Perempuan di Balik Topeng
menceritakan kisah Amara, seorang gadis desa sederhana yang jatuh cinta pada Radit, seorang pria kaya raya yang sudah memiliki dua istri. Radit, yang dikenal dengan sifatnya yang tegas dan dominan, terpesona oleh kecantikan dan kelembutan Amara. Namun, hubungan mereka menghadapi banyak rintangan, terutama dari Dewi dan Yuni, istri-istri Radit yang merasa terancam.
Dewi dan Yuni berusaha menghalangi hubungan Radit dan Amara dengan berbagai cara. Mereka mengancam Amara, menyebarkan fitnah, dan bahkan mencoba untuk memisahkan mereka dengan berbagai cara licik. Amara, yang polos dan lugu, tidak menyadari kelicikan Dewi dan Yuni, tetapi Radit, meskipun jatuh cinta pada Amara, terjebak dalam situasi sulit.ujian
Radit harus memilih antara kekayaan dan kekuasaannya, atau menuruti hatinya yang telah jatuh cinta pada Amara. Kisah ini menjelajahi tema cinta, kekuasaan,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Idayati Taba atahiu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28
Hujan deras mengguyur kota, membasahi kaca jendela kamar Mas Radit. Di dalam, Mas Radit duduk di tepi ranjang, tubuhnya lemas. Telepon genggamnya bergetar, menampilkan nama Amara di layar. Mas Radit menghela napas panjang, ragu untuk mengangkatnya. Sudah berminggu-minggu mereka tak berkomunikasi, sejak Dewi, istrinya, memergoki Mas Radit dan Amara di sebuah hotel.
"Halo," sahut Mas Radit, suaranya terdengar parau.
"Mas Radit, aku... aku hamil," ucap Amara, suaranya bergetar.
Mas Radit terdiam. Ia tak menyangka Amara akan menghubunginya lagi, apalagi dengan kabar seperti itu. "Hamil? Anak siapa?" tanyanya, suaranya dingin.
"Anak Mas Radit, anak kita," jawab Amara, suaranya semakin bergetar.
Mas Radit mengerutkan kening. "Kamu yakin? Kau tahu, aku tidak pernah menyentuhmu lagi setelah kejadian di hotel itu."
"Aku tahu, Mas Radit. Tapi aku yakin, anak ini anak Mas Radit. Aku... aku sudah memeriksakannya," jawab Amara, suaranya terdengar terisak.
Mas Radit terdiam, pikirannya berputar-putar. Amara adalah istri ketiganya, yang diusir dari rumah karena dituduh berselingkuh. Ia masih mencintai Dewi, istrinya, meskipun kini hubungan mereka renggang. Namun, ia juga tak bisa begitu saja mengingkari Amara dan bayinya.
"Aku... aku perlu waktu untuk berpikir," kata Mas Radit, lalu menutup telepon.
Dewi, yang selama ini berada di balik pintu, mendengarkan percakapan mereka dengan saksama. Wajahnya memerah menahan amarah. "Kok bisa bisanya si Amara itu hamil?" gumamnya, tangannya mengepal erat. "Baiklah, aku akan menyuruhnya untuk menggugurkan kandungannya," lanjutnya, matanya berkilat tajam.
Mas Radit masih terduduk di tepi ranjang, pikirannya kacau. Ia teringat janjinya pada Dewi, bahwa ia akan selalu setia padanya. Namun, kini ia dihadapkan pada kenyataan yang sulit. Apakah ia harus bertanggung jawab atas anak Amara? Atau ia harus tetap setia pada Dewi, meskipun itu berarti kehilangan Amara dan bayinya?
Mas Radit menghela napas panjang, kepalanya terasa berat. Ia tahu, keputusan yang ia ambil akan berdampak besar pada hidupnya, dan kehidupan orang-orang yang ia cintai.
******
Hujan di luar masih deras. Mas Radit masih terduduk di ranjang, pikirannya dipenuhi bayang-bayang Amara dan janjinya pada Dewi. Di dapur, Dewi tampak tenang menyiapkan sarapan bersama para pembantu. Namun, di balik senyum ramahnya, sebuah rencana licik tengah terpatri di hatinya. "Aku akan bertemu dengan Amara, dan aku akan menyuruhnya untuk menggugurkan anaknya," gumamnya dalam hati, matanya berkilat tajam.
Setelah sarapan, Dewi memanggil Yuni ke teras belakang. Angin sepoi-sepoi membawa aroma basah tanah yang baru diguyur hujan. Dewi menatap Yuni dengan tatapan serius.
"Yuni," katanya, memulai pembicaraan. "Amara... dia hamil. Hamil anak Mas Radit."
Yuni terkejut, namun ia berusaha menyembunyikannya. Ia dan Dewi memang selalu dekat, sering berbagi rahasia dan keluh kesah.
"Bagaimana kalau kita menyuruhnya untuk menggugurkan kandungannya?" usul Dewi, suaranya pelan tapi tegas. "Kalau sampai anak itu besar nanti, kita tidak dapat apa-apa. Apalagi kita belum punya anak. Pastilah anak Amara yang akan mewarisi semua harta Mas Radit!"
Yuni terdiam sejenak, menimbang-nimbang usulan Dewi. Ia memang merasa iri pada Amara, istri ketiga Mas Radit yang sempat disingkirkan. Keinginan untuk mendapatkan bagian harta Mas Radit lebih kuat daripada rasa ragu dan sedikit rasa bersalah yang muncul di hatinya.
Akhirnya, Yuni menganggukkan kepalanya. "Setuju," katanya, suaranya sedikit bergetar.
Kedua wanita itu berbisik-bisik merencanakan langkah selanjutnya, bayangan harta kekayaan Mas Radit menjadi pendorong utama rencana jahat mereka. Hujan di luar seolah menjadi saksi bisu rencana licik yang akan mereka jalankan. Suasana tenang di pagi hari itu menyimpan kegelapan rencana yang akan segera mereka laksanakan.
*****
Dewi menggeram kesal. Ia meraih ponselnya dan menghubungi Amara. Nada sambung berdering beberapa kali, lalu masuk ke voicemail. "Sial," umpatnya, melempar ponselnya ke sofa. "Bagaimana caranya aku bisa bertemu dengan Amara? Aku pun tidak tahu di mana keberadaan Amara sekarang."
Pikiran Dewi berputar-putar. Ia mengingat Amara pernah menyebutkan alamatnya di dalam profil WhatsApp. Dengan cepat, ia membuka aplikasi Google Maps dan memasukkan alamat tersebut. Harapan muncul di hatinya, mungkin ia bisa menemukan Amara di sana.
Namun, setelah tiba di alamat yang dimaksud, Dewi mendapati sebuah rumah yang tampak kosong. Kecewa, ia kembali ke mobilnya dan mencoba menghubungi Amara melalui WhatsApp. Pesan demi pesan ia kirim, berisi rayuan dan ancaman halus, namun Amara sama sekali tak membalasnya. Kecemasan mulai menggerogoti Dewi. Rencananya untuk bertemu Amara dan membujuknya menggugurkan kandungannya tampaknya akan jauh lebih sulit dari yang ia bayangkan. Ia menggigit bibirnya, frustasi. Harta Mas Radit yang ia idamkan tampak semakin jauh.
******
Hujan mengguyur kota tanpa henti, seperti air mata yang tak kunjung kering di wajah Amara. Ia duduk di tepi jendela kamar kosnya yang sederhana, memandang butiran air yang menari-nari di kaca. Bayangan Mas Radit dan janin dalam kandungannya bergantian muncul dalam pikirannya.
"Bagaimana bisa aku hamil, Amara?" gumamnya lirih, suaranya bergetar. "Anak ini akan lahir tanpa seorang ayah yang diakui. Aku harus bagaimana?"
Amara mengusap air matanya, berusaha menguatkan diri. Ia tahu, ia harus kuat untuk bayinya. Namun, bayangan masa depan yang suram terus menghantuinya.
Keesokan harinya, Amara memasuki kantor Pak Mulyono dengan wajah pucat. Ia berusaha bersikap profesional, namun pikirannya melayang jauh.
"Amara, kau baik-baik saja?" tanya Pak Mulyono, memperhatikan raut wajah Amara yang tampak lesu.
"Ya, Pak. Hanya sedikit lelah," jawab Amara, berusaha tersenyum.
Pak Mulyono mengerutkan kening. Ia tahu Amara sedang menyembunyikan sesuatu, namun ia tak ingin memaksa. Ia hanya bisa memberikan perhatian dan dukungan.
"Kau terlihat lelah, Amara. Mungkin kau butuh istirahat?" saran Pak Mulyono.
"Terima kasih, Pak. Saya akan baik-baik saja," jawab Amara, berusaha meyakinkan Pak Mulyono.
Sepanjang hari, Amara kesulitan berkonsentrasi. Pikirannya terus tertuju pada bayinya yang belum lahir dan masa depan yang tak menentu.
"Aku harus bagaimana, Amara?" gumamnya dalam hati. "Aku tak bisa terus menyembunyikan ini. Tapi, bagaimana jika Mas Radit menolak mengakui anak ini? Bagaimana jika aku kehilangan pekerjaan ini?"
Amara merasa terjebak dalam dilema yang tak berujung. Ia ingin bercerita kepada Pak Mulyono, namun rasa takut dan malu menghalanginya. Ia takut kehilangan pekerjaan yang sudah susah payah ia dapatkan.
"Aku harus kuat, Amara," gumamnya, menguatkan diri. "Demi anakku, aku harus kuat."
Amara menghela napas, berusaha menenangkan diri. Ia tahu, ia harus menghadapi kenyataan ini dengan kepala tegak. Ia harus mencari jalan keluar, untuk dirinya dan bayinya yang belum lahir.
*****
Amara sedang asyik membereskan administrasi di meja kerjanya. Sore telah menjelang, namun ia masih tampak sibuk. Tiba-tiba, Mas Rizki, anak bosnya, datang menghampirinya.
"Kamu belum pulang, Amara? Ini kan sudah sore," kata Mas Rizki, raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran.
"Tidak, Mas. Saya masih membereskan administrasi," jawab Amara, berusaha tersenyum.
"Tapi kamu kelihatan lelah," kata Mas Rizki, memperhatikan Amara yang tampak pucat.
"Tidak apa-apa, Mas," jawab Amara, berusaha menyembunyikan kekhawatirannya.
"Oke, baik. Aku juga akan menunggu kamu pulang sebentar. Kalau kamu pulang, aku akan mengantar kamu ya," kata Mas Rizki, menunjukkan perhatiannya.
Amara mengangguk, merasa terharu dengan perhatian Mas Rizki. Ia memang merasa lelah, namun ia tak ingin membebani Mas Rizki dengan masalah pribadinya.
Setelah Amara membereskan semua pekerjaannya, tiba-tiba teleponnya berdering. Ia melihat nama ibunya tertera di layar.
"Halo, Ma?" sahut Amara.
"Amara, ayahmu kumat lagi. Kami sudah berada di rumah sakit," kata Ibu Amara, suaranya terdengar panik.
"Oke, baik, Ma. Aku akan pergi ke rumah sakit," jawab Amara, suaranya bergetar.
"Kenapa, Amara?" tanya Mas Rizki, yang mendengar percakapan Amara.
"Ayahku sakit, sekarang dia ada di rumah sakit. Aku harus ke sana," jawab Amara, matanya berkaca-kaca.
"Baik, aku akan mengantarmu ke sana," kata Mas Rizki, dengan sigap.
"Tidak usah, Mas Rizki. Biar saya naik ojek saja," jawab Amara, menolak tawaran Mas Rizki.
"Tidak, aku akan mengantar kamu," kata Mas Rizki, tegas.
Mas Rizki pun mengantar Amara ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan, Amara terdiam, pikirannya dipenuhi kekhawatiran tentang ayahnya. Mas Rizki sesekali melirik Amara, mencoba memahami apa yang sedang dirasakannya. Ia tahu Amara sedang menghadapi masa-masa sulit, namun ia tak berani bertanya lebih jauh. Ia hanya bisa memberikan dukungan dan perhatian.