Di sebuah kota kecil yang diselimuti kabut tebal sepanjang tahun, Ardan, seorang pemuda pendiam dan penyendiri, menemukan dirinya terjebak dalam lingkaran misteri setelah menerima surat aneh yang berisi frasa, "Kau bukan dirimu yang sebenarnya." Dengan rasa penasaran yang membakar, ia mulai menyelidiki masa lalunya, hanya untuk menemukan pintu menuju dunia paralel yang gelap—dunia di mana bayangan seseorang dapat berbicara, mengkhianati, bahkan mencintai.
Namun, dunia itu tidak ramah. Ardan harus menghadapi versi dirinya yang lebih kuat, lebih kejam, dan tahu lebih banyak tentang hidupnya daripada dirinya sendiri. Dalam perjalanan ini, ia belajar bahwa cinta dan pengkhianatan sering kali berjalan beriringan, dan terkadang, untuk menemukan jati diri, ia harus kehilangan segalanya.
---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HARIRU EFFENDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2: Bayangan yang Mengintai
Malam menyelimuti desa kecil tempat Ardan tinggal. Di luar, angin berbisik melalui celah-celah pohon tua, membawa kesan dingin yang menusuk hingga ke tulang. Di dalam rumah, suasana tidak kalah mencekam. Lampu di kamar Ardan berkelap-kelip, seolah mencoba memberi peringatan.
Ardan duduk di meja belajarnya, surat misterius itu terbuka di depannya. Kalimat pendek yang tertera di sana, "Kau bukan dirimu yang sebenarnya," terus menggerogoti pikirannya. Kata-kata itu seperti racun, menyusup perlahan ke dalam dirinya, membuat setiap bagian dari tubuhnya terasa berat.
Ia menghela napas, mencoba mengusir perasaan aneh yang menyelimutinya. Tapi perasaan itu semakin kuat. Ia merasa seperti diawasi. Tatapannya perlahan beralih ke jendela di sebelah meja. Kabut tebal di luar memantulkan bayangan samar, namun bayangan itu tampak tidak biasa. Seperti ada sesuatu di sana.
"Siapa di luar?" gumamnya, suaranya hampir tidak terdengar.
Tidak ada jawaban, hanya keheningan yang menyesakkan. Ia berdiri, menutup tirai jendela dengan tergesa-gesa. Saat kembali duduk, lampu di kamarnya tiba-tiba padam, meninggalkannya dalam kegelapan.
“Bukan sekarang,” keluhnya, mencoba mencari senter di laci meja. Namun, saat ia menyalakan senter, jantungnya hampir berhenti.
Bayangannya di dinding tidak bergerak sesuai tubuhnya.
Bayangan itu berdiri tegak, lebih besar dari biasanya, dengan garis-garis kasar yang tampak tidak wajar. Ardan menatapnya, berharap itu hanya ilusi. Ia mengangkat tangan kanannya perlahan—bayangan itu tetap diam.
Dengan napas yang semakin cepat, ia mundur ke arah pintu kamar. Bayangan itu malah maju, mengikuti gerakannya, tapi dengan cara yang aneh. Bukan seperti cerminan, melainkan seperti makhluk hidup.
"Apa ini…?" suaranya hampir tercekat.
Bayangan itu berhenti sejenak. Kemudian, dalam hitungan detik, ia menyeringai. Sebuah senyuman menyeramkan, tak masuk akal bagi sesuatu yang seharusnya tidak bernyawa.
“Ardan…” suara itu berbisik, pelan, tapi cukup untuk membuat bulu kuduknya berdiri.
Ardan tidak menunggu lebih lama. Ia membuka pintu kamar dan berlari ke ruang tamu. Rumah terasa berbeda, lebih gelap dari biasanya. Dingin meresap ke kulitnya, meskipun semua jendela tertutup rapat. Ia memanggil ibunya, tapi tidak ada jawaban.
"Ibu?" panggilnya lagi, suaranya menggema di ruang kosong.
Tidak ada jawaban, hanya bayangan yang bermain-main di dinding, mengikuti setiap langkahnya. Ia berlari ke dapur, berharap menemukan sesuatu yang normal, sesuatu yang nyata. Tapi di meja dapur, ia malah menemukan secarik kertas kecil.
Pesan di atasnya membuat tubuhnya gemetar.
"Bayanganmu lebih tahu tentangmu daripada dirimu sendiri."
Tulisannya sama seperti di surat pertama—tangan yang tegas, dengan tinta merah mencolok. Ardan merasa seluruh tubuhnya melemah. Ia membanting kertas itu ke meja, mencoba mengatur napas.
Namun, saat ia menatap ke lantai, sesuatu membuatnya berhenti bergerak. Bayangannya ada di sana, lebih besar, lebih tebal, dan lebih hidup.
Bayangan itu bergerak sendiri.
Ia mengangkat tangan kirinya. Bayangan itu mengangkat tangan kanannya.
Ia mundur dengan perlahan, mencoba melawan rasa takut yang semakin besar. Tapi bayangan itu semakin mendekat, meskipun Ardan tidak bergerak. Itu bukan pantulan dirinya lagi—itu sesuatu yang lain, sesuatu yang memiliki kesadaran.
“Apa kau… aku?” tanya Ardan dengan suara yang hampir tenggelam oleh napasnya sendiri.
Bayangan itu berhenti, lalu membentuk mulut, sebuah ekspresi penuh ironi yang membuat Ardan semakin takut. Sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, lampu di dapur tiba-tiba padam, membawa kegelapan total.
Di tengah kegelapan itu, suara terdengar lagi. Suara pelan yang sama, tetapi kali ini lebih tajam, lebih kuat.
"Sudah waktunya, Ardan. Kau harus tahu."
Angin dingin menerpa wajahnya, dan dalam sekejap, dunia di sekitarnya berubah. Rumah yang ia kenal lenyap. Di hadapannya kini, hanya ada kabut pekat, tanah yang retak, dan bayangan-bayangan yang bergerak bebas.
Ardan berdiri di tengah dunia yang asing, jantungnya berdebar kencang. Ia tahu, ini adalah awal dari sesuatu yang besar—sesuatu yang tidak akan membiarkan dirinya kembali menjadi dirinya yang dulu.
---