Aluna, seorang penulis sukses, baru saja merampungkan novel historis berjudul "Rahasia Sang Selir", kisah penuh cinta dan intrik di istana kerajaan Korea. Namun, di tengah perjalanannya ke acara temu penggemar, ia mengalami kecelakaan misterius dan mendapati dirinya terbangun di dalam tubuh salah satu karakter yang ia tulis sendiri: Seo-Rin, seorang wanita antagonis yang ditakdirkan membawa konflik.
Dalam kebingungannya, Aluna harus menjalani hidup sebagai Seo-Rin, mengikuti alur cerita yang ia ciptakan. Hari pertama sebagai Seo-Rin dimulai dengan undangan ke istana untuk mengikuti pemilihan permaisuri. Meski ia berusaha menghindari pangeran dan bertindak sesuai perannya, takdir seolah bermain dengan cara tak terduga. Pangeran Ji-Woon, yang terkenal dingin dan penuh ambisi, justru tertarik pada sikap "antagonis" Seo-Rin dan mengangkatnya sebagai selirnya—suatu kejadian yang tidak pernah ada dalam cerita yang ia tulis!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29: Peringatan Keras dari Sang Ratu
Di tengah-tengah persiapannya, Aluna tiba-tiba menerima kabar dari seorang pelayan bahwa Ratu ingin bertemu dengannya di ruang utama istana. Hati Aluna berdegup kencang. Sebagai seseorang yang di mata istana hanya seorang selir, dipanggil langsung oleh Ratu adalah suatu hal yang tidak biasa—dan pastinya memiliki tujuan tersirat.
Namun, Aluna berusaha menenangkan diri. Ini adalah kesempatan untuk mengamati lebih dalam, untuk menilai apakah benar Ratu akan menjadi sekutu atau justru ancaman baginya. Dengan penuh keberanian, Aluna melangkahkan kaki menuju ruang utama, berpikir dalam hatinya bahwa inilah saatnya untuk menunjukkan dirinya yang baru—sosok Seo-Rin yang lebih kuat dan cerdas, seperti yang diharapkan oleh Selir Jung.
Begitu ia tiba, Ratu telah duduk di kursinya dengan tatapan tajam. Ratu adalah sosok yang anggun dan kuat, dikenal tegas dalam mengambil keputusan, dan tidak segan menunjukkan ketidaksukaannya. Aluna menundukkan kepala dengan hormat, menunggu Ratu memulai pembicaraan.
Ratu menatapnya lama, seakan meneliti setiap inci dari dirinya, sebelum akhirnya berkata dengan nada rendah, “Seo-Rin, kau tahu mengapa aku memanggilmu ke sini?”
Aluna mengangkat wajahnya, menatap Ratu dengan tenang. "Mohon petunjuk dari Yang Mulia."
Ratu tersenyum tipis, namun tidak ada kehangatan dalam senyum itu. “Aku mendengar bahwa kau telah menjaga sikapmu dengan baik selama ini. Kau terlihat sopan dan penuh hormat kepada keluarga istana, bahkan saat kau tahu posisi Kang-Ji sebagai putri mahkota. Namun, jangan pernah lupa, bahwa kau hanyalah seorang selir. Kau tidak akan pernah menandingi Kang-Ji.”
Mendengar kata-kata itu, Aluna berusaha menahan perasaannya. Ia menundukkan kepala, menyembunyikan ekspresi wajahnya yang mungkin menunjukkan kekecewaan. “Hamba memahami, Yang Mulia. Hamba hanya ingin menjalankan peran hamba dengan sebaik mungkin dan mendukung Yang Mulia.”
Ratu menatapnya lama sebelum akhirnya berbicara lebih lembut. "Selama kau tahu tempatmu, aku tidak akan mengganggumu. Tapi ingat, aku tidak akan membiarkan siapa pun mengganggu kedudukan cucuku sebagai pewaris. Jangan pernah berpikir bahwa kehadiranmu bisa mengubah garis keturunan ini."
Aluna mengangguk dengan patuh, tapi di dalam hatinya, ia merasa semakin yakin dengan tekadnya untuk melindungi masa depan anak yang dikandungnya. Meskipun posisinya sulit dan ancaman terus mengintai, Aluna tidak akan mundur.
Setelah pertemuan itu berakhir, ia keluar dari ruang utama dengan hati yang bergejolak. Meski ucapan Ratu terasa tajam dan menekan, pertemuan itu justru mempertebal tekad Aluna. Bagaimanapun, ini bukan hanya tentang dirinya—tapi juga tentang melindungi anaknya dan mewujudkan masa depan yang lebih baik dari takdir yang pernah ia tulis.
Dalam perjalanan kembali ke paviliunnya, Aluna menatap istana yang megah dan angkuh di depannya. Kini, ia tahu bahwa perjuangan sesungguhnya baru saja dimulai.
*
Sesampainya di paviliun, Aluna mencoba menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam sambil memandang langit pagi yang mulai memancarkan warna biru keemasan. Namun ketenangan itu hanya bertahan sejenak. Ia menyadari bahwa istana ini adalah tempat di mana permainan kekuasaan tidak mengenal belas kasih, dan setiap orang memiliki agenda masing-masing, termasuk Ratu.
Aluna melangkah masuk ke paviliun, lalu memanggil salah satu pelayan kepercayaannya, Jin-Ah. Wanita itu sudah melayani Seo-Rin sejak pertama kali tiba di istana dan terbukti memiliki kesetiaan yang teguh. Jin-Ah mendekat dengan hormat, menyadari ada sesuatu yang serius yang ingin dibicarakan Aluna.
“Jin-Ah, ada yang perlu kau ketahui,” ujar Aluna dengan suara pelan namun tegas, memastikan bahwa hanya mereka berdua yang bisa mendengar percakapan ini. “Aku mungkin akan menghadapi banyak rintangan di istana ini, dan aku butuh orang-orang yang bisa kupercaya untuk selalu berada di sisiku.”
Jin-Ah menunduk, menyatakan kesetiaannya. "Hamba akan selalu ada untuk Anda, Nona. Hamba tahu betapa sulitnya posisi Anda di istana ini. Apa pun yang Anda butuhkan, hamba akan melaksanakannya.”
Aluna mengangguk dengan lega. Ia mulai menyadari bahwa selain strategi dan kecerdasan, ia juga perlu memiliki lingkaran kepercayaan yang kuat di sekitarnya. Dan Jin-Ah, meskipun hanya seorang pelayan, bisa menjadi telinga dan mata yang akan sangat berguna di istana ini.
“Kalau begitu, tolong perhatikan semua yang terjadi di istana. Khususnya hal-hal yang menyangkut Putri Mahkota dan Ratu. Aku harus mengetahui setiap gerakan mereka, setiap keputusan yang bisa mengancamku atau anakku,” ucap Aluna, tanpa melupakan sebutan formal untuk Seo-Rin.
Jin-Ah mengangguk cepat, tampak mengerti akan beban berat yang harus dipikul oleh majikannya. "Hamba akan melakukan yang terbaik. Hamba juga akan memperhatikan siapa saja yang tampak memiliki niat buruk terhadap Anda."
Aluna merasa sedikit lega mendengar tekad Jin-Ah. Dengan memiliki seseorang yang bisa ia percayai sepenuhnya, setidaknya beban di pundaknya terasa lebih ringan. Namun, ini hanyalah langkah kecil dalam perjuangan panjangnya.
*
Hari-hari berikutnya, Aluna menjalani rutinitasnya di paviliun, tetap menjaga sikap dan tidak memancing perhatian berlebih. Ia sering menghabiskan waktu di taman, menikmati ketenangan sambil berusaha menyusun strategi. Setiap kali ia menatap langit biru atau mendengar suara burung berkicau, ia berusaha menguatkan dirinya, mengingatkan bahwa ini semua bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk anaknya.
Suatu pagi, saat Aluna sedang duduk di taman paviliunnya, Jin-Ah datang dengan tergesa-gesa, wajahnya tampak cemas. “Nona, ada kabar penting yang harus Anda ketahui,” ucapnya dengan nada rendah tapi tegas.
Aluna langsung menegakkan tubuhnya, waspada. “Apa yang terjadi?”
“Putri Kang-Ji berencana mengadakan sebuah perjamuan khusus dalam waktu dekat, dan kabarnya ia mengundang beberapa menteri yang dekat dengan keluarganya. Mereka sedang mengatur sesuatu yang besar, tetapi belum jelas apa yang mereka rencanakan,” jawab Jin-Ah sambil menunduk, seperti takut ada yang mendengar.
Aluna menggenggam erat tangan di pangkuannya, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tiba-tiba berdegup kencang. “Terima kasih, Jin-Ah. Kau telah membantuku lebih dari yang kau tahu.”
Di balik ketenangan wajahnya, Aluna menyadari bahwa ini bisa menjadi tanda ancaman serius bagi dirinya. Kang-Ji mungkin tengah berusaha merancang langkah besar untuk menguatkan posisinya, atau bahkan, mencoba menjauhkan Seo-Rin dan anaknya dari perhatian istana.
Namun, ia tahu, ini bukan saatnya untuk gentar. Dengan tekad yang makin kuat, Aluna kembali berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan menghadapi apapun yang datang. Seperti air yang mampu menemukan jalan keluar, ia akan mencari cara untuk melindungi apa yang kini begitu berharga baginya.
Dalam hatinya, ia berbisik, "Aku tidak akan menyerah. Takdir mungkin sudah tertulis, tapi aku akan menulis ulang jalanku sendiri."
Keesokan harinya, kabar mengenai perjamuan putri mahkota Kang-Ji semakin tersebar di kalangan pelayan dan penghuni istana. Aluna tidak dapat menahan rasa cemas yang menggelayuti hatinya. Ada sesuatu yang sangat penting yang sedang dipersiapkan oleh Putri Mahkota, dan itu tentu berkaitan dengan posisi anak yang sedang dikandungnya. Ia bisa merasakannya, sebuah ancaman yang tak terlihat namun sangat nyata.
Hari itu, seperti biasa, Aluna menghabiskan waktu di taman paviliunnya. Namun, pikirannya jauh dari kedamaian yang ditawarkan oleh lingkungan sekitar. Rencana putri mahkota ini jelas bukan hal yang bisa dianggap enteng. Dengan mengundang menteri-menteri dekatnya, putri mahkota sedang merancang sesuatu yang besar, sebuah langkah politik yang bisa saja mengubah segala sesuatu di istana. Putri Mahkota yang telah lama dikenal dengan ambisinya tidak akan duduk diam jika ada seseorang yang bisa mengancam kedudukannya.
Jin-Ah mendekat dengan membawa secarik kertas yang tampaknya sangat penting. Ia menyodorkan kertas itu kepada Aluna, yang kemudian membacanya dengan seksama. Ternyata, undangan untuk perjamuan yang dikirimkan oleh putri mahkota tidak hanya menyertakan nama para menteri, tetapi juga sejumlah keluarga besar bangsawan yang selama ini dikenal mendukung putri mahkota. Tentu saja, mereka adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan dan pengaruh di istana—para individu yang akan sangat menentukan dalam permainan kekuasaan yang sedang berlangsung.
Bersambung >>>