Sebenarnya, cinta suamiku untuk siapa? Untuk aku, istri sahnya atau untuk wanita itu yang merupakan cinta pertamanya
-----
Jangan lupa tinggalkan like, komen dan juga vote, jika kalian suka ya.
dilarang plagiat!
happy reading, guys :)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Little Rii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sakit
Aira rasa, suaminya semakin lama semakin aneh saja. Ia cukup di buat terkejut dengan sifat suaminya yang kadang-kadang membuat jantungnya hampir copot. Kadang-kadang, suaminya bersikap seperti biasanya, cuek, kadang juga bersikap manis, walau dengan ekspresi datar.
Seperti hari ini, saat Aryan akan pergi kerja. Aira yang selalu menyempatkan diri mengantar suaminya sampai pintu, di buat terkejut karena Aryan tiba-tiba saja memeluknya saat hendak masuk ke mobil.
"Udah agak susah ya meluknya dari depan."
"Hah?"
"Kamu gak denger saya ngomong apa?"
"Denger, tapi....
"Saya pamit, assalamualaikum."
Setelah mengatakan itu, Aryan langsung masuk ke mobil, meninggalkan Aira yang masih syok.
Itu adalah pelukan pertama, seingat Aira. Ya, sepertinya itu yang pertama kali, yang dilakukan dengan tulus.
"Mas Aryan kok tiba-tiba meluk sih? Kan aku jadi merinding," ucap Aira mengusap lengan kanannya.
Setelah dirasa mobil suaminya sudah jauh, Aira pun masuk ke rumah dan memilih ke kamar saja. Ia ingin istirahat, karena merasa hari ini kondisi tubuhnya kurang bagus.
Sesampainya di kamar, Aira langsung duduk di tepi ranjangnya, lalu menatap perutnya yang semakin membesar.
"Mas Aryan beneran udah cinta gak ya sama aku?" gumam Aira sembari mengelus perutnya. Ingin senang, tapi ia masih takut terlalu terburu-buru menyimpulkan.
Mungkin sikap Aryan ini dipengaruhi oleh rasa bahagia karena penantian kelahiran anaknya.
Ya, mungkin saja begitu.
Kembali pada Aryan yang kini baru saja tiba di parkiran kantornya. Hari ini ia membawa bekal dan itu masakan istrinya. Awalnya Aryan tak setuju kalau Aira memasak, namun istrinya tetap memasak.
Ia hargai itu, meski tetap menegaskan agar Aira tidak memasak lagi, karena memikirkan kondisi kandungan.
Saat Aryan hendak masuk ke kantornya, laki-laki itu dikejutkan dengan kehadiran Diana yang ada di depan kantornya.
Aryan menatap Diana sekilas, lalu memilih masuk ke kantornya, mengabaikan mantannya yang berdiri bak patung di sana.
Ia sendiri tidak mengerti, mengapa Diana hanya berdiri di sana, tanpa mengatakan sesuatu. Ia kira, Diana akan menghampirinya seperti biasa, tapi gadis itu tetap diam saja.
"Entahlah," gumam Aryan masuk ke lift. Ia rasa, ia tak perlu memikirkan hal-hal tak penting seperti itu, banyak hal lain yang harus ia pikirkan.
Di luar sana, Diana masih berdiri di depan kantor Aryan. Ia yang tadinya berniat membeli sarapan, memilih mampir ke kantor mantan tercintanya, hanya untuk melihat Aryan. Lumayan melepaskan rasa rindu.
"Hari ini kamu gak peduli sama aku, Iyan, tapi nanti, setelah kita masuk surga sama-sama, kamu bakalan selalu natap aku penuh cinta. Kamu punya aku, Iyan, cuma buat aku!"
Siang harinya.
Aira yang hendak tidur siang, mendadak merasakan sakit di perutnya. Ia pun segera menghubungi bu Imas, menggunakan ponselnya.
"Sakit banget, ya Allah."
"Non, non Aira!"
"Bu Imas."
"Kenapa? Tenang dulu, non, jangan panik gitu, nanti makin sakit."
"Sakit banget, bu. Pusing juga," rintih Aira saat bu Imas membantunya untuk berbaring.
"Saya ambil jilbab dulu, ya. Pak Tomo bakalan bantu bawa non ke rumah sakit." Bu Imas tidak mau telat sedikit pun. Kalau sakit, maka ia harus membawa majikannya ke rumah sakit.
Setelah memakaikan jilbab alakadarnya, barulah bu Imas memanggil pak Tomo yang memang sudah di depan pintu kamar. Keduanya membantu membawa Aira ke rumah sakit.
Aira terus merintih, berusaha menahan rasa sakit di perut dan juga kepalanya. Rasanya sudah tidak tahan lagi, rasanya rumah sakit terlalu jauh.
"Saya elus perutnya ya, non. Semoga sakitnya hilang," ucap bu Imas dengan mata yang berkaca-kaca. Bu Imas tidak tahan melihat Aira yang kesakitan, padahal waktu melahirkan masih lama.
Tak memakan waktu lama, akhirnya mobil tiba juga di rumah sakit. Pak Tomo segera memanggil perawat, untuk membantu membawa Aira masuk.
"Udah hubungi pak Aryan?" tanya pak Tomo ke bu Imas.
"Belum, tolong hubungi ya, pak. Saya panik, hp-nya ketinggalan."
"Oke-oke."
Di sisi lain.
Aryan baru saja selesai shalat Dzuhur dan berniat makan siang di ruangannya saja. Ia sudah tidak sabar untuk makan bekal dari Aira yang tadinya sempat ia makan setengah, karena penasaran.
Perjalanannya menuju ruangan, ponselnya berbunyi dan ia pun segera menerima panggilan dari supir di rumahnya.
"Wa'alaikumussalam, pak."
"Astagfirullah, rumah sakit mana?" tanya Aryan tanpa sadar mengeluarkan nada tinggi, membuat beberapa karyawan menatapnya.
Aryan pun segera ke parkiran, lalu bergegas ke rumah sakit yang diberitahukan pak Tomo. Jantungnya serasa ingin copot mendengar istrinya masuk rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, Aira sudah dipindahkan ke ruang rawat. Aryan pun langsung menghampiri ranjang dimana istrinya berbaring.
"Apa kata dokter, bu Imas?" tanya Aryan menatap wajah pucat istrinya. Bu Imas pun mulai menjelaskan, penjelasan dokter tadi. Mendengar itu, Aryan seketika langsung tersadar.
Ia lupa kalau istrinya lemah, istrinya pernah kecelakaan, bahkan tidak dianjurkan untuk hamil. Ia tak peduli dengan itu, awalnya, namun sekarang, ia sedikit menyesal setelah mendengar penjelasan Bu Imas.
Semua kembali pada kondisi fisik Aira yang semakin melemah, menjelang persalinan.
"Tolong bawa perlengkapan Aira dari rumah, bu."
"Baik, pak. Saya ke luar dulu." Aryan mengangguk pelan, lalu duduk di kursi yang ada di samping ranjang istrinya.
"Masih sakit?" tanya Aryan saat Aira membuka mata. Aira mengangguk pelan, lalu kembali menutup matanya, membuat Aryan semakin khawatir.
"Saya minta maaf," ucap Aryan pelan, sembari menggengam tangan Aira. "Kalau aja saya gak egois, semuanya gak bakalan gini. Saya minta maaf, Aira," lanjut Aryan dengan suara pelan.
Ia berharap, ini segera berakhir dan istrinya bisa pulih, lalu melahirkan dengan selamat.
Di luar sana, bu Imas bergegas menuju parkiran rumah sakit, menghampiri pak Tomo.
"Pulang dulu kita, pak. Bawa bajunya non Aira sama pak Aryan," seru bu Imas setelah berada di dekat pak Tomo.
"Oke-oke."
Saat bu Imas hendak masuk ke mobil, matanya tak sengaja menatap sosok yang sangat familiar. Orang itu baru saja keluar dari rumah sakit dan terburu-buru menuju parkiran.
Bu Imas bahkan sempat bersitatap dengan orang itu, sebelum masuk ke mobil.
"Kenapa, bu?" tanya pak Tomo.
"Saya ngeliat mbak Diana keluar dari rumah sakit, kira-kira siapa yang sakit, ya?"
"Gak tau juga, mungkin saudaranya. "
"Iya, bisa jadi. "
Note.
Sorry ya, telat update. Soalnya saya beberapa hari lalu, sakit. Jadi baru bisa up sekarang, dan maaf karena kurang maksimal.
Terima kasih sudah menunggu dan selamat membaca.
Jangan lupa tinggalkan like dan komen ya, biar makin semangat nulisnya.
bahasanya jga enak di baca