"Sekarang tugasku sudah selesai sebagai istri tumbalmu, maka talaklah diriku, bebaskanlah saya. Dan semoga Om Edward bahagia selalu dengan mbak Kiren," begitu tenang Ghina berucap.
"Sampai kapan pun, saya tidak akan menceraikan kamu. Ghina Farahditya tetap istri saya sampai kapanpun!" teriak Edward, tubuh pria itu sudah di tahan oleh ajudan papanya, agar tidak mendekati Ghina.
Kepergian Ghina, ternyata membawa kehancuran buat Edward. Begitu terpukul dan menyesal telah menyakiti gadis yang selama ini telah di cintainya, namun tak pernah di sadari oleh hatinya sendiri.
Apa yang akan dilakukan Edward untuk mengambil hati istrinya kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ghina Shock
Selesai bermake up dan hairdo, para karyawan butik segera membantu Ghina memakai kebaya.
Kebaya putih yang terlihat pas di tubuhnya, ditambah memakai kain jawa. Dia melihat dirinya di pantulan cermin, seperti seorang pengantin yang siap akan dinikahkan. Kali ini sanggulnya terdapat ronceng melati hidup, hingga mengeluarkan aroma wanginya.
“Kak Dela, Ghina berasa jadi pengantin ... hi ... hi ... hi,” ujarnya terkekeh.
“Memang temanya pernikahan Cin, jadi yaaa kayak pengantin,” jawab Dela, dengan mendelik kan kedua netranya.
“Yuuuk udah siap ya, sudah di tunggu di ballroom,” pinta Lusi.
“OKE ...!" jawab serempak mereka yang ada di kamar.
Dela mulai membantu mengangkat buntut kebaya yang di pakai Ghina, sedangkan kain tudungnya di bawakan oleh Lusi.
Dengan anggunnya gadis itu menuju ke ballroom, dan kembali lagi semua mata yang bertemunya, pasti terkagum-kagum melihat Ghina sang pengantin yang cantik.
Sedangkan di ballroom tampak kru menyiapkan alat-alat penunjang untuk pemotretan dan pengambilan video.
“Hati-hati jalannya Ghina, gak usah terburu buru,” tegur Dela, yang melihat Ghina jalannya terburu-buru.
“Iya Kak.”
Sejenak Ghina terpana melihat dalam ballroom yang sudah di dekor, bunga di mana-mana.
“Cantik banget ...!” decak kagumnya.
“Ghina duduk di sini dulu,” pinta Dela menunjukkan kursi untuk model. Dela mulai mengecek make up Ghina, lalu memasang tudung pengantin/veil di area sanggul Ghina. Dan veil tersebut menutup wajah Ghina.
“Model sudah siap?” tanya sang fotografer.
“Siap!” jawab Lusi dan Dela berbarengan.
Dela mulai menuntun Ghina ke tempat yang di tunjuk fotografer. Kali ini gadis itu di foto sendiri dulu, sedangkan model prianya masih menunggu.
Terlihat Ghina begitu paham dengan arahan sang fotografer, di tambah dia menikmati suasananya seakan-akan dia sendiri pengantinnya. Tidak perlu tersenyum dia sudah cantik, kalau disuruh tersenyum, makin bertambah cantiknya.
Edward di dampingi Ferdi, Hendri dan beberapa staf hotelnya berkeliling mengecek kesiapan kamar untuk menjamu tamu keluarganya dari daerah. Setelah terlihat siap dan oke. Mereka menuju ruang Ballroom.
Kini Ghina sudah mulai pengambilan sesi foto dengan foto model pria, dengan settingan pelaminan.
Edward sudah masuk ke ruang ballroom, dan langsung mengecek pekerja yang masih mendekor beberapa sisi yang kurang. Sepintas dia melihat ada pemotretan, tapi kembali dia fokus mengecek kesiapan ballroom.
Beberapa staf mencatat segala permintaan Andre serta kekurangan yang harus segera di penuhi.
Sambil berkeliling ballroom yang lumayan luas, Edward sudah mendekati lokasi pemotretan, tapi dia masih mengabaikannya. Sesekali dia berdiskusi dengan Hendri masalah dekor yang menurutnya ada yang kurang.
Dela mulai membuka veil yang di pakai Ghina, karena sesi selanjutnya wajah sang pengantin terlihat.
Ghina sama sekali tidak menyadari keberadaan Edward, begitu pula dengan Edward. Mereka sama-sama fokus dengan pekerjaannya.
“Ghina, wajahnya agak dekat dengan Rian ya, kayak seperti mau ciuman.” Aba-aba sang fotografer yang suaranya bisa didengar semua orang karena sedikit berteriak.
“Ghina!” gumam Edward sendiri, merasa ada nama Ghina disebut.
Langkah kaki Edward semakin mendekati ke dua model yang sedang berpose.
Tatapan tajam Edward memandang gadis itu, sedangkan yang di tatap tidak tahu.
“Hendri, siapkan kamar suite president sekarang juga!” titah Edward.
Ghina dan Rian masih menjalankan sesi pemotretan yang terlihat mesra. Edward mengeraskan rahangnya, sedangkan kedua tangannya tampak terkepal kuat.
Entah mengapa tiba-tiba Edward seperti itu, padahal dia selalu bilang tidak tertarik dengan bocah kecil.
Apalagi saat sesi foto Ghina dan Rian, seperti ingin ciuman. Tatapan Edward semakin menajam seperti ada kobaran api di kedua matanya.
“OKE ... kita break 10 menit ya!” ucap fotografer.
Dela langsung menghampiri Ghina, dan melap wajahnya yang sudah mulai keringatan. Sedangkan Lusi membawakan botol minum untuk Ghina.
“Ghina,” sapa Hendri.
“Ya Pak Hendri,” balas Ghina masih tidak sadar ada Edward di samping Hendri.
“Perkenalkan Presdir Hotel ini, Pak Edward,” ujar Hendri.
Wajah Ghina seketika ke arah yang ditunjuk Hendri.
Hah ... ha ... ha dunia ini begitu kecil, kemana gue berada nyatanya ketemu dengan pria ini lagi.
Edward terlihat tersenyum smirk, melihat wajah gadis itu yang terkejut dengan kehadirannya.
“Bisa kalian tinggalkan kami berdua!” titah Edward kepada Hendri, Dela dan Lusi.
“Baik, Pak Presdir." Mereka bertiga lantas meninggalkan Ghina dan Edward.
Edward mendekati dirinya ke tubuh Ghina, tidak ada jarak. Melihat Ghina berjalan mundur, ditariknya pinggang Ghina, hingga posisi mereka seperti berpelukan.
“Kamu sepertinya senang sekali kabur dari saya!” tegur Edward dengan tampak garangnya.
Ghina mendongakkan wajahnya menatap Edward “Ya, memangnya kenapa?” Gadis itu tampak tidak ada rasa takut dengan tatapan tajam Edward.
Jari Edward mulai mengelus wajah Ghina “Kayaknya kamu suka dipeluk, dielus, dan dicium oleh para pria ... huh!” ucap Edward geram.
“Kalau suka kenapa! lagi pula ini sedang bekerja. Bukan sedang bermain-main!”
Edward semakin mengeratkan pelukannya “Om, lepasin ... semua orang melihat kita!” Ghina mencoba mengurai pelukan Edward.
Tak lama kemudian ...
“Edward ... Ghina,” sapa Oma Ratna tiba-tiba.
“Mama!” Edward melepaskan Ghina dalam pelukannya, kaget dengan kehadiran mama dan papa nya.
“Ghina, kamu cantik sekali, kalian berdua sudah janjian ya. Mau kasih kejutan buat Oma dan Opa.” Oma Ratna melirik Ghina dan Edward secara bergantian.
“Bu-bukan Oma, Ghina ada pekerjaan di sini. Dan Ghina juga gak tahu kalau ini hotel milik keluarga Opa Thalib,” jelas Ghina.
“Pah, Mah ... besok sore Edward akan menikahi Ghina," pinta Edward sambil menggenggam tangan Ghina.
“AAHHH......APA!” Ghina terkejut. Seketika pandangannya menghitam. Edward langsung memeluk Ghina saat tubuhnya mulai roboh.
“Ghina!” pekik Dela, Lusi dan Oma melihat Ghina sudah pingsan di pelukan Edward.
Pria gagah tersebut, mengendong Ghina ala bridal style, sedangkan Dela tampak sibuk membantu mengangkat buntut kebayanya.
Para staf hotel, memberikan jalan Tuannya menuju kamar suite president. Sedangkan Oma dan Opa mengikuti mereka dari belakang.
Saat Edward mengendong Ghina, semua mata menuju ke arah mereka. Sedangkan para karyawan berbisik-bisik, kenapa Presdir mereka mengendong seorang model!
Sesampainya di kamar, Oma dan Opa menunggu di ruang tamu. Sedangkan Edward membaringkan Ghina di atas ranjang.
Edward langsung membuka sepatu high heels yang di pakai Ghina. Sedangkan Lusi mulai membuka kebaya yang dipakai Ghina agar bisa bernapas lega, menyisakan kemben dalaman kebaya.
“Tolong kalian keluar dulu, siapkan saja minuman hangat dan makanan,” titah Edward pada Lusi dan Dela yang ikut masuk ke dalam kamar.
“Baik Pak,” jawab Lusi. Lusi dan Dela saling tatap-tatapan.
Edward ikut keluar dari kamar menuju ruang tamu “Pah, siapkan pernikahan Edward buat besok sore.”
“Ya Papa akan urus.”
“Perlu panggil dokter gak buat Ghina?” tanya Oma Ratna.
“Tidak perlu, biar Edward yang mengurus Ghina.”
“Kalau begitu Papa sama Mama tinggal dulu, biar bisa koordinasi dengan staf buat acara besok."
“Baik Pah.”
Opa Thalib dan Oma Ratna meninggalkan mereka berdua. Edward bergegas masuk ke kamar, gadis itu masih belum sadar dari pingsannya. Terlihat tubuh Ghina hanya menggunakan kemben dalaman kebaya beserta kain yang masih menempel di bagian pinggang bawahnya.
Bahu putih Ghina terlihat jelas, putih mulus. Sedangkan kembennya terlihat menantang karena membuat kedua buah dadanya terangkat dan membusung, seperti ingin keluar dari sangkarnya.
“Ghina ...,” bisik Edward.
.
.
bersambung