"Aletha jangan pulang terlambat!"
"Aletha jangan berteman dengan dia, dia tidak baik!"
"ALETHA!"
"KAKAK! Tolong berhenti mengatur hidupku, hidupku ya hidupku. Tolong jangan terus mengaturnya seolah kau pemilik hidup ku. Aku lelah."
Naraya Aletha, si adik yang sudah lelah dengan sikap berlebihan kakak tiri nya.
Galang Dwi Ravindra, sang kakak yang begitu membutuhkan adiknya. Dan tidak ingin sang adik berpaling darinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asmawi97, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
.
.
Gilang pergi keluar rumah saat hujan sedang deras deras nya. Namun sang ibu mana mau memperdulikan hal tersebut. Dia keluar pun tanpa tujuan. Tidak punya teman juga kerabat. Gilang hanya berdiam diri di depan mini market dekat rumahnya.
Sesekali menggigil kedinginan karena dia keluar hanya memakai kaos lengan pendek.
"Aku bersumpah... Aku benar-benar membenci mu Mama ..."
.
.
.
Sementara itu, di rumah sederhana milik Hana. Naraya duduk di samping Mama nya. Bergelayut manja pada ibunya itu. Sesekali mulut kecil nya meniup niup coklat panas yang di berikan oleh ibunya itu.
Sementara Hana sendiri nampak sesekali tersenyum saat melihat drama yang sedang di tonton nya membuat Naraya ikut tersenyum melihat senyum cantik ibunya itu.
Naraya mendongakan wajahnya. Sementara tubuhnya bersandar pada Mama nya. "Mama. Jadi kapan Mama sama Papa Angga menikah nya."
Hana mengalihkan perhatiannya dari tontonan drama nya pada putri kecil nya. Begitu terkejut karena Naraya putrinya itu seolah benar-benar tidak sabar ingin dirinya cepat menikah dengan Angga. Namun pertanyaan putrinya itu membuat Hana bingung dengan jawaban nya.
"Ya ampun, putri kecil Papa ini sudah tidak sabar eoh?"
Angga datang bergabung, duduk di dekat Naraya membuat anak itu terapit oleh dua orang dewasa tersebut. Hana menghela napasnya lega, mungkin seharusnya pertanyaan itu di ajukan untuk Angga bukan dirinya.
"Emmm. Raya sudah tidak sabar Papa Angga. Nanti, Raya bisa pamer sama Melisa dan Abim kalau Raya punya Papa. Hehe."
Hana tertawa geli dengan alasan itu. Memandang Angga yang juga sedang memandang nya.
"Oke. Mama dan Papa akan segera menikah. Dan kamu, sekarang harus segera tidur eoh?"
"Oke! Tapi dengan Papa Angga yah..."
"Baiklah...tuan putri."
Naraya tertawa senang saat Papa Kim memangku tubuhnya dan mencium pipinya gemas. Sepertinya malam ini, Naraya akan tidur bersama Papa baru nya. Dan Naraya sangat senang.
.
.
.
Gilang memeluk tubuhnya yang begitu kedinginan. Merutuk ibunya yang dengan tega membiarkan putra nya sendiri berada di luar di tengah hujan yang begitu deras. Seluruh tubuhnya sudah basah karena air hujan yang mengguyur tubuhnya. Seluruh tubuhnya terasa sakit karena kedinginan. Namun hatinya jauh lebih sakit. Karena perceraian kedua orang tua nya. Dia yang jadi korban. Karena dua orang dewasa yang di sebutnya sebagai orang tua. Nyatanya tidak pernah benar-benar menjadi orang tua nya. Gilang kesepian, kesakitan tapi tidak ada yang peduli. Gilang sendiri walaupun memiliki orang tua yang lengkap. Dan Gilang benci itu semua. Rasanya, jika bisa memilih Gilang tidak ingin terlahir di keluarga hancur sepertinya.
"Papa ... Aku sendirian... D-an... A-kk-u le-la-h.... Hiks... Aku benci kalian..."
.
.
.
.
1 Bulan Kemudian....
Hera membuka pintu rumahnya saat bel pintu rumahnya terus berbunyi.
Dan Hera begitu terkejut saat melihat mantan suaminya berada di depan rumah nya. Hera menyilangkan kedua tangannya.
"Angga? Ada apa kau kemari?"
"Aku ingin bertemu dengan Gilang. Mana dia?"
Hera memeluk lengan atas nya. Gilang sedang demam karena pukulan nya. Dan mana mungkin dia mengijinkan mantan suami nya itu untuk melihat Gilang . Angga bisa semakin membenci nya.
"Dia, dia sudah pergi sekolah." jawab Hera dengan tenang.
"Kalau begitu beritahu aku sekolah nya."
"Untuk apa Angga?"
Angga menghela napasnya. Setelah satu tahun perceraian nya, Hera selalu melarang nya untuk menemui Gilang . Dan itu membuat Angga merasa bersalah pada Gilang .
"Hera, kau selalu melarangku untuk menemui Gilang . Nomor ponsel nya pun aku tidak punya. Aku ayahnya Hera, aku berhak atas Gilang meskipun hak asuh nya jatuh padamu! Sekarang beritahu aku Gilang dimana?!"
Hera memutar bola matanya jengah. "Ku bilang Gilang sedang sekolah!"
"Kalau begitu beritahu aku nomor ponsel nya!"
Hera memandang tajam mantan suaminya itu. "Gilang membenci mu yang sudah meninggalkan nya! Dan dia tidak pernah mau bertemu dengan mu lagi Angga!!"
"KAU BOHONG HERA!"
.
.
"Papa?"
Gilang mengernyit saat mendengar suara ayahnya setelah satu tahun ini. Dan selanjutnya Gilang kembali mendengar suara ayahnya itu memanggil nya. Gilang tidak bermimpi. Jadi dengan perlahan mencoba bangkit dari ranjang nya.
Meskipun seluruh tubuhnya sedang demam, namun Gilang begitu senang mendengar suara ayahnya itu. Dengan gontai Gilang mendekati pintu kamar nya. Namun Gilang begitu panik saat ternyata pintu kamar nya ternyata terkunci. Pasti Mama nya yang sudah melakukan ini.
"Gilang GILAAANG!!!"
Tubuh lemas Gilang merosot di depan pintu. Terisak mendengar suara ayahnya. Ingin nya berteriak menyahut, namun tenggorokan nya begitu sakit. Dan Gilang semakin merasa sakit saat suara ayahnya itu tidak terdengar lagi.
"Papa ...jangan... Jangan pergi lagi Papa... Aku ingin ikut Papa ... Hiks..."
.
.
"Gilang ... Ini Papa nak..."
Hera mencegat lengan Angga. Dan memandang tajam mantan suaminya itu.
"Sudah ku bilang, Gilang itu sedang sekolah Angga !"
Angga mengatur napas nya karena emosi. Tidak bisa bertemu dengan putranya. Memandang mantan istrinya lalu memberikan surat undangan untuk istrinya itu.
"Kalau begitu, berikan ini pada Gilang."
Hera memandang heran surat undangan di tangan nya. Dan begitu terkejut saat melihat bahwa itu merupakan surat undangan pernikahan milik Angga .
"Angga... Kau?"
"Aku akan menikah minggu depan Hera. Ku harap Gilang bisa datang. Kau pun datang lah. Aku pergi..."
.
.
.
Hera meremas surat undangan itu dengan emosi. Airmata nya mengalir begitu saja saat mengetahui Angga telah memiliki penggantinya. Sementara dia sendiri masih terpuruk dengan perceraian nya dan melampiaskan nya dengan berhubungan dengan banyak lelaki.
"Angga menikah lagi?!"
Hera tertawa. Memandang surat undangan itu dengan penuh kebencian.
"Sudah ku duga! Dia memang tidak pernah mencintai ku! Satu tahun! Kita baru berpisah satu tahun Angga !"
Hera kembali melampiaskan emosi nya. Kali ini pada barang barang yang berada di rumah nya. Memecahkan beberapa barang. Dan sesekali meraung memanggil Angga .
"Tapi kau...! Kau sudah kembali bahagia dengan wanita lain! Bajingan Angga !"
"Sedangkan aku! Aku terjebak dengan cinta mu dan tidak pernah bisa mencintai lelaki laiin! Aku membenci muuu!!"
"Aku tidak bisa melihat mu bahagia Angga. Tidak boleh!"
Pandangan Hera tampak kosong. Kemudian tertawa lepas seolah semua ucapan Angga tadi adalah lelucon.
"Gilang ... Kau menyayangi anak kita kan.. Lalu apakah kau masih bisa bahagia, jika aku melenyapkan Gilang ..." Hera menyeringai. Sepertinya pikiran nya memang sudah gila karena Angga . Dengan cepat Hera mengambil pemukul kasti dan berlari menuju kamar putranya. Hera seolah kehilangan jiwa nya saat melihat Angga bahagia sementara dirinya menderita. Jadi mungkin dengan cara ini, Angga juga akan menderita sepertinya.
Hera membuka pintu kamar Gilang . Terkejut saat melihat anak itu tergeletak tak berdaya di depan pintu.
Hera lalu mencengkram dagu Gilang dan memandang buah hati nya bersama Angga. Kembali mengingat surat undangan itu, hati Hera semakin hancur. Sementara Gilang nampak begitu ketakutan melihat ibunya. Apalagi melihat pemukul kasti yang di bawa ibunya.
"Mama ...."
"Mari mati bersama Gilang. Dan buat Papa mu menyesal sudah meninggalkan kita. Haha. Dia pasti menyesal mengetahui putra dan mantan istrinya meninggal."
Gilang menggelang kasar. Namun Hera yang sudah di butakan oleh emosi. Langsung melayangkan pemukul kasti itu pada tubuh putranya.
"Mama ....Mama AAA!!!"
BRUK!!
Bukan hanya sekali. Namun Hera terus memukulkan pemukul itu pada putranya berkali-kali meskipun Gilang menjerit kesakitan. Namun jeritan tangis putranya malah membuat Hera tertawa.
"Haha... Lihat Angga . Aku membunuh putramu. Putra kesayangan mu!!"
"HAHAHAHA..."
.
.
.
"Hana... Kau tampak sangat cantik dengan gaun nya." Hana nampak tersenyum malu mendengar pujian itu. Meskipun ini bukanlah pernikahan pertama mereka. Namun Angga menginginkan pernikahan yang meriah.
"Benar. Mama cantik sekali..." Naraya memandang kagum ibunya dengan gaun pengantin nya.
"Lalu setelah ini apa yang akan kita lakukan?"
Hana mendekat lalu mencium pipi putrinya. Memandang Angga yang masih terkagum padanya.
"Memilih bunga yang cantik untuk upacara pernikahan kita."
Angga tersenyum bahagia. Seolah dia memiliki kesempatan kedua untuk memulai hidupnya dengan keluarga baru.
"Oh tunggu ya Hana. Aku dapat telepon."
Angga meninggalkan Hana dan juga Naraya saat ponsel nya berdering. Dia lalu mengangkat panggilan tersebut.
"Oh iya halo...?"
"Ini dengan Tuan Angga ?"
"Oh iya itu saya. Ada apa ya?"
"Tuan Angga, bisakah Anda datang ke rumah sakit? Putra dan juga mantan istri mu terluka parah. Sepertinya, Nyonya Hera berusaha bunuh diri bersama Gilang. Bisakah Anda datang kemari?"
Angga menggeleng tidak percaya. Ponsel nya jatuh. Dan lutut nya menjadi lemas.
"Tidak mungkin..."
Hana menghampiri Angga yang nampak pucat dan lemas setelah mendapatkan panggilan tersebut.
"Mas Angga ada apa?"
"Hana aku harus ke rumah sakit..."
"Kenapa? Siapa yang sakit?" Hana nampak begitu cemas melihat calon suaminya itu.
"Gilang, putra ku."
"Putra mu yang bersama Hera?"
Angga menganggukkan kepalanya. "Iya... Aku pergi dulu Hana."
"Iya. Hati-hati Mas."
Angga berpamitan. Dan pergi menuju rumah sakit. Naraya menghampiri Mama nya. Memandang heran kenapa Papa Angga tiba-tiba saja meninggalkan mereka.
"Mama. Ada apa?"
Hana berjogkok di depan putri nya. "Sepertinya. Kakaknya Raya dapat masalah sayang."
"Putranya Papa Angga?"
Hana menganggukkan kepalanya. "Emm... Semoga dia baik-baik saja..."