Novel ini terinspirasi dari novel lain, namun di kemas dalam versi berbeda. Bocil di larang ikut nimbrung, bijaklah dalam memilih bacaan, dan semua percakapan di pilih untuk kata yang tidak baku
-Entah dorongan dari mana, Dinar berani menempelkan bibirnya pada mertuanya, Dinar mencoba mencium, berharap Mertuanya membalas. Namun, Mertuanya malah menarik diri.
"Kali ini aja, bantu Dinar, Pak."
"Tapi kamu tau kan apa konsekuensinya?"
"Ya, Saya tau." Sahutnya asal, otaknya tidak dapat berfikir jernih.
"Dan itu artinya kamu nggak boleh berenti lepas apa yang udah kamu mulai," kata Pak Arga dengan tegas.
Bagaimana kelanjutan kisahnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon An, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Ternyata pria itu merebahkan dirinya dengan bertumpu tangan sebagai alas kepala. Perlahan Dinar berjalan dan mendekatinya. Dinar duduk di sampingnya, sambil meletakan rantang yang dia bawa.
"Pak!" Dengan pelan dia goncangkan tubuh Bapak mertuanya, pria itu membuka matanya.
"Pak ini Dinar bawakan makan. Bapak makan dulu."
Pak Arga merubah posisinya menjadi duduk menatap ke arahnya. Dinar membuka rantang makanannya, dan mendekatkan kepada beliau.
"Silahkan Pak, di makan."
"Terimakasih, udah repot ngebawakan ke mari juga. Sebenarnya tadi, Bapak mau pulang bentar ke rumah. Tapi, berhubung kamu udah bawa, yaudah, Bapak terimakasih."
"Dinar udah tunggu Bapak, takutnya malah Bapak sakit, atau ketiduran jadi enggak sempat di rumah. Jadi Dinar bawakan aja."
Tidak butuh waktu lama, Pak Arga menyantap makanannya. Entah kenapa Dinar merasa senang melihat beliau lahap makan. Wanita itu cukup dihargai dengan Pak Arga memakan masakannya. Bukannya itu hal normal untuk diluaran sana?
Melihat Pak Arga yang lahap, pandangannya terfokus pada bibir pria itu. Dinar mengingat kembali apa yang sudah terjadi, dia mencoba untuk bertanya saja, dibandingkan dia terus-terusan memikirkan hal yang tidak-tidak.
"Pak, ada yang mau Dinar omongin." Pak Arga yang sedang memakan makanannya terhenti, dia menatap Dinar.
"Apa yang mau kamu tanyakan Din? Apa ada yang ngeganggu di pikiran kamu?"
"Bapak tau kan, kalau pernikahan Dinar dan Mas Vano berdasarkan perjodohan yang Bapak dan Ibu Dinar lakukan?"
"Kalau itu Bapak tau, tapi semuanya juga karena Vano yang Minta Bapak buat mempersunting kamu buat jadi istrinya. Terus apa masalahnya?"
"Dalam pernikahan Dinar yang masih ber-umur jagung ini, Dinar ngerasa bersyukur. Dinar mencintai Mas Vano, entah perasaan ini sama persisnya kayak Mas Vano terhadap Dinar atau enggak. Tapi, Dinar sangat mencintai suami Dinar, Pak."
Dinar menarik napas sejenak, sebelum melanjutkan kata-katanya kembali.
"Malam itu, entah apa yang ada di pikiran Dinar, sampai semua terjadi gitu aja. Dinar sadar, itu salah. Gak seharusnya Dinar ngebalas apa yang Bapak lakuin di malam itu. Dinar menyadarinya, sama ngerasa bersalah untuk Mas Vano sama hal itu, Pak."
Pak Arga terdiam sejenak. Namun yang Dinar lihat adalah wajahnya yang datar, tidak berekspresi apapun.
"Dinar boleh minta Bapak ngerahasia'in semuanya dari Mas Vano? Aku gak mau ngelukai Mas Vano sama sikap Dinar, Pak." Jujur, hatinya. Dia masih takut jika suaminya tau semuanya. Dinar takut kehilangan Vano.
"Kamu gak perlu khawatir. Semua ini, gak akan sampai ke telinga Vano. Anggap aja semuanya udah berlalu."
Dinar lega mendengarnya. Dia tersenyum senang, "Terimakasih Pak! Dinar, gak tau harus gimana berterimakasih sama Bapak."
"Ya udahlah. Kamu belum makan siang? Makan lah. Nggak perlu di pikirin lagi."
Wanita itu menggelengkan kepala, "Gak usah Pak. Dinar udah makan di rumah. Bapak habiskan aja makanannya."
Sumber masalah utama dalam pikirannya sudah teratasi. Kini Dinar bisa bernapas lega dan akan menjalani hari seperti biasanya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Dinar bersantai di ruang tengah, bersama dengan Arin. Perempuan itu memainkan ponselnya, sementara Dinar melakukan kegiatannya yang sedang menyulam.
Saat Dinar menyulam, dia merasa terusik dengan tawa Arin yang sedang asik sendiri dengan ponselnya. Dia menoleh, dan mengerutkan kening penasaran.
"Senyum-senyum ketawa sendiri dari tadi, chatingan sama siapa, Rin?"
Arin menutup ponselnya dan meringis, "Ish, Mbak ah... Rahasia pokoknya, Mbak!"
"Kamu ini gimana? Katanya mau hubungan sembunyi-sembunyi sama pacar, tapi gerak-gerik kamu itu lo, Mbak Dinar aja udah baca jelas."
Arin memegang wajahnya malu, "Omaigat, apa iya Mbak? Sejelas itu?"
"Kalau enggak jelas, ngapain Mbak Dinar cepet nebak. Orang namanya jatuh cinta, dunianya bakal berubah. Dia pasti ngerasa berkali lipat bahagia, di banding kehidupan sebelumnya. Jadi, semua pasti kelihat jelas. Sama kaya kamu gini, senyum-senyum, kadang guling-guling sendiri."
"Jadi malu Mbak aku... Ah Mbak ish."
"Ngapain malu, wajar. Namanya juga orang jatuh cinta." Arin mendekat, menatap Dinar lekat, "Apa Mbak juga ngerasakan itu sama Mas Vano?"
Perkataan Arin membuat dinar terdiam. Dia, tidak merasakan hal yang sama seperti apa yang Arin katakan kepada suaminya. Entah, perasaan apa yang dia miliki, tapi yang dia tau, Dinar takut kehilangan suaminya.
"Mbak, kok nggak di jawab sih?"
"Eh kamu tanya apa tadi? Maaf, Mbak nggak denger,"
"Ck, tadi itu, aku tanya sama Mbak. Mbak juga ngerasakan jatuh cinta yang sama kaya aku nggak, ke Mas Vano, gitu loh, Mbak?"
Dinar tersenyum, mengangguk, "Tentu aja. Tapi, cara pengekspresian orang itu berbeda-beda. Gak semuanya sama."
"Ah begitu. Lalu kayak gimana yang Mbak Dinar rasakan sama Mas Vano?" Tanyanya penasaran.
Dinar bingung menjawabnya. Dia tidak bisa berbohong masalah perasaan. Dia tidak mungkin mengatakan omong kosong, terlebih untuk suaminya sendiri.
"Udahlah ndak usah kepo segala! Lebih baik kamu itu cari cara supaya Bapak nggak sadar kalau kamu itu lagi jatuh cinta!" Alibinya.
"Ah, iya benar! Mbak Dinar benar! Tapi, aku yakin Mbak Dinar banget-banget mencintai Mas kan?" Goda Arin.
"Tentu, siapa yang gak cinta Mas kamu yang begitu baik? Hanya orang buta, Rin, yang gak akan jatuh sama pesona Mas kamu," Tuturnya.
"Aaah benar juga, Mbak! Mas Vano emang definisi pesona laki-laki matang di desa ini!" Teriaknya.
"Astaga Arin jangan teriak-teriak, Dek." Arin terkekeh.
...BERSAMBUNG, ...