Ethan, cowok pendiam yang lebih suka ngabisin waktu sendirian dan menikmati ketenangan, gak pernah nyangka hidupnya bakal berubah total saat dia ketemu sama Zoe, cewek super extrovert yang ceria dan gemar banget nongkrong. Perbedaan mereka jelas banget Ethan lebih suka baca buku sambil ngopi di kafe, sementara Zoe selalu jadi pusat perhatian di tiap pesta dan acara sosial.
Awalnya, Ethan merasa risih sama Zoe yang selalu rame dan gak pernah kehabisan bahan obrolan. Tapi, lama-lama dia mulai ngeh kalau di balik keceriaan Zoe, ada sesuatu yang dia sembunyikan. Begitu juga Zoe, yang makin penasaran sama sifat tertutup Ethan, ngerasa ada sesuatu yang bikin dia ingin deketin Ethan lebih lagi dan ngenal siapa dia sebenarnya.
Mereka akhirnya sadar kalau, meskipun beda banget, mereka bisa saling ngelengkapin. Pertanyaannya, bisa gak Ethan keluar dari "tempurung"-nya buat Zoe? Dan, siap gak Zoe untuk ngelambat dikit dan ngertiin Ethan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Papa Koala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Malam yang Terlalu Tenang
Keesokan harinya, Ethan terbangun dengan perasaan yang aneh. Biasanya, dia langsung bangun, bersiap-siap, lalu duduk di depan laptop untuk memulai pekerjaannya. Tapi hari ini, dia merasa sedikit enggan. Tidak ada agenda spesifik yang menantinya selain rutinitas biasa, namun pikirannya terus-menerus kembali ke malam kemarin festival, Zoe, tawa, dan semua kekacauan menyenangkan yang dibawa perempuan itu dalam hidupnya.
Dia menarik napas panjang sambil menatap langit-langit kamar, mencoba menghilangkan bayangan Zoe dari pikirannya. Tapi, seperti biasa, semakin dia berusaha tidak memikirkan sesuatu, semakin jelas bayangan itu hadir. Zoe memang ahli dalam memasuki ruang-ruang tak terduga di kepala seseorang.
Sementara itu, di tempat lain, Zoe duduk di atas kasur dengan handuk masih menempel di rambutnya. Dia baru saja selesai mandi, dan, seperti biasa, hari ini dia bangun dengan penuh energi. Namun, ada sesuatu yang terasa sedikit berbeda. Biasanya, pagi hari seperti ini dia sudah sibuk dengan segudang rencana, tapi kali ini dia justru asyik memikirkan hal-hal konyol yang terjadi di festival kemarin. Terutama tentang Ethan dan boneka beruang kecil yang dimenangkannya.
Dia menyandarkan punggung ke bantal, sambil tersenyum kecil. “Serius deh, Ethan tuh orang paling nggak seru, tapi kok jadi menarik ya?” gumamnya pelan sambil tertawa sendiri. Ada perasaan hangat di dadanya yang sulit dijelaskan. Rasanya nyaman, tapi juga aneh. Zoe, yang biasanya serba spontan dan bebas, mendapati dirinya ingin lebih tahu tentang Ethan. Bukan sekadar tahu apa hobinya atau bagaimana cara dia bekerja, tapi ingin memahami cara berpikirnya yang diam-diam menarik.
Zoe mengecek ponselnya, melihat notifikasi chat dari Ethan.
Ethan: "Hari ini sibuk? Pengen ajak ngobrol."
Zoe tersenyum. Bukan Ethan banget untuk tiba-tiba ngajak ngobrol tanpa alasan yang jelas, apalagi lewat pesan singkat seperti ini. Biasanya, dia lebih suka langsung ketemu dan bicara. Zoe merasa ada yang berbeda, dan itu membuatnya penasaran.
Zoe: "Ngobrol soal apa? Eh, jangan-jangan kamu lagi galau ya? Boleh curhat kok!"
Ethan: "Nggak galau. Ada sesuatu aja yang mau dibahas. Tapi tenang, ini bukan tentang hal serius. Bisa ketemu nanti sore?"
Zoe membalas cepat, "Bisa dong! Tentu aja aku bisa. Di mana nih kita ketemu?"
Setelah menentukan waktu dan tempat, Zoe langsung sibuk bersiap-siap. Tidak ada yang lebih bikin penasaran daripada laki-laki pendiam yang tiba-tiba pengen ngobrol. Dalam kepalanya, Zoe terus bertanya-tanya: Apa Ethan bakal buka diri lebih banyak? Atau mungkin dia cuma mau ngomongin hal random kayak biasanya?
Sore itu, mereka bertemu di taman kecil yang tidak jauh dari apartemen Ethan. Tempatnya cukup sepi, dengan beberapa bangku kayu yang dikelilingi pohon-pohon rindang. Ethan sudah duduk di salah satu bangku ketika Zoe datang.
“Aku nggak telat, kan?” Zoe menyapa ceria, duduk di samping Ethan sambil merapikan rambutnya yang sedikit berantakan karena angin sore.
“Nggak, kamu pas waktu, kali ini,” jawab Ethan sambil tersenyum tipis. Dia menatap Zoe sebentar, lalu menunduk, seolah mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk memulai pembicaraan.
“Kamu bilang mau ngobrol, jadi... ngomong dong,” Zoe menggoda, mencoba mencairkan suasana yang tiba-tiba jadi sedikit canggung.
Ethan menarik napas panjang sebelum akhirnya bicara. “Aku cuma mau bilang... terima kasih.”
Zoe mengerutkan kening. “Terima kasih? Buat apa?”
“Buat kemarin. Aku nggak biasanya keluar kayak gitu, dan aku sadar kalau... itu menyenangkan,” Ethan menjelaskan, suaranya terdengar agak malu-malu.
Zoe tertawa. “Kamu serius? Itu cuma festival kecil dan lempar bola gagal, Eth. Tapi... aku juga senang sih. Kamu nggak biasanya ngomong kayak gini, jadi aku anggap ini pujian tertinggi dari seorang Ethan.”
Mereka tertawa bersama, dan suasana yang tadinya agak canggung mulai mencair. Zoe menatap Ethan dengan pandangan penuh penasaran. Ethan memang bukan tipe orang yang sering membuka diri, pikirnya. Jadi, kalau dia mulai bicara seperti ini, pasti ada sesuatu yang dia rasakan.
“Kamu tahu, Eth,” Zoe berkata pelan sambil menyandarkan kepalanya ke sandaran bangku. “Kadang-kadang, hal-hal kecil yang nggak terencana itu bisa jadi momen terbaik. Seperti festival kemarin, misalnya. Aku nggak nyangka kamu bakal menikmati acara se-sederhana itu.”
“Ya, aku juga nggak nyangka,” Ethan mengakui. “Mungkin aku terlalu banyak berpikir selama ini, terlalu fokus sama rutinitas, sampai lupa bahwa ada hal-hal di luar sana yang bisa dinikmati tanpa harus direncanakan.”
Zoe mengangguk setuju. “Lihat kan, hidup nggak selalu harus terstruktur. Kadang-kadang, ya... let it flow aja. Kamu bakal kaget dengan apa yang bisa terjadi.”
Ethan menatap Zoe, ada sesuatu yang berbeda dalam pandangannya. “Mungkin aku harus lebih banyak belajar dari kamu soal itu.”
Zoe tertawa kecil. “Belajar dari aku? Well, aku senang kalau bisa jadi guru kehidupan buat kamu, Eth. Tapi ya... jangan terlalu banyak belajar juga. Kalau kamu jadi terlalu kayak aku, nanti dunia ini jadi kacau.”
“Dunia ini udah kacau,” balas Ethan cepat, membuat Zoe terkekeh.
Mereka duduk diam sejenak, menikmati ketenangan sore yang mulai berganti dengan warna jingga di langit. Angin berhembus pelan, membuat dedaunan di sekitar mereka bergemerisik lembut. Zoe menatap langit sambil tersenyum.
“Kamu pernah kepikiran nggak, Eth? Kadang-kadang, momen kayak gini... yang nggak ada dramanya, nggak ada yang perlu diurusin... itu justru momen terbaik.”
Ethan mengangguk. “Ya, aku baru menyadarinya.”
Zoe memutar kepala dan menatap Ethan dengan senyum jahil. “Eh, kamu makin lama makin puitis nih. Jangan-jangan kamu diam-diam nulis puisi di kamar?”
Ethan tertawa pelan. “Jangan terlalu berharap.”
“Tapi serius nih, Eth,” Zoe mencondongkan tubuhnya sedikit, “aku senang kamu mulai menikmati hal-hal kayak gini. Kadang-kadang, kita butuh keluar dari zona nyaman buat bener-bener merasakan hidup.”
“Ya, mungkin kamu benar.”
Mereka melanjutkan obrolan santai, membahas hal-hal ringan—tentang film, musik, dan sesekali tentang teman-teman lama mereka. Zoe tetap menjadi Zoe, dengan caranya yang ceria dan spontan. Sementara Ethan, meski lebih kalem, mulai merasa nyaman berada di sekitar Zoe tanpa perlu terlalu banyak berpikir.
Saat matahari mulai benar-benar tenggelam, Zoe berdiri dan meregangkan badannya. “Oke, udah cukup ngobrol santai untuk hari ini. Aku lapar. Gimana kalau kita makan malam?”
Ethan mengangkat bahu. “Terserah. Kamu yang biasanya punya ide bagus soal makanan.”
“Yup! Aku tahu tempat pizza enak dekat sini. Kamu pasti suka! Dan tenang, ini bukan pizza yang aneh-aneh, jadi kamu nggak perlu takut,” Zoe menggoda sambil menepuk bahu Ethan sebelum berjalan lebih dulu.
Ethan hanya tersenyum kecil sambil mengikuti Zoe dari belakang. Mungkin, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia merasa bahwa keluar dari rutinitas yang selalu terstruktur adalah sesuatu yang patut dicoba lebih sering. Dan di samping Zoe, dia merasa hal itu menjadi lebih mudah dilakukan.