(Warning !! Mohon jangan baca loncat-loncat soalnya berpengaruh sama retensi)
Livia Dwicakra menelan pil pahit dalam kehidupannya. Anak yang di kandungnya tidak di akui oleh suaminya dengan mudahnya suaminya menceraikannya dan menikah dengan kekasihnya.
"Ini anak mu Kennet."
"Wanita murahan beraninya kau berbohong pada ku." Kennte mencengkram kedua pipi Livia dengan kasar. Kennet melemparkan sebuah kertas yang menyatakan Kennet pria mandul. "Aku akan menceraikan mu dan menikahi Kalisa."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sayonk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 12
Alan menatap beberapa pria itu, dia merasa pusing dan tak bisa mengangkat wajahnya. Samar-samar ia mendengarkan salah satu dari mereka mengajaknya pergi dan meninggalkannya. Kedua matanya pun bertambah berat.
Sedangkan di tempat lain, seorang pria tersenyum. Dia meminum jus di tangannya sedikit demi sedikit. Ia merasa puas melihat seorang pria yang sedang lemas itu.
"Kau melakukan yang terbaik, aku akan memberikan bonus untuk mu."
"Terima kasih bos," ucap seorang pria di seberang sana.
Kennet menaruh jus di tangannya itu. Dia melihat Kalisa yang sedang menggunakan kain hitam yang menerawang. "Sayang."
Kalisa mengalungkan kedua lengannya ke leher Kennet. Dia mencium bibirnya. Kennet pun membalas ciumannya itu. "Tidurlah, aku masih banyak pekerjaan."
"Sayang aku merindukan mu."
Kennet tak bisa melakukannya karena ia memang sedang banyak pekerjaan. Tapi ia juga harus memenuhi tanggung jawabnya. "Baiklah." Kennet mencium Kalisa dan mengabsen tubuhnya kemudian membaringkannya ke atas ranjang.
Keesokan harinya.
Alan membuka kedua matanya. Samar-samar ia melihat langit-langit. Livia merasa senang, sejak semalam ia khawatir pada Alan karena pria itu tak kunjung sadar. Padahal dokter sudah mengatakan bahwa Alan sudah melewati masa kritisnya. Namun ia tetap saja khawatir. “Alan kau sudah sadar, apa kau haus?”
“Livia.” Suara Alan begitu lirih. “Kau di sini? Dimana anak-anak?” Jika Livia menjaganya lalu bagaimana dengan kelima anaknya.
“Mereka berada di rumah. Tadi pagi Anita menghubungi ku, dia ingin membawa anak-anak ke rumahnya untuk bermain dengan Zelo.” Tutur Livia, setidaknya ia merasa senang karena ada yang mau menjaga anak-anaknya.
“Maafkan aku.” Alan merasa bersalah. “Tadi malam aku hendak menabrak seorang wanita. Aku mau membantunya, tapi tidak di sangka aku malah seperti ini.”
“Aku sama sekali tidak merasa di repotkan. Aku senang kau baik-baik saja. Sekarang makanlah, kau harus makan supaya cepat sembuh kan?”
“Iya.” Alan menurut.
Sementara itu, Anita terlihat bahagia melihat anak-anak Livia. Mereka bernyanyi dan hanya Caesar yang diam.
Anita melirik Caesar, bocah itu hanya terdiam. Ia penasaran tentang ayah mereka. “Cae, maaf boleh tante tanya dimana ayah mu, emm ayah kalian?”
Caesar tersenyum, dia tidak akan berbohong. “Dia meninggalkan kami. Tapi kami tidak masalah, kami sudah memiliki ibu yang hebat. Dia sudah menjadi ayah dan ibu bagi kami.”
Anita takjub, dia merasa senang melihat ketegaran anak-anak Livia. Mereka begitu tegar dan sabar. “Anak Tante sudah tidak sabar melihat kalian dan bermain dengan kalian.” Apa lagi bermain dengan Khanza, Zelo sangat menyukai Khanza.
Butuh 15 menit mereka pun sampai. Anita memarkirkan mobilnya dan membantu anak-anak Livia turun. Kini mereka bersama-sama masuk ke dalam. Tentunya di dalam, Zelo sedang menunggu kedatangan mereka.
“Zelo.” Sapa Anita. Dia bermaksud memeluk Zelo namun anak itu malah melewatinya dan menggenggam tangan Khanza.
Anita menoleh, dia menatap putranya dengan wajah kesal. Entah dari mana putranya belajar mengabaikannya. “Dia, apa dulu waktu ayahnya masih kecil seperti itu?”
“Kak Khanza, ayo main sama Zelo. Kakak ayo kita main.”
Anita tersenyum dengan wajah paksa. “Sebaiknya kalian bermain, tante akan membawakan kue untuk kalian.”
Zelo menarik lengan Khanza untuk bermain dengannya. Kini lima bocah itu bermain dengan Zelo.
Anita membawakan nampan yang berisi biskuit, kue dan berisi jus. Dari arah samping kanan dia melihat Kalisa dan Kennet yang melangkah bersama. Tadi malam mereka menginap di luar dan sudah mengabarinya bahwa akan pulang hari ini.
"Kennet, Kalisa."
"Aku ke lantai atas dulu untuk membereskan pakaian kita." ucap Kalisa.
Kennet tak menjawab, dia merasa tertarik pada nampan yang di bawa oleh Anita. "Kau mau membawanya kemana? Apa di sini kedatangan tamu?"
"Ini untuk anak-anak. Tadi aku menjemput anak Livia untuk menemani anak ku," ucap Anita. Dia sengaja mengungkit nama Livia untuk melihat ekspresi Kennet. Dan benar saja, wajah pria itu terlihat terkejut.
"Anak Livia?" Kennet tak percaya bahwa ia bertemu dengan anak dari musuhnya itu.
"Kenapa Kennet? Maaf ya, kau tidak suka anak kecil. Tetapi Zelo meminta ku untuk mengajak mereka bermain. Lagi pula Livia ada di rumah sakit. Temannya sakit jadi dia yang menemaninya."
"Apa?!" Kennet semakin membara. Tidak cukup membuatnya menderita sekarang Livia malah sok perhatian pada pria tengik itu.
"Mommy mana kuenya?" tanya Zelo. Kasihan para kakaknya yang sedang menunggu. Apa lagi kakak cantiknya. "Kak Khanza pasti menunggu."
"Ah iya Sayang maaf." Anita merasa bersalah karena ia harus melihat ekspresi Kennet. Dia melirik Kennet yang masih berwajah menyala dendam.
Anita menaruh biskuit dan kue di meja. Lima anak itu pun mengambil dan Zelo memberikan pada Khanza.
"Hey Zelo, kau masih kecil. Jangan perhatian sama adik ku." Damian tidak suka. Anak kecil itu mencari perhatian pada adiknya. Siapa pun yang berani mendekati adiknya harus melawannya dulu.
"Apa masalahnya? Aku hanya suka kakak saja." Zelo menyahut. Dia bukan anak kecil. Dia bisa membahagiakan Khanza.
Khanza melerai, kakaknya selalu saja mencari masalah dengan Zelo. "Sudahlah kak, dia masih kecil. Kasihan, lihat saja dia seperti anak kelinci."
Anita melirik ke arah kaca, dinding pembatas itu terbuat dari kaca. Ia terkejut melihat Kennet berada di depan dinding kaca itu. Ia kira hantu yang bergentayangan. "Aku semakin curiga, apa mereka memang anak Kennet." Ia menghampiri Kennet. "Kennet kau ingin masuk, cobalah dekati mereka. Anak-anak itu lucu."
"Ada salah satu anak yang mirip dengan mu." Ia berharap Kennet penasaran namun pria itu masih sama saja.
Dia pria bodoh ini batin Anita. Ia tidak memiliki bukti untuk mengungkapkan kebenaran tentang Kennet.
"Aku sama sekali tidak berniat." Kennet melangkah pergi namun seorang anak kecil menghentikan langkahnya.
"Hey om jahat, kenapa kau masih ada di sini? Kau menumpang ya?" Khanza berteriak sambil mengejak. Ia memiliki dendam membara pada pria itu.
Anita membulatkan kedua matanya. Jangan sampai Kennet menyakiti anak-anak. "Sayang ayo masuk, sebaiknya kau main saja."
"Tante apa dia menyakiti Tante, tenang saja aku akan mengomelinya."
"Khanza apa yang kau lakukan?" tanya Damian. Tiga anak lainnya pun mengikuti Khanza keluar.
Khanza menunjuk pada Kennet. "Dia om jahatnya. Dia om yang menyeramkan."
Kennet berbalik, selama ini ia tidak pernah di ejek anak kecil. Harga dirinya di rendahkan tentu saja ia tidak terima apa lagi anak kecil. "Apa kalian tidak memiliki sopan santun?" bentak Kennet.
"Dimana ibu dan ayah kalian? Oh, apa kalian hanya di rawat oleh ibu kalian sehingga ayah kalian tidak mengajarkan kalian tata krama. Dasar anak tidak punya sopan santun."
Caesar mengepalkan kedua tangannya. Tidak ada yang boleh mengungkit ibunya dan merendahkan ibunya. "Kami memang tidak memiliki ayah, tapi ibu kami adalah sosok ayah bagi kami. Kami tidak membutuhkan ayah yang telah meninggalkan kami."