Akhir diskusi di majelis ta'lim yang dipimpin oleh Guru Besar Gus Mukhlas ternyata awal dari perjalanan cinta Asrul di negeri akhirat.
Siti Adawiyah adalah jodoh yang telah ditakdirkan bersama Asrul. Namun dalam diri Siti Adawiyah terdapat unsur aura Iblis yang menyebabkan dirinya harus dibunuh.
Berhasilkah Asrul menghapus unsur aura Iblis dari diri Siti Adawiyah? Apakah cinta mereka akan berakhir bahagia? Ikuti cerita ini setiap bab dan senantiasa berinteraksi untuk mendapatkan pengalaman membaca yang menyenangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hendro Palembang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tujuan Asrul Menahan Siti Adawiyah
Ketika Jena sedang berbicara dengan Siti Adawiyah, Surti mendekati Maelin.
"Selamat datang tabib Maelin. Perkenalkan saya Surti ajudan Panglima Jenderal Asrul."
"Salam hormat kepada Jenderal Surti. Tolong lindungi Siti Adawiyah selama dia di negeri akhirat." Maelin memberi hormat kepada Surti.
"Anakku, ayah telah berjuang mati-matian mendidik kamu hingga kamu menjadi wanita yang sempurna. Tapi setelah engkau dewasa, engkau malah meninggalkan ayah demi Panglima Jenderal Asrul yang baru engkau kenal. Engkau beralasan ingin merawat Panglima Jenderal Asrul? Beliau adalah pria yang kuat! Dua puluh tahun beliau sendirian tanpa penolong, bisa dihadapinya dengan selamat. Panglima Jenderal Asrul itu orangnya membosankan, engkau pasti akan bosan jika tinggal disini."
Surti mendengar Jena mengumpat Asrul, dia segera mendekati Jena.
"Salam hormat Tabib Jena."
Surti memberi hormat kepada Jena. Namun Jena bukannya menanggapi, malah tertegun melihat penampilan Surti.
"Satrio! Bukankah engkau adalah Satrio ajudan Panglima Jenderal Asrul?... Hahahaha..
Pantas saja belakangan ini negeri akhirat sedikit mengalami kemerosotan. Hahahaha.."
"Guru.. Jaga sikap guru.."
Maelin merasa tidak nyaman melihat sikap Jena, karena dilihatnya Surti merasa direndahkan.
"Sudahlah.. Aku mau pulang. Ayo Maelin." Jena mengajak Maelin pulang ke lembah taman seribu bunga.
Beberapa saat setelah Jena dan Maelin meninggalkan kediaman Panglima Jenderal Asrul, datanglah Jenderal Ali bersama kedua bawahannya untuk mengunjungi Asrul.
"Salam hormat Surti.. Kedatangan kami kemari untuk bertemu dengan Panglima Jenderal Asrul. Sekalian saya bawakan empat orang pelayan untuk membantu kalian merapikan ruangan di kediaman Panglima."
"Silahkan Jenderal.. Nona, siapa namamu?" Surti mempersilahkan dan menerima keempat pelayan itu dari Jenderal Ali.
"Saya Bianca, Jenderal." Pelayan itu menjawab.
Setibanya Jenderal Ali beserta kedua bawahannya di ruang pribadi Asrul, Jenderal Ali memberi hormat sedangkan kedua bawahannya langsung bersujud dan tidak bangun dari sujudnya.
"Selamat datang Panglima.. Terimalah sembah sujud kami."
"Bangunlah.. Apakah aku harus membantu kalian untuk bangun?" Asrul merasa tidak nyaman dengan penghormatan yang berlebihan ini.
"Jenderal Ali.. Bagaimana kabar guru kita?" Asrul bertanya situasi semua orang selama ditinggalkannya.
"Sejak guru Gus Mukhlas mendengar kabar kematianmu, guru menyendiri didalam goa. Pedang Penguasa Malam kesayanganmu telah disimpan guru didalam goa tersebut. Saya rasa guru telah mengetahui kebangkitan dirimu, karena saya melihat sendiri bahwa pedang Penguasa Malam telah menyerang siluman burung."
"Baiklah, aku mengerti. Oh iya. Bagaimana kabar keluarga Jahal? Sepeninggalnya Jenderal Abu Jahal tentu keluarganya menjadi terpuruk. Bagaimana keadaan ibu dan adik Abu Jahal?"
Abu Jahal adalah salah satu Jenderal yang menjadi korban pembunuhan yang telah dilakukan oleh Asrul, karena Abu Jahal juga dirasuki oleh pengaruh Iblis.
"Adiknya Abu Jahal sekarang memimpin pasukannya di perbatasan Utara." Jenderal Ali menjawab dengan singkat.
"Adiknya yang kecil itu? Yang selalu minta digendong setiap Abu Jahal kembali dari peperangan?" Asrul merasa tidak percaya.
"Iya, Panglima.. Sekarang Jenderal Kan'an sedang memimpin pasukannya menghadapi suku Iblis. Beliau sungguh ngefans terhadap Panglima walaupun kakaknya terbunuh di tangan Panglima. Beliau tidak menaruh dendam sedikitpun terhadap Panglima. Terlebih lagi beliau telah mengetahui bahwa yang dilakukan oleh Panglima adalah suatu hal yang sangat terpaksa, karena kakaknya menjadi korban terkena pengaruh sihir Iblis. Makanya beliau sangat membenci suku Iblis, dan tidak mentolerir pergerakan pengikut Iblis dimanapun."
"Jenderal Ali, inilah yang aku khawatirkan. Jika seseorang telah ambisius, maka besar kemungkinannya akan menghancurkan diri sendiri. Aku berpesan kepadamu untuk mengawasi segala pergerakan jenderal Kan'an. Lindungi dia agar keluarganya tetap bertahan di negeri akhirat."
Asrul menangkap sebuah firasat yang tidak menyenangkan yang akan dialami keluarga Jahal.
"Ada satu lagi yang mengganjal fikiran saya. Sebelumnya saya minta maaf seandainya perkataan saya kurang pantas. Saya ingin mengetahui mengapa Panglima menerima Siti Adawiyah menjadi pelayan Panglima. Sepengetahuan saya, hanya raja Iblis yang mampu membuka segel kehidupan Panglima. Saya curiga kalau Siti Adawiyah ada hubungannya dengan suku Iblis."
Asrul terdiam sejenak, lalu mencoba menjelaskan kepada Jenderal Ali. "Saya juga merasakan keganjalan atas sosok Siti Adawiyah ini. Namun saya tidak bisa sekonyong-konyong menyatakan bahwa Siti Adawiyah demikian tanpa adanya bukti yang jelas. Makanya saya akan menyelidikinya terlebih dahulu. Jika tidak ada lagi sesuatu yang perlu kita bahas, saya rasa cukup sampai disini dulu ya"
"Baiklah Panglima, aku akan mengingat pesan dari Panglima. Kelihatannya Panglima butuh istirahat untuk memulihkan kembali stamina Panglima. Kalau demikian aku pamit undur diri."
Jenderal Ali beserta kedua bawahannya pamit undur diri.
Sementara itu di kediaman Jenderal Umar, kedua bawahannya sedang membahas mengenai peristiwa yang beruntun belakangan ini.
"Jenderal Umar, tidak mungkin kebetulan yang terjadi secara beruntun. Pertama, kedatangan siluman burung di istana negeri akhirat. Sangat beruntung Jenderal Umar telah mengalahkan siluman burung tunggangan raja Iblis tersebut.
Kedua, bangkitnya Panglima Jenderal Asrul dari kematian. Hal ini sangat mencurigakan. Jangan-jangan wanita itu telah memasuki kawasan terlarang, dan membuka formasi segel di Jurang Neraka."
"Maksudmu putri tabib Jena itu?" Jenderal Umar tersadar dari lamunannya.
"Ya, Jenderal! Saya yakin bahwa semua ini adalah perbuatan suku Iblis. Kita harus menginterogasi wanita itu, buat dia mengakui keterlibatan dirinya dengan langkah strategi suku Iblis."
"Bagaimana caranya? Sejak Panglima Jenderal Asrul meminta wanita itu untuk menjadi pelayan pribadinya, Khalifah Taimiyah sudah tidak mencurigai wanita itu lagi. Jika kita bertindak, tentu Panglima Jenderal Asrul tidak akan berdiam diri."
Jenderal Umar merasa dihadapi permasalahan yang membuatnya dilema.
"Ini keadaan darurat, Jenderal! Jangan sampai siasat suku Iblis terlanjur memporak-porandakan istana negeri akhirat." Bawahan Jenderal Umar meyakinkan Jenderal Umar.
"Baiklah, perintahkan beberapa prajurit untuk menangkap wanita itu dan bawa dia ke aula interogasi!" Jenderal Umar telah memutuskan untuk menginterogasi Siti Adawiyah secepatnya.
Di aula interogasi, Siti Adawiyah dipaksa untuk mengakui keterlibatannya dengan suku Iblis. Sudah sepuluh kali cambukan diberikan, namun Siti Adawiyah tetap tidak mengakuinya.
"Apa yang harus aku akui? Aku tidak tahu apa-apa soal suku Iblis. Apakah aku harus mengakui apa yang tidak aku ketahui? Kalian benar-benar tidak punya akal! Tidak mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah! Wajar saja negeri akhirat ini kemakmurannya semakin merosot, ini dikarenakan ketidakbecusan para penegak hukum."
"Engkau telah menghina kedaulatan negeri akhirat! Tindakanmu ini hukumannya sangat berat, lebih berat dari pengkhianat! Algojo, tambah sepuluh kali lagi mencambuknya!"
Ketika algojo mulai melanjutkan tugasnya, tiba-tiba Asrul datang menangkap cambuk itu.
"Hentikan! Saya yang bertanggungjawab atas Siti Adawiyah. Khalifah Taimiyah telah memberikan kuasa kepadaku untuk mengurusnya."
Setelah menyelamatkan Siti Adawiyah, Siti Adawiyah dibawa oleh Asrul ke kediamannya.