Ariella, seorang wanita muda yang dipilih untuk menjadi pemimpin organisasi pembunuh terkemuka setelah kematian sang mentor. Kejadian tersebut memaksanya untuk mengambil alih tahta yang penuh darah dan kekuasaan.
Sebagai seorang wanita di dunia yang dipenuhi pria-pria berbahaya, Ariella harus berjuang mempertahankan kekuasaannya sambil menghadapi persaingan internal, pengkhianatan, dan ancaman dari musuh luar yang berusaha merebut takhta darinya. Dikenal sebagai "Queen of Assassins," ia memiliki reputasi sebagai sosok yang tak terkalahkan, namun dalam dirinya tersembunyi keraguan tentang apakah ia masih bisa mempertahankan kemanusiaannya di tengah dunia yang penuh manipulasi dan kekerasan.
Dalam perjalanannya, Ariella dipaksa untuk membuat pilihan sulit—antara kekuasaan yang sudah dipegangnya dan kesempatan untuk mencari kehidupan yang lebih baik, jauh dari bayang-bayang dunia pembunuh bayaran. Di saat yang sama, sebuah konspirasi besar mulai terungkap, yang mengancam tidak hanya ker
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13: Perang di Pelabuhan Timur
Angin laut membawa aroma garam yang tajam, menyapu dinginnya malam yang pekat. Pelabuhan Timur, yang biasanya sibuk dengan aktivitas bongkar muat, malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Namun, di balik keheningan itu, bahaya mengintai. Cahaya lampu sorot dari kapal-kapal yang bersandar sesekali menembus kabut tipis, menciptakan bayangan yang mencekam.
Ariella berdiri di atas crane tua yang sudah tidak digunakan lagi, matanya memindai pelabuhan yang luas. Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat kontainer-kontainer berjejer seperti labirin, sebuah medan yang sempurna untuk jebakan. Di telinganya, suara Rael terdengar melalui radio.
“Tim Bravo sudah di posisi, Komandan. Kontainer merah di titik Delta sepertinya pusat aktivitas mereka. Ada beberapa penjaga bersenjata di sekitarnya.”
Ariella mengangguk meski tahu Rael tak bisa melihatnya. “Tim Alpha, pastikan jalan keluar di sisi barat aman. Jangan biarkan siapa pun lolos. Kita akan memulai operasi dalam tiga menit.”
“Siap, Komandan,” balas Rael.
Malam itu, misi mereka jelas: menghentikan operasi The Raven Syndicate sebelum mereka bisa memindahkan muatan misterius yang tersembunyi di dalam kontainer merah itu. Informasi yang berhasil mereka dapatkan menunjukkan bahwa muatan itu adalah senjata biologis yang dapat menghancurkan seluruh kota jika dilepaskan.
Ariella menarik napas dalam-dalam, berusaha mengabaikan rasa nyeri di bahunya yang masih belum pulih sepenuhnya. Dia tahu, tidak ada ruang untuk kesalahan malam ini.
---
Di sisi lain pelabuhan, pria bertopeng itu berdiri di depan kontainer merah yang dijaga ketat oleh anak buahnya. Dia memantau pergerakan melalui tablet di tangannya, menunjukkan rekaman dari kamera-kamera tersembunyi yang dipasang di sekitar pelabuhan.
“Semuanya berjalan sesuai rencana,” katanya pada seseorang di ujung lain komunikasi. “Muatan akan dikirim dalam waktu satu jam. Pastikan penerima siap.”
Namun, sebelum percakapan itu berakhir, salah satu layar menunjukkan sesuatu yang tidak biasa: sebuah bayangan bergerak cepat di antara kontainer. Dia segera menyadari bahwa mereka tidak sendiri.
“Siaga satu!” teriaknya pada anak buahnya. “Kita punya tamu tak diundang.”
---
Ketegangan memuncak saat tim Ariella mulai bergerak. Tim Bravo yang dipimpin oleh Rael menyelinap di sisi utara pelabuhan, menghabisi penjaga dengan senyap menggunakan pisau dan senjata berperedam. Di sisi lain, tim Alpha mengamankan jalan keluar untuk memastikan tidak ada yang melarikan diri.
Ariella sendiri bergerak sendirian, seperti biasanya. Dia menyusup melalui lorong-lorong sempit di antara kontainer, menghindari kamera pengawas dengan keahlian yang mengagumkan. Setiap langkahnya terukur, setiap gerakannya nyaris tak terdengar.
Namun, ketika dia mendekati kontainer merah, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Suara langkah kaki berat mendekat, diikuti oleh sorot senter yang terang benderang. Sekelompok penjaga bersenjata lengkap muncul dari sisi kiri, memotong jalannya.
“Dia di sini!” salah satu dari mereka berteriak, langsung melepaskan tembakan.
Ariella melompat ke belakang kontainer untuk berlindung, peluru menghujani tempatnya berada. Dengan gerakan cepat, dia mengeluarkan pistol dari sarung di pinggangnya dan membalas tembakan. Tiga peluru, tiga penjaga tumbang. Namun, dia tahu bahwa suara tembakan itu akan menarik perhatian lebih banyak musuh.
Melalui radio, suara Rael terdengar. “Komandan, apa Anda baik-baik saja?”
“Ada perlawanan di dekat titik Delta,” balas Ariella sambil mengganti magazin senjatanya. “Tim Bravo, segera ke posisiku. Kita harus bergerak cepat sebelum mereka memindahkan muatan.”
“Diterima. Kami dalam perjalanan.”
---
Di dekat kontainer merah, pria bertopeng itu terlihat gelisah. Anak buahnya mulai terdesak oleh serangan mendadak dari tim Ariella. Dia mengambil radio di jaketnya dan memberi perintah terakhir.
“Jangan biarkan mereka mendekat. Jika perlu, ledakkan kontainer. Kita tidak bisa membiarkan muatan ini jatuh ke tangan mereka.”
Salah satu anak buahnya ragu. “Tapi Tuan, muatan ini terlalu berharga—”
“Lakukan saja!” bentaknya.
Pria itu berbalik, bersiap melarikan diri ke kapal yang sudah menunggu. Namun, dia dikejutkan oleh kehadiran seseorang di belakangnya. Ariella muncul tiba-tiba, wajahnya penuh amarah.
“Kau tidak akan pergi ke mana pun,” ujarnya dingin sambil mengarahkan pistol ke kepala pria itu.
Pria bertopeng itu tertawa kecil. “Kau terlambat, Ariella. Bahkan jika kau menang di sini, kami masih punya seribu cara lain untuk melanjutkan rencana kami.”
Ariella tidak menggubris kata-katanya. Dengan gerakan cepat, dia menjatuhkan senjata pria itu dan menendang lututnya hingga pria itu jatuh berlutut.
“Siapa yang kau bekerja untuk?” Ariella menuntut.
Namun, sebelum pria itu bisa menjawab, suara ledakan besar terdengar. Ariella menoleh dengan cepat—kontainer merah meledak, menyebarkan api dan puing-puing ke segala arah. Ledakan itu begitu kuat hingga mengguncang seluruh pelabuhan.
Rael dan timnya yang baru saja tiba di lokasi segera mencari perlindungan. “Komandan! Kita harus pergi sekarang! Tempat ini akan runtuh!”
Ariella menatap pria bertopeng itu sekali lagi. “Kita belum selesai.”
Dia memukul pria itu hingga tak sadarkan diri, kemudian menyeretnya dengan susah payah ke tempat Rael berada. Tim mereka segera mundur ke kendaraan yang sudah diparkir di luar pelabuhan, melarikan diri sebelum ledakan berikutnya menghancurkan semuanya.
---
Di markas, suasana kembali tegang. Pria bertopeng itu kini diikat di kursi logam di tengah ruangan, dengan lampu sorot menyinari wajahnya. Ariella berdiri di depannya, menatap tajam ke arah musuh yang selama ini menjadi duri di sisinya.
“Bicara,” katanya dengan suara rendah namun mengintimidasi. “Siapa dalang di balik semua ini?”
Pria itu tersenyum, meskipun darah mengalir dari sudut bibirnya. “Kau pikir kau bisa menghentikan kami, Ariella? Kami adalah bayangan di dunia ini. Dan kau tidak akan pernah bisa menang melawan bayangan.”
Namun, sebelum Ariella bisa melanjutkan interogasinya, suara alarm berbunyi. Liana yang duduk di depan komputer berteriak.
“Komandan! Seseorang mencoba melacak lokasi kita!”
Ariella memutar tubuhnya dengan cepat. “Matikan semua jaringan komunikasi. Sekarang!”
Liana segera memutuskan koneksi, tetapi kerusakan sudah terjadi. Dalam hitungan detik, layar di depannya menunjukkan sinyal peringatan—musuh telah menemukan markas mereka.
Rael masuk dengan ekspresi tegang. “Komandan, kita harus pergi. Mereka dalam perjalanan ke sini.”
Ariella mengepalkan tinjunya. Mereka baru saja menangkap musuh yang berharga, tetapi kini harus menghadapi ancaman yang lebih besar.
“Pindahkan semua orang. Siapkan rencana evakuasi. Kita tidak akan membiarkan mereka menang.”
Perang melawan The Raven Syndicate kini memasuki babak baru, dan Ariella tahu bahwa mereka harus selalu selangkah lebih cepat jika ingin bertahan hidup.