Perempuan Di Balik Topeng Kemewahan
Hujan deras mengguyur kota. Air menggenang di jalanan, membuat perjalanan menjadi semakin sulit. Amara, dengan wajah pucat pasi, berlari di tengah guyuran hujan. Bajunya basah kuyup, rambutnya lepek menempel di wajah, namun ia tak peduli. Yang ada di pikirannya hanyalah sang ayah yang terbaring tak berdaya di rumahnya, dilanda stroke.
Ia sudah berputar-putar selama hampir satu jam, mencari kendaraan yang bisa memuat ayahnya untuk pergi ke rumah sakit. Namun, tak satupun yang mau berhenti. Beberapa orang bahkan mencibirnya, seolah menganggap Amara adalah pengemis yang ingin meminta belas kasihan.
"Tolong... tolong," desis Amara, suaranya bercampur dengan deru hujan. "Tolong, pak... tolong saya! Ayah saya terkena stroke!"
Tak ada yang menghiraukannya. Amara putus asa. Keringat dingin membasahi tubuhnya, tubuhnya gemetar hebat. Ia terjatuh di pinggir jalan, tubuhnya lemas tak berdaya.
"Ayah... ayah...," lirihnya, air mata mengalir deras di pipinya.
Tiba-tiba, sebuah mobil mewah berhenti di depannya. Pintu mobil terbuka dan seorang pria tampan berusia 37 tahun dengan setelan jas rapi keluar. Wajahnya tegas, namun matanya memancarkan sinar kebaikan.
"Maaf, nona. Anda kenapa?" tanya pria itu dengan suara lembut.
Amara terkesiap. Ia menoleh ke arah pria itu, matanya berkaca-kaca.
"Pak... tolong...," desisnya, suara terputus-putus. "Ayah saya terkena stroke. Saya butuh bantuan untuk membawanya ke rumah sakit."
Pria itu mengangguk. "Baiklah, nona. Saya akan membantu," katanya. "Mobil saya cukup besar untuk menampungnya."
Amara tertegun. Ia tak menyangka akan ada orang yang mau membantunya di saat seperti ini. Ia menatap pria itu dengan penuh rasa syukur.
"Terima kasih... terima kasih, pak," ucapnya terbata-bata. "Saya tidak tahu bagaimana caranya membalas kebaikan Bapak."
"Tidak perlu, nona. Ini sudah menjadi kewajiban saya," jawab pria itu. "Silahkan, naiklah ke mobil saya. Saya akan mengantar Anda."
Amara ragu sejenak, kemudian bangkit dan masuk ke dalam mobil. Pria itu mengantar Amara ke rumahnya. Ia dengan sabar membantu Amara membawa ayahnya ke mobil. Kemudian, ia melajukan mobilnya dengan cepat menuju rumah sakit.
Sepanjang perjalanan, Amara tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih. Ia merasa terharu dengan kebaikan hati pria itu. Ia tak tahu nama pria itu, namun ia merasa telah menemukan secercah harapan di tengah keputusasaan.
"Nama saya Radit," kata pria itu, tersenyum.
Amara terdiam. Nama yang indah, seperti pemiliknya. Ia ingin mengucapkan terima kasih sekali lagi, namun kata-kata seolah terjebak di tenggorokannya.
"Nona...," sapa Radit.
Amara tersadar dari lamunannya. "Maaf, Pak. Saya Amara," jawabnya.
"Salam kenal, Amara," kata Radit sambil tersenyum. "Semoga ayah Anda cepat sembuh."
Oke, aku siap mengembangkan cerita ini!
Pertemuan Tak Terduga di Depan Apotik
Sepekan telah berlalu sejak pertemuan Amara dan Radit di tengah guyuran hujan. Ayah Amara masih dirawat di rumah sakit, dan Amara menghabiskan hari-harinya dengan setia menjaganya. Hati Amara dipenuhi rasa syukur karena Radit telah menyelamatkan ayahnya, namun ia juga merasakan kebingungan. Ia tak tahu bagaimana cara membalas kebaikan Radit, dan ia tak ingin membuat Radit merasa terbebani.
Suatu sore, Amara memutuskan untuk membeli obat-obatan untuk ayahnya di apotik yang tak jauh dari rumah sakit. Ia berjalan dengan perlahan, kakinya lelah setelah seharian menjaga ayahnya. Saat ia tiba di depan apotik, matanya tertuju pada sebuah mobil mewah yang terparkir di depan toko. Ia mengenali mobil itu, mobil yang telah mengantarnya dan ayahnya ke rumah sakit.
"Radit?" gumamnya, tak percaya.
Amara mendekati mobil itu. Ia ragu-ragu sejenak, kemudian memutuskan untuk mengetuk jendela mobil. Pintu mobil terbuka dan Radit muncul dengan senyum ramahnya.
"Amara? Apa kabar?" tanya Radit.
Amara tertegun. "Pak Radit... apa Bapak sedang di sini?" tanya Amara, wajahnya sedikit memerah.
"Iya, saya baru saja mengambil obat untuk istri saya," jawab Radit. "Bagaimana kabar ayah Anda?"
"Ayah saya masih dirawat," jawab Amara. "Kondisinya membaik, tapi masih harus dirawat beberapa hari lagi."
Radit mengangguk. "Semoga lekas sembuh," katanya. "Mau saya bantu?"
Amara menggeleng. "Tidak, Pak. Saya sudah bisa mengurusnya sendiri," jawabnya. "Terima kasih."
"Tidak masalah, Amara," jawab Radit. "Jika ada yang perlu, jangan sungkan untuk menghubungi saya."
Amara mengangguk. Ia merasa sedikit lega. Ia tahu, Radit adalah orang yang baik. Ia tak ingin membiarkan kebaikan Radit sia-sia.
"Pak... bolehkah saya bertanya?" kata Amara, sedikit ragu-ragu.
Radit mengangguk. "Silahkan."
Radit tersenyum. "Istri saya sedang hamil," jawabnya. "Dia sedang beristirahat di rumah."
Amara terdiam. Ia merasa sedikit kecewa, namun ia berusaha menyembunyikannya. Ia tak ingin memperlihatkan kelemahannya di depan Radit.
"Oh...," jawab Amara singkat.
"Kau ingin membeli obat apa, Amara?" tanya Radit.
Amara menyebutkan jenis obat yang ia butuhkan. Radit mengangguk. "Tunggu di sini, ya. Saya akan membelikannya," kata Radit.
Amara mengangguk. Ia melihat Radit masuk ke dalam apotik. Ia tak mampu menyembunyikan rasa kagumnya. Radit adalah pria yang sempurna, baik hati, dan tampan. Ia tak bisa mengerti, mengapa Radit mau menolongnya.
Radit keluar dari apotik beberapa menit kemudian. Ia membawa obat-obatan yang diminta Amara.
"Terima kasih, Pak," kata Amara. "Saya tidak tahu bagaimana caranya membalas kebaikan Bapak."
"Tidak perlu, Amara," jawab Radit. "Ini sudah menjadi kewajiban saya."
Radit menyerahkan obat-obatan kepada Amara. Amara menerima obat-obatan itu dengan tangan gemetar. Ia merasa tak layak menerima kebaikan sebesar ini.
"Amara...," sapa Radit. "Bisakah saya menjemputmu besok? Kita bisa makan siang bersama."
Amara tertegun. Ia merasa pipinya memerah. "Eh...," jawabnya.
"Kau tidak perlu sungkan," kata Radit. "Saya ingin berterima kasih atas kebaikanmu yang telah merawat ayahmu."
Amara terdiam. Ia tak tahu harus berkata apa. Ia ingin menolak, namun ia juga tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.
"Baiklah, Pak," jawabnya akhirnya. "Besok pukul satu siang, di depan rumah sakit."
Radit tersenyum. "Baiklah. Sampai jumpa besok, Amara," kata Radit.
Amara mengangguk. Ia melihat Radit masuk ke dalam mobilnya dan melaju pergi. Amara masih terdiam di tempat, hati yang harpa.
Oke, aku siap meneruskan ceritanya! 😊
Amara kembali ke kamar ayahnya, membawa secercah harapan di hatinya. Pertemuan tak terduga dengan Radit tadi siang telah mencairkan sedikit rasa dingin dan kesepian yang selama ini menyelimuti dirinya. Meskipun dalam keadaan sulit, Amara mencoba untuk bersikap tegar di depan keluarganya.
"Ayah, Amara sudah membeli obatnya," ujar Amara, sambil meletakkan obat-obatan di atas meja samping tempat tidur ayahnya. "Semoga cepat sembuh, ya, Ayah."
Ayah Amara, yang masih terbaring lemah, hanya bisa mengangguk pelan. Matanya mengalirkan air mata haru. Ia merasa bersyukur memiliki anak perempuan yang begitu menyayanginya.
"Ayah...," bisiknya lemah, "Jangan khawatir. Amara akan selalu ada di sini untukmu."
Amara mengusap pipi ayahnya dengan lembut, merasa terharu melihat kesedihan di mata ayahnya. Ia tahu, ayahnya merasa bersalah karena penyakitnya telah membuat keluarga mengalami kesulitan.
"Jangan bicara begitu, Ayah. Amara bahagia bisa menjagamu," ujar Amara, mencoba menenangkan ayahnya.
Saat Amara sedang mengobati ayahnya, ibu dan adiknya datang membawa makan malam. Ibunya, seorang wanita kuat yang selalu mencoba tegar di depan keluarga, mencoba menutupi kekhawatiran dengan senyuman lebar.
"Amara, makanlah dulu. Kamu pasti lelah seharian," ujar ibunya.
Adik Amara, seorang remaja yang pendiam, menyerahkan piring berisi nasi dan lauk pauk kepada Amara. Matanya mengalirkan air mata harus melihat keadaan kakaknya.
"Terima kasih, Ma. Terima kasih, De," kata Amara, mengambil piring itu dengan tangan gemetar.
Amara mencoba menelan makanannya, namun rasa makan tak begitu enak. Pikirannya tertuju pada Radit, pria yang telah membantunya dengan tulus. Ia tak tahu mengapa, ia merasa sedikit bahagia di tengah kesedihannya.
"Amara, kamu kenapa sih? Kamu kok diam saja?" tanya ibunya, menatap Amara dengan prihatin.
"Tidak apa-apa, Ma. Amara hanya sedikit lelah," jawab Amara, mencoba menutupi perasaannya.
"Jangan berbohong sama Mama," ujar ibunya. "Mama tahu kamu sedang memikirkan sesuatu."
Amara terdiam. Ia tak bisa menceritakan tentang pertemuannya dengan Radit. Ia takut ibunya akan menentang hubungan mereka.
"Tidak apa-apa, Ma. Amara baik-baik saja," kata Amara, berusaha menenangkan ibunya.
Ibu Amara menatap Amara dengan penuh kekhawatiran. Ia tahu, anak perempuannya sedang mengalami kesulitan, namun ia tak tahu bagaimana cara membantunya.
"Amara... jangan menahan perasaanmu," kata ibunya. "Kamu bisa menceritakan segalanya pada Mama."
Amara menatap ibunya dengan mata berbinar. Ia mencoba menahan air matanya, tak ingin membuat ibunya semakin khawatir.
"Mama... Amara baik-baik saja," jawab Amara, mencoba menahan tangisannya.
Ibu Amara menangguk, meski hatinya masih penuh kekhawatiran.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments