Sinopsis
Caca, adik ipar Dina, merasa sangat benci terhadap kakak iparnya dan berusaha menghancurkan rumah tangga Dina dengan memperkenalkan temannya, Laras.
Hanya karena Caca tidak bisa meminta uang lagi kepada kakaknya sendiri bernama Bayu.
Caca berharap hubungan Bayu dan Laras bisa menggoyahkan pernikahan Dina. Namun, Dina mengetahui niat jahat Caca dan memutuskan untuk balas dendam. Dengan kecerdikan dan keberanian, Dina mengungkap rahasia gelap Caca, menunjukkan bahwa kebencian dan pengkhianatan hanya membawa kehancuran. Dia juga tak segan memberikan madu untuk Caca agar bisa merasakan apa yang dirasakan Dina.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19 CACA SEMAKIN TAKUT DENGAN ANCAMAN DINA
Hatiku hancur mendengar itu. Semua yang aku coba bangun, semua yang aku rencanakan, seolah sia-sia begitu saja. "Laras," suaraku menahan tangis, "Jika kamu terus begini, kamu akan merusak hidup kita semua. Aku nggak bisa membiarkan rumah tangga kakakku hancur hanya karena perasaan ini!"
Tetap tidak ada jawaban yang bisa membuatku merasa tenang. Justru, Laras semakin mendalami hubungan ini, dan aku semakin terperangkap dalam situasi yang aku ciptakan sendiri. Aku merasa keputusanku yang dulu untuk mempermainkan segalanya kini berbalik menghancurkan diriku sendiri.
"Laras," aku hampir menangis, "Aku mohon, berhenti. Ini bukan yang kita inginkan, bukan yang kita butuhkan."
Tapi Laras menjawab dengan lebih tegas, "Aku nggak bisa, Caca. Aku sudah jatuh cinta."
Aku terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Semua yang aku rencanakan kini seperti bom waktu yang siap meledak. Dalam keheningan itu, aku merasa sangat terpojok, dan rasanya dunia ini semakin sempit.
Ketika aku mendengar bahwa Laras dan Mas Bayu sedang berada di hotel berdua, hatiku serasa dihantam palu. Rasanya semua yang sudah kutata, rencanaku untuk menghancurkan rumah tangga kakakku, kini berbalik menjadi bumerang yang menghancurkan diriku. Aku tak bisa mengerti mengapa semuanya jadi begitu rumit.
Aku tak pernah membayangkan bahwa Mas Bayu, kakak laki-lakiku yang kuanggap tak mungkin berbuat hal seperti itu, akan terjebak dalam permainan ini. Aku selalu merasa bisa mengendalikan semuanya, tapi sekarang aku menyadari betapa salahnya aku.
Aku menghubungi Laras lagi, meskipun aku tahu bahwa aku sudah tak punya banyak kendali atasnya. "Laras!" suaraku gemetar, mencoba tetap tenang. "Kamu di mana? Apa yang sedang kalian lakukan?!"
Laras menjawab dengan suara yang terdengar lebih santai daripada yang aku harapkan. "Caca, aku dan Mas Bayu sedang berada di hotel. Kami… sedang berbicara, menikmati waktu bersama. Apa yang salah?"
Hatiku hampir berhenti berdetak. "Laras, kamu tahu kan ini salah? Jika sampai Mbak Dina tahu, semuanya akan hancur. Kamu tidak hanya merusak hidupku, tapi juga hidupmu sendiri dan Mas Bayu. Jangan lanjutkan ini, aku mohon."
Ada keheningan di ujung telepon. Aku bisa merasakan ketegangan yang semakin mendalam, dan begitu Laras akhirnya berbicara, suaranya terdengar lebih lembut, penuh penyesalan. "Aku tahu apa yang kamu katakan, Caca. Tapi aku tidak bisa menahan perasaan ini. Aku sudah terlalu jauh terlibat."
Aku merasa seakan-akan semuanya hilang begitu saja. "Laras, ini lebih dari sekadar perasaan. Kamu tahu konsekuensinya. Aku sudah mencoba mengendalikan semuanya, tapi jika kamu terus begini, aku tidak tahu bagaimana lagi."
Laras diam, dan aku bisa merasakan bahwa dia tidak bisa memberi jawaban yang memadai. Dalam hati, aku merasa cemas dan terhimpit. Aku benar-benar tidak tahu bagaimana mengatasi ini. Rasanya segalanya sudah di luar kendali, dan aku semakin terjerat dalam jebakan yang kutempatkan untuk orang lain.
Tapi sekarang, aku hanya bisa menunggu, menunggu sampai semuanya pecah dan terungkap, tanpa ada yang bisa aku lakukan untuk menghentikannya.
...****************...
Hari itu, aku merasa cemas, tak bisa berhenti berpikir tentang apa yang akan terjadi. Mbak Dina menghubungiku lagi, kali ini dengan nada yang lebih menegaskan. "Caca, kita perlu bicara. Datanglah ke kafe yang sudah kutentukan, aku ingin menemui kamu."
Aku sempat berpikir untuk menolaknya. Aku tak ingin terlibat lebih jauh dalam permainan berbahaya ini. Tapi, ancaman yang diberikannya beberapa waktu lalu masih menggema dalam pikiranku, mengingatkan aku betapa mudahnya dia bisa menghancurkan hidupku. Aku tahu jika aku menolak, Mbak Dina akan melakukan sesuatu yang lebih buruk, yang bahkan lebih memalukan daripada apa yang sudah terjadi.
Dengan perasaan berat, aku akhirnya memutuskan untuk pergi. Aku berpakaian sesederhana mungkin, tapi tetap berusaha menunjukkan aura percaya diri yang sempat kugenggam. Namun, rasa takutku semakin membesar saat aku melangkah masuk ke kafe yang dimaksud.
Mbak Dina sudah duduk di salah satu meja, matanya tajam menatapku. Tanpa berkata apa-apa, aku duduk di depannya, merasakan ketegangan yang melingkupi kami berdua.
"Apakah kamu merasa aman sekarang, Caca?" suara Mbak Dina terdengar datar, namun ada kekuatan yang tersembunyi dalam kata-katanya.
Aku tidak bisa menjawab, hanya mengangguk perlahan, meskipun jantungku berdegup kencang. Aku tahu bahwa ini adalah awal dari percakapan yang tidak akan mudah.
Mbak Dina menyandarkan punggungnya ke kursi, menatapku dengan pandangan tajam yang menembus. "Aku sudah cukup sabar dengan kelakuanmu, Caca. Tapi kali ini, aku benar-benar tidak bisa menutup mata lagi. Kamu pikir kamu bisa terus bermain seperti ini tanpa ada konsekuensinya?"
Hatiku semakin berdebar, aku bisa merasakan udara di sekelilingku menjadi semakin berat. "Mbak Dina, saya… saya tidak tahu apa yang Anda bicarakan," aku mencoba mengalihkan pembicaraan, meskipun aku tahu itu sia-sia.
Mbak Dina tersenyum tipis, senyuman yang lebih menyeramkan daripada yang bisa kuterima. "Jangan coba berdusta lagi. Aku sudah tahu semuanya. Tentang kamu yang mengirimkan Laras untuk mendekati Bayu. Tentang kamu yang ingin merusak rumah tangga kami. Kamu pikir kamu bisa lepas begitu saja?"
Aku tercekat, perasaan panik mulai menguasai pikiranku. "Mbak Dina, tolong, jangan… Saya tidak bermaksud seperti itu," suaraku bergetar, tapi aku tahu ini sudah terlambat.
"Jangan mengaku tidak tahu, Caca. Aku sudah punya bukti, dan jika aku menginginkannya, aku bisa menghancurkanmu kapan saja. Jadi, berhenti sebelum kamu benar-benar tidak bisa kembali. Aku akan mengingatkanmu sekali lagi. Jika kamu terus melangkah lebih jauh, aku tidak akan segan-segan untuk membuat semua ini diketahui oleh keluargamu. Bahkan suamimu sekalipun tidak akan bisa menolongmu."
Setiap kata yang keluar dari mulutnya seperti pedang tajam yang menusuk hati. Aku bisa merasakan ketakutan yang semakin dalam. Aku hanya bisa menundukkan kepala, tidak tahu harus berkata apa lagi.
"Apa kamu mengerti sekarang, Caca?" Mbak Dina bertanya dengan suara yang lebih rendah, penuh ancaman.
Aku hanya bisa mengangguk, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh. Aku merasa semakin terperangkap, semakin tak berdaya. Jika aku tidak berhenti, semuanya akan berakhir buruk bagiku.
Aku merasa dunia seakan runtuh saat mendengar kabar itu. Mas Bayu, kakak laki-lakiku, yang selama ini kupuja dan kudekati, akhirnya terperangkap dalam perselingkuhan dengan Laras. Berita itu menyebar begitu cepat, dan seolah-olah semua orang tahu—termasuk keluarga besar kami.
Pikiranku kalut, bergejolak. Aku bahkan tak tahu harus merasa marah, kecewa, atau takut. Yang pasti, aku tahu bahwa rencana yang aku buat selama ini, rencana untuk membuat Bayu tergelincir dalam cengkeramanku dan Laras, telah berbuah buruk. Bahkan, sekarang semuanya berada di ujung tanduk.
kadang kasian Ama Caca, tp kenapa dia ngga mikir y gimana perasaan Dina. yg skg dia alami.
apa Caca ngga sadar ini ulahnya.
makin merasa terzolimi padahal dia sendiri pelakunya