuatnya merasa sedikit terperangkap. Dasha sadar bahwa ini semua datang dari rasa sayang dan kekhawatiran, tapi ia juga tahu bahwa mereka harus belajar untuk memberi ruang satu sama lain.
Sadar akan perubahan sikap dirinya, Gavin mulai merenung tentang bagaimana ia harus lebih mempercayai Dasha. Suatu malam, setelah makan malam bersama, Gavin memutuskan untuk berbicara dengan Dasha tentang perasaannya.
"Dash, aku tahu aku mungkin terlalu khawatir belakangan ini. Aku ingin kita menjadi keluarga yang bahagia, dan aku ingin kamu merasa nyaman dengan apa pun yang kamu lakukan," kata Gavin dengan tulus.
Dasha tersenyum, merasakan kesungguhan di dalam hati Gavin. "Aku tahu kamu sayang, Gavin. Tapi kita harus belajar memberi ruang satu sama lain. Kita punya hidup kita masing-masing, meskipun kita keluarga."
Gavin mengangguk, mengerti bahwa ia harus memberikan kepercayaan pada Dasha untuk membuat keputusan sendiri. "Aku akan berusaha lebih baik, Dash. Aku janji."
Sementara itu, Dasha juga mulai berbicara dengan Nathan lebih terbuka tentang perasaan dan ketakutannya.
"Nathan, Bunda tahu kamu sayang banget sama Bunda, tapi kamu nggak perlu khawatir setiap waktu. Bunda akan selalu ada untuk kamu, dan Papa juga akan selalu melindungi kita."
Nathan, meski masih agak cemas, mengangguk. "Oke, Bunda. Aku janji nggak akan khawatir terus, tapi aku cuma ingin Bunda dan bayi tetap aman."
Dasha memeluk Nathan erat, "Bunda tahu, Sayang. Dan Bunda juga selalu menjaga kalian berdua."
Meskipun Dasha merasa sedikit tertekan dengan sikap posesif Gavin dan Nathan, ia juga tahu bahwa ini adalah bentuk cinta mereka yang tulus. Dengan komunikasi yang lebih terbuka, mereka mulai belajar untuk menemukan keseimbangan antara perhatian dan memberi ruang satu sama lain.
Hari-hari berikutnya, Gavin lebih sering memberi Dasha kebebasan untuk melakukan aktivitasnya sendiri, sementara Nathan mulai merasa lebih percaya diri di sekolah tanpa terlalu khawatir tentang ibunya. Mereka menjadi keluarga yang saling mendukung tanpa harus mengendalikan satu sama lain, memahami bahwa cinta bukanlah tentang penguasaan, tetapi tentang saling percaya dan memberi ruang untuk tumbuh.
Dasha merasa lega karena ia tahu, meski mereka kadang terlalu protektif, semuanya berasal dari cinta. Dan dengan cinta itu, mereka akan bisa menghadapi setiap tantangan bersama sebagai keluarga yang lebih kuat.