Menolak dijodohkan, kata yang tepat untuk Azalea dan Jagat. Membuat keduanya memilih mengabdikan diri untuk profesi masing-masing. Tapi siapa sangka keduanya justru dipertemukan dan jatuh cinta satu sama lain di tempat mereka mengabdi.
"Tuhan sudah menakdirkan kisah keduanya bahkan jauh sebelum keduanya membingkai cerita manis di Kongo..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Sedang tidak baik-baik saja
"Makasih om!" angguk dokter Dimas disetujui Aza dan Nisa.
"Sama-sama dok!"
Dimas mengangkat kedua tangannya ke atas dan menggeliat mengantuk, "ahh...hoahhh...capeknya...mari kita bersih-bersih, makan terus rebahan!" ocehnya justru usil dengan menurunkan tangannya yang langsung merangkul Aza di sampingnya yang langsung ditepis Aza.
"Hahaha modus si dokter!" ucap Nisa.
"Eh, yang lain udah pada balik..." tunjuk Aza ke arah mobil lainnya yang sudah terparkir duluan.
"Iya kayanya. Yang lain pasiennya ngga banyak mungkin..." Nisa mengamini.
"Ahhhh, capek lah! Pengen mandi!" lalu serunya lagi.
"Yang tadi udah fix kolera sama campak Za, kalo yang separah itu sebenernya ngga perlu cek lab juga udah ketauan." ujar dokter Dimas pada Aza, "tetep aja kan dok, mesti ada cek lab untuk memastikan. Ada penyakit lainnya lagi atau engga..."
Dokter Dimas mengangguk, "yap. Saya juga harus tau jumlah hemoglobin, dan yang lain-lainnya, belum lagi kita harus tau kondisi janinnya...sama sekalian, saya mau bawa sample air disana..." kembali katanya.
"Okelah. Untuk pemeriksaan lebih lanjut nanti saya yang langsung dampingi ke faskes besok...disini sepertinya alat kesehatannya kurang memadai, tidak ada lab juga."
"Saya perlu ikut, dok?" tanya Aza ikut menghentikan langkahnya di ambang pintu ketika Dimas berhenti.
"Kalo tujuannya untuk mendampingi pasien sepertinya saya saja sudah cukup. Tapi kalo mau mendampingi saya, boleh kamu ikut."
Wajah Aza mendadak merengut malas, "kalo gitu saya mendingan tidur seharian. Permisi..." ia langsung melengos bersama tawa dokter Dimas yang meledak.
Selama 2 hari ini baik Aza maupun Jagat sibuk dengan urusannya masing-masing, sampai Aza lupa jika ia dan Jagat masih memiliki urusan yang belum selesai.
Aza masih sibuk dengan laptopnya di kamar. Beberapa laporan dan riset sudah mulai terkumpul satu persatu sebagai bahan untuk tugas akhirnya.
Berulang kali Aza mele nguh menepuk-nepuk perutnya, ia langsung beranjak bergegas menuju kamar mandi. Bukan cuma sekali ia begitu, namun sudah ketiga kalinya dalam 5 menit ia begitu. Merasa perutnya melilit mules dan berbunyi kruwekk sejak tadi sore...yang akhirnya membuat Hera, Nisa, Laras sadar dan tak bisa untuk tak memperhatikan Aza.
"Kenapa sih, Za? Bolak balik terus...heboh deh." Laras mendongak sebentar dari ponselnya. Hera pun begitu.
"Sakit perut gue..." keluh Aza.
"Masuk angin, Za?" tanya Hera.
Aza menggeleng sembari terburu-buru karena rasa mules itu selalu tak tertahan.
Hera dan Nisa saling melirik namun sejurus kemudian mereka menggidik, ada rasa khawatir namun Hera memilih Aza kembali.
Aza sudah mengeluh lemas, "capek banget gue bolak-balik terus kamar mandi. Makan apa ya kemaren, tadi pagi?" Aza bertanya-tanya saat sudah selesai dengan urusan perutnya.
"Masuk angin kali, Za. Dari kemaren kan kamu minumin terus jus, dingin pula...atau salah makan, pedes mungkin?" Hera terulur memberikan minyak gosoknya namun Aza menggeleng, "ngga suka baunya. Punya yang aromatherapy engga? aku ngga suka baunya, kaya nenek-nenek..." Aza menutup laptopnya, terpaksa menunda kembali pekerjaannya dan memilih rebahan saja mengingat waktu pun sudah semakin larut.
Nisa tertawa, "nih, punya gue aja..." ia menyodorkan minyak aromatherapynya yang cukup ampuh untuk membuat tubuh hangat meski tanpa pelukan mantan.
"Makasih." ia mulai menggosokan rollnya ke area perut.
"Mau aku bikinin teh manis anget ngga? Sekalian aku mau bikin kopi, masih ada tugas di ruang obat yang ketinggalan.
"Boleh deh kalo ngga ngerepotin." Aza mengangguk dan berbaring setengah bersandar, menahan perutnya yang mulai dilanda kram otot. Ini gue kenapa ya....ia menggeleng mengenyahkan pikiran buruk yang menerka-nerka tak jelas.
"Gue juga mau Ra!"
"Aku juga to, kamu nawarin cuma saja Aza doang, Ra..."
"Ck. Ya uda seorang ikut aku...masa aku sendiri, susah bawanya..." Laras ikut beranjak, "yo wes aku temani sampai akhir hayat...." candanya ditertawai yang lain termasuk Aza.
Aza memilih mengobrol dengan Nisa yang sesekali ditimpalinya dengam bercanda. Namun semakin lama, kepalanya justru berputar dengan keringat dingin yang mulai menyergap setiap pori-pori. Aza hanya berdehem tak nyaman saja, berusaha untuk berpikiran positif.
"Teh manis datang!" seru Hera dan Laras. Aroma uapnya cukup membuat kepalanya tenang, namun itu hanya bertahan sekejap karena sekarang yang terjadi Aza justru dilanda mual tak tertahankan, membuatnya sontak berlari dengan menutup mulutnya, menaruh kembali teh manis hangatnya sembarang.
"Za, eh kenapa?!" Nisa ikut berlari menyusul khawatir.
"Gue ngga apa-apa Ca!" teriaknya dari dalam bilik kamar mandi. Namun nyatanya ia tak benar-benar baik-baik saja, malam ini terasa panjang untuk Aza, karena nyatanya urusan perut bermasalahnya masih berlanjut sampai Aza benar-benar lemas.
****
Suara Yuan menggelegar menyapa pagi itu, "pagi girlsss!" cukup mengejutkan dan membuat beberapa dari mereka menggeliat manja.
"Bangun lo semua. Cewek-cewek bangunnya siang, emang bener-bener ya..." Yuan mengguncang-guncang Nisa, Laras, Hera termasuk yang paling kencang pada Aza, padahal ia baru saja mulai tertidur.
"Za, buruan...tuh om-om nungguin digodain!"
Aza mengaduh dan memilih menarik selimutnya hingga menutupi seluruh tubuh sampai kepala, "gue lemes Yu, baru tidur jam 4 tadi..pusing pala gue, sana-sana hushh!" usir Aza. Namun memang tak ada yang begitu aneh terlihat dari Aza selain dari wajahnya yang pucat dan bau aromatherapy.
"Ngga usah diganggu si Aza, semalem doi masuk angin bolak-balik kamar mandi, Yu..." ucap Hera bersuara dengan nada dan intonasi parau.
"Oh, jadi beneran sakit nih?" ia justru tertawa, "dokternya tepar..." cibir Yuan.
"Berisik, udah sana..." usir Aza lagi tak berniat menimpali candaan Yuan.
"Ya udah istirahat aja dulu, Za. Ntar ada apel pagi kan, sambil rekapan tugas." Kini Nisa sudah bangkit dan membereskan selimutnya.
Sungguh ucapan mereka tak begitu jelas ia dengar karena Aza kini justru merasakan kembali mules di perutnya.
Hingga berangsur suara riuh itu mulai senyap mengingat teman-temannya sudah keluar dari kamar, pun dengan Aza yang tak bisa lagi tertidur kembali, selain karena gangguan Yuan namun ia tak dapat menahan rasa melilit di perut dan terpaksa harus menyerbu toilet lagi.
Sudah hampir 3 hari sejak kejadian pagi itu, Jagat tak melihat Aza, bahkan pagi ini saat berjamaah ia sama sekali tak melihat Aza hadir diantara teman-temannya.
"Sus..." sapa Toni pada Hera dan kawan-kawan.
"Om..duluan om," mereka keluar duluan dari ruangan.
"Mari sus..."
"Loh, tumben ya...mbak Aza ndak ada. Lagi halangan kayanya..." ujar Toni bermonolog mewakili Jagat, Jagat menoleh pada Toni, "kenapa nanyain dokter Aza, kamu suka?" tanya nya berani.
Toni mengehkeh, "siapa juga yang ngga suka bang, dia cantik, humoris, lucu orangnya..."
Dan jawaban Toni membuat Jagat menghadiahinya dengan jitakan di kepala, "dia sudah punya calon suami Ton, ingat."
Dika yang ada disana ikut bersuara, "lah terus ngopo Gat, sing penting janur kuning belum melengkung di rumahnya atau KUA..." Toni tertawa puas karena mendapat pembelaan dari Dika, ia pun mengangkat tangannya untuk bertos ria namun Dika tak membalasnya, "aku bukan belain kamu, to..tapi ngajarin..."
Jagat menggeleng dan beranjak pergi dari sana. Berada diantara mereka berdua cuma bisa bikin wudhunya batal saja.
*Aza kemana*?
\*\*\*
Aza tidak segera kembali ke kamarnya, selepas dari kamar mandi ia langsung menyerbu ruang kesehatan seorang diri. Tangan dan kakinya, meski lemas ia mencoba kuat mencapai ruang kesehatan dan meraih handle pintunya.
"Ini semoga kondisi badan gue ngga seperti dugaan sama firasat..." gumamnya di bibir pucat yang mulai menunjukan tanda-tanda kekeringan.
Aza duduk di sana tanpa seorang pun yang tau termasuk dokter Dimas dimana ia tak melaksanakan subuh berjamaah dan masih sibuk dalam alam mimpinya.
Aza meraih stetoskop, thermogun dan alat tensian da rah.
Ia menghirup nafasnya dalam-dalam lalu mengecek detak jantungnya sendiri, 1..2..3..4..5...-----
"Hofffttt," ia menghela nafasnya dengan pasrah ketika menghitung jika detakannya lebih cepat, kemudian ia mengecek suhu badan dan tensian da rahnya.
"Hm, rendah..." ia mengedip frustasi dan menyandarkan kepala di dinding, "kayanya gue kena juga."
Ditinggalkan isian perut dalam semalaman lebih membuat pandangannya sedikit lebih sensitif cahaya dan remang-remang. Ia lantas menyeret langkahnya ke arah ruang obat, mencari-cari serbuk oralit, zinc dan antibiotik demi mengobati dirinya sendiri.
Matanya beberapa kali mengedip mencoba membersihkan pandangan yang kabur. Tangannya bahkan sudah mendingin lemas, ditambah kini kakinya mengalami kram di sebagian area.
"Aww...aduh..." ia menunduk dan sejenak membawa rambutnya ke belakang telinga dimana ia tak sempat mengikatnya tadi demi melihat kaki-kakinya.
Meski jarak laci lemari antibiotik dan oralit tak begitu jauh, tapi rasanya jika sedang tak sehat begini, ia begitu kesulitan untuk meraihnya, bahkan setelah dapat ia hampir mengacak-ngacak kembali obat-obatan yang semalam sudah dirapikan Hera.
Dengan tangan yang bergetar ia mengambil beberapanya, "iaahhh ah..akhirnya! Aduhh kepala gue udah pusing banget, ngga kuat..." ucapnya menghela nafas yang semakin tak teratur karena detak jantungnya lebih cepat dibanding detak jantung orang normal.
"Harus kuat Aza, harus kuat...bener kata Yuan, masa dokternya malah sakit!" ia menggeleng mengumpulkan semua sisa tenaga yang tersisa. Lantas Aza menutup kembali laci dan pintu ruang kesehatan, lalu menyeret kaki-kakinya untuk sampai kembali ke kamar sendirian.
Sinar matahari sudah mulai mengintip tanpa malu lagi sekarang, dan itu menambah kesulitan Aza. Ia benar-benar sudah meraba-raba dinding untuk membantunya tetap kuat, sampai sesekali ia terhenti karena tenaga yang sudah benar-benar terkuras, benar...Allah sedang mencabut nikmat sehatnya untuk saat ini pada Aza.
Ia menunduk menahan lutut dan menggeleng kencang, "hufft...perut gue sakit banget..." keluhnya.
Tawa Toni dan Dika masih menggelegar di telinga Jagat yang berjalan duluan, diantara gusarnya ia menatap ke sekeliling. Namun kini pandangannya jatuh pada seseorang yang sedang menunduk lalu terjongkok dikoridor. Entah kemana sebenarnya langkahnya itu karena jelas Jagat memang akan menyerbu dapur setelah ini.
Aza mendongak dan berusaha menggapai dinding.
"Aza?!" Jagat berlari kencang sesaat ia merasa ada yang tak beres.
*Pluk*!
Obat-obatan itu terjatuh dari cengkraman Aza yang memang sudah kehabisan daya.
"Za? Ya Allah..." ucapnya menatap wajah pucat dengan keringat di pelipisnya, mata sayu itu dibarengi dengan lingkaran hitam di bawah mata pertanda Aza yang sedang tidak baik-baik saja.
"Bang," Ia tersenyum getir.
"Aza..." wajah Jagat mulai mengabur dipandangan, ia mengernyit dan menepuk kepalanya sekali namun selanjutnya Aza sudah tak dapat melanjutkan kalimatnya lagi.
"Aza..."
Kesadarannnya perlahan menurun dan hilang, suara Jagat tak terdengar lagi.
"Azalea!"
Pagi itu suasana selasar mendadak geger, terang saja karena para penghuni muslim baru saja melaksanakan kewajibannya.
"Aza, ya Allah!"
Aza sudah tak dapat lagi merasakan apapun, hanya saja kini badannya mulai melayang terangkat tidak sampai jatuh ke lantai.
.
.
.
.
.
lanjut