Dalam novel Janji Cinta di Usia Muda, Aira, seorang gadis sederhana dengan impian besar, mendapati hidupnya berubah drastis saat dijodohkan dengan Raka, pewaris keluarga kaya yang ambisius dan dingin. Pada awalnya, Aira merasa hubungan ini adalah pengekangan, sementara Raka melihatnya sebagai sekadar kewajiban untuk memenuhi ambisi keluarganya. Namun, seiring berjalannya waktu, perlahan perasaan mereka berubah. Ketulusan hati Aira meluluhkan sikap keras Raka, sementara kehadiran Raka mulai memberikan rasa aman dalam hidup Aira.
Ending:
Di akhir cerita, Raka berhasil mengatasi ancaman yang membayangi mereka setelah pertarungan emosional yang menegangkan. Namun, ia menyadari bahwa satu-satunya cara untuk memberikan kebahagiaan sejati pada Aira adalah melepaskan semua kekayaan dan kuasa yang selama ini menjadi sumber konflik dalam hidupnya. Mereka memutuskan untuk hidup sederhana bersama, jauh dari ambisi dan dendam masa lalu, menemukan kebahagiaan dalam cinta yang tulus dan ketenangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjar Sidik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25: Konfrontasi Akhir
Pagi itu, suasana mendung menggantung di atas kota, seakan mencerminkan kekacauan yang mengisi pikiran Arga. Setelah semua kejadian dan pesan-pesan misterius yang ia terima, Arga merasa cukup. Ia memutuskan untuk menyelesaikan semuanya hari ini, untuk menghadapi kebenaran yang mungkin selama ini ia hindari.
Dia telah mengatur pertemuan dengan Dira di sebuah tempat yang mereka kenal baik—sebuah taman yang dulu menjadi saksi awal hubungan mereka. Namun, perasaan bahagia yang dulu melekat kini digantikan dengan ketegangan dan kebingungan. Arga memegang ponselnya erat, jari-jarinya gemetar saat mencoba menghubungi nomor misterius itu sekali lagi.
---
Di Taman Bersama Dira
Setelah beberapa menit menunggu, Dira tiba dengan langkah ragu. Wajahnya tampak lelah, mungkin akibat dari perdebatan dan ketidakpastian yang semakin melilit hubungan mereka. Arga berdiri dan menatapnya, berusaha menemukan kekuatan untuk menyelesaikan semua ini.
Arga: (nada tenang, meski wajahnya tegang) "Terima kasih sudah datang, Dira. Aku tahu kamu lelah, tapi aku butuh kejelasan hari ini."
Dira: (menatap Arga dengan tatapan tajam) "Arga, aku sudah memberikan kejelasan berkali-kali. Apa lagi yang kamu inginkan dariku?"
Arga terdiam sejenak, mencari kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan keresahannya. Dalam hatinya, ia tahu Dira adalah seseorang yang setia, namun pesan-pesan misterius dan bayangan masa lalu terus menghantui pikirannya.
Arga: (menarik napas dalam) "Dira, ada seseorang yang terus-menerus mengirimkan pesan padaku... seakan ingin aku meragukanmu. Seseorang yang mencoba menghancurkan kita."
Dira terlihat bingung dan kesal. Ia menggelengkan kepalanya, merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
Dira: "Jadi kamu memilih mempercayai pesan-pesan itu daripada aku? Arga, aku tidak bisa hidup dengan seseorang yang selalu meragukanku."
Arga terdiam, merasa terjebak di antara cinta dan ketakutannya sendiri. Namun, sebelum ia bisa menjawab, sebuah suara mengejutkan mereka.
---
Munculnya Orang yang Mengirim Pesan Misterius
Tiba-tiba, seorang pria muda muncul dari balik pohon. Arga dan Dira menoleh, terkejut melihat siapa yang berdiri di hadapan mereka. Raka, sahabat Arga, berdiri dengan ekspresi yang sulit diartikan. Di tangannya, sebuah ponsel terbuka, menunjukkan jejak pesan-pesan yang selama ini dikirimkan ke Arga.
Arga: (marah dan bingung) "Raka? Jadi selama ini kamu yang mengirim semua pesan itu? Untuk apa?"
Raka: (tersenyum sinis) "Aku hanya ingin kau sadar, Arga. Kau selalu terlalu mudah percaya, dan aku hanya membuktikan bahwa perasaanmu tidak sekuat yang kau kira."
Dira menatap Raka dengan ekspresi penuh kekecewaan. Semua kepercayaannya hancur begitu saja saat melihat bagaimana Raka, yang dianggapnya sahabat baik mereka, justru menjadi sumber kekacauan hubungan mereka.
Dira: (menangis) "Raka, kenapa kamu melakukan ini? Apa kamu benar-benar ingin menghancurkan kami?"
Raka mendekat, tatapannya dingin. Wajahnya menyiratkan penyesalan, namun ia tidak mundur dari tindakannya. Baginya, semua yang ia lakukan adalah cara untuk menunjukkan kebenaran pada Arga.
Raka: "Kalian tidak akan pernah mengerti. Aku sudah terlalu lama berada di bayang-bayang kalian, melihat hubungan kalian yang seakan sempurna. Dan aku hanya ingin membuktikan bahwa… tidak ada yang benar-benar sempurna."
---
Ketegangan dan Konfrontasi Akhir
Arga merasa marah, namun di balik amarahnya, ada perasaan kecewa yang mendalam. Raka, sahabat yang ia percayai sejak dulu, ternyata menyimpan perasaan iri dan dendam yang begitu besar.
Arga: (nada tenang namun tajam) "Raka, kalau kamu merasa tidak puas dengan hidupmu, kamu bisa bicara. Kamu tidak perlu merusak hidup orang lain hanya untuk membuktikan sesuatu."
Raka: "Bicara? Kau bahkan tidak akan peduli. Selama ini kau hanya melihat dirimu sendiri, Arga."
Dira mencoba menenangkan Arga, meski ia sendiri merasa sakit hati dengan pengkhianatan Raka. Sambil memegang tangan Arga, Dira menggelengkan kepalanya, memberikan isyarat untuk tidak terlalu terpengaruh oleh amarah.
Dira: (suara lembut namun tegas) "Arga, tidak ada gunanya memperpanjang masalah ini. Raka sudah menunjukkan siapa dirinya. Kita harus fokus pada apa yang kita inginkan bersama."
Arga menatap Dira, merasa seolah semua kebingungan dan keraguannya mulai sirna. Ia sadar bahwa cintanya pada Dira jauh lebih kuat dari segala ketidakpastian yang selama ini menghantuinya.
Arga: "Kau benar, Dira. Mungkin ini adalah ujian terakhir bagi kita."
---
Keputusan Raka
Namun, Raka tidak berhenti di situ. Dengan suara yang getir, ia mengungkapkan sesuatu yang mengejutkan.
Raka: "Baiklah, kalau kalian pikir kalian bisa melupakanku begitu saja… kita lihat saja. Aku akan memastikan hidup kalian tidak akan pernah sama."
Raka berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan ancaman yang menggantung di udara. Arga dan Dira saling menatap, menyadari bahwa meski mereka telah mengetahui kebenaran, bayangan ancaman dari Raka masih membayangi mereka. Mereka harus bersiap menghadapi konsekuensi dari pengkhianatan ini, dengan kekuatan cinta dan kepercayaan yang telah mereka temukan kembali.
Arga duduk sendirian di balkon rumahnya, memandang ke arah langit yang beranjak gelap. Pikirannya dipenuhi kecamuk antara pengkhianatan Raka dan keteguhan cinta yang ia rasakan untuk Dira. Ancaman yang dilontarkan Raka siang tadi terus terngiang di telinganya, membuatnya gelisah dan cemas.
Namun, di balik kecemasannya, ada tekad yang perlahan muncul. Ia sadar, selama ini ia membiarkan keraguan menghancurkan segalanya, membiarkan Raka memanipulasi pikirannya dan hampir merusak hubungannya dengan Dira. Kali ini, Arga memutuskan untuk menyelesaikan semua masalah ini. Dengan atau tanpa Raka.
---
Malam Konfrontasi di Rumah Arga
Tidak lama setelah itu, terdengar suara ketukan pintu yang keras. Arga bergegas turun ke lantai bawah dan membuka pintu, menemukan Dira berdiri di sana, wajahnya terlihat panik.
Arga: (mengernyit) “Dira, ada apa? Kenapa kamu datang malam-malam begini?”
Dira: (terbata-bata, suaranya bergetar) “Arga... Raka... Dia... Dia menghubungiku, mengancamku. Katanya dia akan... melakukan sesuatu yang membuat kita menyesal.”
Arga mengepalkan tangan, merasa marah sekaligus frustrasi. Rasanya ia ingin segera menghadapi Raka dan menghentikan semua kekacauan ini, namun ia tahu tindakan gegabah hanya akan memperparah situasi.
Arga: (berusaha tenang) “Tenang, Dira. Kita tidak boleh bertindak terburu-buru. Aku akan menemui Raka besok dan menyelesaikan ini.”
Dira menggeleng, ketakutan jelas tergambar di wajahnya.
Dira: “Tidak, Arga. Kita harus berhati-hati. Raka... dia sudah berubah. Aku takut dia akan melakukan hal-hal yang tak terduga.”
Arga menatap Dira dalam-dalam, merasakan kesedihan sekaligus ketegangan yang menyelimuti mereka berdua. Ia memegang tangan Dira erat, berusaha memberi keyakinan.
Arga: “Aku berjanji, aku tidak akan membiarkan dia menyakiti kita lagi. Cinta kita lebih kuat dari semua kebencian ini.”
Dira terdiam, namun di matanya tampak sedikit ketenangan. Arga tahu kata-katanya tidak cukup, tapi ia berharap cinta dan tekad mereka dapat menghadapi ancaman ini.
---
Esok Harinya – Konfrontasi dengan Raka
Arga akhirnya menemui Raka di tempat biasa mereka bertemu, sebuah kafe kecil yang sering mereka kunjungi semasa kuliah. Namun, atmosfernya kini terasa berbeda. Raka duduk di pojokan, dengan wajah dingin yang berbeda jauh dari sosok sahabat yang ia kenal.
Arga: (nada tegas) “Raka, aku sudah tahu semuanya. Kenapa kamu melakukan ini? Apa salahku sampai kamu menghancurkan hidupku?”
Raka menyeringai, menyesap kopi di depannya dengan sikap acuh tak acuh.
Raka: (suaranya rendah dan sinis) “Salahmu? Salahmu adalah kamu hidup terlalu sempurna, Arga. Kamu punya segalanya—cinta, keluarga, karier. Sementara aku? Aku hanya bayang-bayang yang tak pernah kamu perhatikan.”
Arga menahan napas, merasakan gelombang kemarahan bercampur dengan rasa bersalah. Selama ini ia tidak pernah menyangka sahabatnya menyimpan dendam yang begitu dalam.
Arga: “Aku tidak pernah bermaksud seperti itu, Raka. Aku menganggapmu saudara sendiri. Jika kamu merasa tersisihkan, kenapa tidak bicara langsung padaku?”
Raka: (menatap tajam) “Bicara? Kau bahkan tidak pernah benar-benar mendengarkanku. Kau selalu tenggelam dalam duniamu sendiri. Aku hanya ingin kau tahu bagaimana rasanya... kehilangan segalanya.”
Arga terdiam, menyadari bahwa kata-katanya mungkin tak lagi bisa mengubah hati Raka yang dipenuhi kebencian. Namun, ia tetap berusaha mengendalikan emosinya, berharap bisa menemukan jalan keluar tanpa harus ada yang terluka lebih dalam.
Arga: “Raka, aku memohon. Jangan biarkan kebencian menghancurkan semuanya. Kita bisa memperbaiki ini, bersama-sama.”
Raka tersenyum tipis, tetapi di balik senyum itu ada kepahitan yang sulit dihilangkan.
Raka: “Tidak, Arga. Aku sudah terlalu jauh. Dan aku akan memastikan kau kehilangan semua yang kau cintai.”
---
Ketegangan Memuncak – Serangan Tak Terduga
Arga pulang dengan perasaan bercampur aduk, menyadari bahwa kata-katanya tidak mampu menyentuh hati Raka yang sudah penuh dendam. Namun, saat ia tiba di rumah, ia melihat sesuatu yang tidak beres. Pintu depan rumahnya terbuka sedikit, padahal ia yakin telah menguncinya.
Dengan langkah hati-hati, Arga memasuki rumah. Ia memanggil Dira, namun tidak ada jawaban. Ketika ia menuju ke ruang tamu, ia menemukan sebuah surat tergeletak di meja. Surat itu berisi ancaman singkat:
"Arga, ini baru permulaan. Kau akan kehilangan semua yang kau cintai, satu per satu."
Arga merasa dadanya sesak, tangan gemetar saat membaca surat itu. Ketakutan yang selama ini ia sembunyikan akhirnya muncul ke permukaan. Dira… apakah Dira dalam bahaya?
Arga: (berbisik, putus asa) “Dira… di mana kamu?”
Arga segera mencoba menghubungi Dira, namun ponselnya tidak tersambung. Dengan panik, ia berlari keluar rumah, mencari-cari Dira di sekitar lingkungan, berharap menemukan petunjuk keberadaannya.
---
Di tengah kepanikan itu, ponsel Arga berdering. Nama Dira muncul di layar, membuat jantungnya berdegup kencang. Ia segera mengangkat panggilan tersebut.
Arga: (suara cemas) “Dira! Di mana kamu? Apa kamu baik-baik saja?”
Namun, suara yang terdengar di seberang bukanlah suara Dira, melainkan suara Raka yang berbicara dengan nada puas.
Raka: “Arga, ini baru permulaan dari semua rasa sakit yang akan kau alami. Aku harap kau siap kehilangan... segalanya.”
Sebelum Arga sempat membalas, sambungan telepon terputus. Arga berdiri membeku, merasakan ancaman Raka semakin nyata dan mengerikan.
Ia menyadari bahwa ini bukan sekadar rasa sakit hati atau dendam biasa—Raka benar-benar bertekad untuk menghancurkan hidupnya. Dan kali ini, Arga harus menemukan cara untuk melindungi orang-orang yang ia cintai sebelum semuanya terlambat.
---
Bab ini diakhiri dengan cliffhanger, meninggalkan pembaca dalam ketegangan tinggi, bertanya-tanya bagaimana Arga akan menghadapi ancaman Raka yang semakin menjadi-jadi.
hasil tak akan maksimal sesuatu yg dpaksakn itu.
anggap aja sodara angkat, jika memang tidak berjodoh