Di Bawah Umur Harap Minggir!
*****
Salahkah bila seorang istri memiliki gairah? Salahkah seorang istri berharap dipuaskan oleh suaminya?
Mengapa lelaki begitu egois tidak pernah memikirkan bahwa wanita juga butuh kepuasan batin?
Lina memiliki suami yang royal, puluhan juta selalu masuk ke rekening setiap bulan. Hadiah mewah dan mahal kerap didapatkan. Namun, kepuasan batin tidak pernah Lina dapatkan dari Rudi selama pernikahan.
Suaminya hanya memikirkan pekerjaan sampai membuat istrinya kesepian. Tidak pernah suaminya tahu jika istrinya terpaksa menggunakan alat mainan demi mencapai kepuasan.
Lambat laun kecurigaan muncul, Lina penasaran kenapa suaminya jarang mau berhubungan suami istri. Ditambah lagi dengan misteri pembalut yang cepat habis. Ia pernah menemukan pembalutnya ada di dalam tas Rudi.
Sebenarnya, untuk apa Rudi membawa pembalut di dalam tasnya? Apa yang salah dengan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6: Mengingat Masa Lalu
Trian terus memperhatikan Lina yang tengah mengambilkan makanan untuknya. Ia tiba-tiba teringat kenangan sewaktu dulu masih pacaran di SMA. Lina sering membawa bekal ke sekolah lalu mengajaknya makan bersama di kantin sekolah.
Bertemu Lina membuatnya serasa kembali muda. Lina tak banyak berubah, bahkan terlihat semakin cantik. Permasalahan yang ia hadapi seakan hilang ketika melihat kecantikan wajahnya.
"Kok malah melamun? Ayo dimakan!" kata Lina melihat Trian tak kunjung menyentuh makanannya.
Seketika Trian tersadar dari khayalannya. Ia langsung meraih sendok dan garpu lalu menyuapkan makanan yang telah Lina ambilkan ke dalam mulutnya. Ketika ia mengunyah, rasa masakan itu masih sama seperti dulu.
"Kamu masak sendiri?" tanya Trian.
"Ya, tentu saja. Aku tidak memiliki pembantu. Apa masakannya tidak enak?" tanya Lina sembari menyantap makanannya.
"Tidak, ini enak. Masih sama seperti yang dulu," ucap Trian.
Mendengar perkataan Trian, Lina memperlambat kunyahannya. Ia jadi teringat masa lalu saat masih merasakan kebahagiaan sebagai remaja yang memiliki pacar. Ia memang sangat suka memasak bekalnya sendiri untuk dimakan bersama Trian.
Sadar diri jika keluarganya memang bukan orang kaya, Lina menghemat uang jajan dengan membuat bekalnya sendiri. Ia tidak enak hati dengan kebaikan Trian yang sering mentraktirnya jajan di kantin. Sehingga, ia berinisiatif untuk membuat bekalnya sendiri.
Lina memandang ke arah Trian. Lelaki itu tampak lahap memakan masakannya. Ia jadi merasa terharu bahkan sampai berandai-andai jika saja Trian yang menjadi suaminya, masakan yang ia buat tidak akan pernah terbuang sia-sia. Suaminya sendiri jarang memakan masakannya.
"Pelan-pelan saja makannya, Trian. Kita kan tidak sedang lomba makan," kata Lina mengingatkan. Trian tampak sangat cepat menyuapkan makanan ke salam mulutnya.
Trian mendengarkan ucapan Lina. Ia memperlambat makannya. Ia tersenyum sambil mengunyah makanannya.
"Sudah lama aku tidak menikmati masakan rumahan seperti ini. Maaf, ya, kalau aku kelihatan rakus," kata Trian. Ia akui jika memang masakan Lina sangat enak.
Lina merasa puas ada yang memuji masakannya. Ia sangat bahagia jika ada yang suka menikmati masakannya. Sering kali Rudi tidak pulang membuat makanannya terbuang. Ia selalu merasa sedih dengan nasib makanan itu. Seolah usahanya tak dihargai.
"Aku tidak mempermasalahkan itu. Tenang saja, kamu bisa menghabiskannya jika kuat. Selain aku juga tidak akan ada yang makan," kata Lina.
Trian kembali tersenyum. "Terima kasih, ya!"
Lina menatap lelaki di hadapannya dengan heran. "Memangnya Dara jarang memasak di rumah?" tanyanya heran.
"Bukan jarang lagi, tapi tidak pernah memasak," jawab Trian enteng.
"Hah, tidak pernah memasak?" Lina terkejut mendengarnya.
Ia bisa memahami jika Dara seorang wanita karir. Dara pasti sangat sibuk dengan pekerjaannya. Namun, sebagai seorang istri, sesibuk apapun, setidaknya pasti mau untuk meluangkan waktu untuk menyiapkan sarapan dan makan malam.
Lina bahkan memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan agar bisa menjadi wanita yang menunggu kepulangan suaminya. Ia rajin menyapu, beres-beres, dan memasak. Akan tetapi, justru suaminya yang sering telat pulang atau bahkan tidak pulang.
Seandainya dia tidak mau memasak, Rudi juga pasti tidak akan keberatan. Namun, ia ingin sekali berperan sebagai seorang istri yang mampu mengurusi rumah dan suaminya. Ia ingin menyiapkan makanan ketika suaminya pulang. Keinginannya sesederhana itu, namun tidak bisa diwujudkan oleh Rudi.
"Jadi, kamu kalau lapar bagaimana makannya?" tanya Lina penasaran.
Lina tiba-tiba merasa kasihan dengan lelaki yang tengah menyantap masakannya. Ia kira kehidupan rumah tangga Trian pasti sangat sempurna. Dara yang cantik dan mampu mengurus rumah. Tidak disangka jika Dara justru tak pernah memasak. Rasanya aneh jika ada seorang istri yang tidak pernah mau memasak.
"Aku masak sendiri. Tapi lebih sering beli," jawab Trian. Ia sangat santai merespon pertanyaan yang Lina berikan sembari makan.
Seorang Trian bisa masak sendiri? Itu sangat mengejutkan. Setahu dia, Trian hanya seorang anak lelaki yang sangat dimanja oleh ibunya. Diperlakukan seperti raja yang apa-apa sudah tersedia. Bahkan alasan ibunya menyuruh mereka putus juga karena khawatir putra kesayangannya akan menderita jika berjodoh dengan anak dari keluarga miskin.
"Wah, beli makanan setiap hari? Kalau aku buka warung, pasti laris," gurau Lina. Ia membayangkan memiliki warung makan untuk menyediakan para suami yang istrinya malas masak.
"Ide bagus. Aku akan menjadi langganan tetap," kata Trian.
Tatapannya tak lepas dari Lina. Seakan wanita itu memiliki pengikat yang membuatnya tak bisa berpaling. Namun, ketika Lina menyadari tatapannya, ia berpura-pura melihat ke arah lain agar tidak ketahuan.
***
"Trian, aku bawa nasi goreng. Kamu mau makan bareng?" ajak Lina.
Trian yang tadinya sedang bermain basket langsung memberikan bola kepada temannya. Ia menggandeng tangan Lina dan mengajak pacarnya itu ke arah bangku penonton di lapangan basket.
Beberapa gadis yang sejak tadi menonton Trian latihan terlihat kesal. Gara-gara Lina datang, Trian berhenti latihan. Melihat keduanya bersama juga sangat menjengkelkan.
Trian termasuk salah satu siswa yang terkenal di SMA nya. Banyak lawan jenis yang menyukainya. Tapi, Trian justru lebih memilih pacaran dengan gadis miskin biasa yang mengandalkan beasiswa untuk bersekolah. Ada banyak yang tidak suka dan berharap mereka segera putus.
"Kenapa kamu terus yang mentraktirku makan? Sekali-kali ayo kita makan di kantin dan aku yang traktir," kata Trian.
Lina mengulaskan senyum. "Tidak apa-apa. Aku juga ada waktu untuk membuat bekal. Kamu juga sudah sering membayar setiap kita jalan keluar."
Lina membuka kotak bekal miliknya. Ia memberikan satu sendok untuk Trian. Ia sengaja mempersiapkannya karena memang tujuannya untuk makan bersama Trian.
Nasi goreng itu hanya nasi goreng biasa yang ditambahi telur dan sosis. Akan tetapi, Trian selalu suka apa yang Lina buatkan untuknya.
"Bagaimana kalau nanti sore kita jalan-jalan?" ajak Trian. Ia berbicara sembari menikmati makanannya.
"Kalau hari ini aku tidak bisa," tolak Lina.
"Kenapa?" Trian keheranan. Tidak biasanya Lina menolak jika diajak jalan.
"Mulai minggu kemarin aku jadi guru les anak tetangga. Ada 3 anak yang aku ajar. Jadi, aku hanya bisa pergi kalau akhir pekan saja."
Trian baru tahu kalau Lina akhirnya memiliki pekerjaan. Selama ini ia hanya tahu kalau anak SMa tugasnya hanya sekolah dan bersenang-senang. Lina beda, dia harus mendapatkan uang tambahan untuk bisa jajan. Keluarga Lina memang tergolong miskin. Beruntung Lina mendapatkan beasiswa sehingga tidak perlu membayar sekolahnya.
Sebenarnya Trian juga sangat ingin membantu Lina. Paling tidak uang sakunya cukup jika hanya untuk jajan mereka berdua. Akan tetapi, Lina tidak akan mau bergantung kepada orang lain.