Seoramg gadis yang berprofesi Dokter harus menikah dengan seorang pria yang ia tolong.
Dokter Manya Aidila adalah nama gadis itu. Usianya dua puluh enam tahun. Bertugas di sebuah daerah terpencil minim sarana dan prasarana. ia bertugas di sana selama tiga tahun dan sudah menjalankan tugas selama dua tahun setengah.
Suatu hari gadis itu mendengar suara benda terjatuh dari tebing. Ia langsung ke lokasi dan menemukan mobil yang nyaris terbakar.
Ada orang minta tolong dari dalam mobil. Dengan segala kekuatanmya ia pun menolong orang yang ternyata seorang pria bule.
Si pria amnesia. Gadis itu yang merawatnya dan ketua adat desa memintanya untuk menikah dengan pria bernama Jovan itu.
Awalnya biasa saja Hingga kejadian menimpa Manya. Jovan dijebak dan pria itu merenggut kesucian gadis itu.
Hingga tinggal dua bulan lagi Manya selesai masa dinas. Jovan yang sudah ingat akan dirinya pergi begitu saja meninggalkan istrinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maya Melinda Damayanty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
WEEKEND BERSAMA SEVEN A
Hari ini Jovan mengajak anak istrinya ke luar kota. Pria itu membeli sebuah mobil yang ia design khusus agar semuanya muat dalam satu mobil.
"Wah masih nggak muat juga ya?" ujarnya setelah menyusun semua anak-anak di bangkunya. Hanya dua suster yang bisa ikut ke dalam mobil.
"Ya sudah, biar mami dan papi ikut," ujar Abraham memberi usul.
Akhirnya mereka pun berangkat dengan dua mobil. Jovan bilang hari ini adalah ulang tahun Gerard makanya kemarin mereka tak ada satu pun yang datang ke pesta pernikahan.
"Aku yakin semalam mereka pergi ke klub dan bercinta dengan beberapa perempuan di sana," terka Jovan..
"Kok, mas bisa tau?" tanya Manya.
"Aku bersama mereka dari awal mendirikan perusahaan," jawab Jovan, pria itu fokus menyetir.
"Apa dulu mas nggak seperti mereka?" tanya sang istri.
"Aku yang paling lurus di antara semuanya!" ujarnya bangga.
Manya hanya tersenyum saja. Ia memilih percaya apa perkataan suaminya. Toh, semua orang memiliki masa lalu.
Perjalanan cukup jauh, menempuh hingga setengah jam. Dua mobil masuk ke halaman mansion besar. Manya terpukau melihat betapa mewahnya hunian ini, walau tak semewah hunian yang ia tempati sekarang.
"Sepertinya Bibi Clara baru kembali dari luar negeri," gumam Jovan melihat adanya mobil mewah yang biasa dipakai adik dari ibunya itu.
"Selamat datang Tuan Dinata!" sapa kepala maid.
"Apa nyonyamu baru kembali?" tanya Abraham.
"Ya benar tuan, sekarang beliau tengah di kamar Tuan muda Gerard," jawab kepala maid.
Semua masuk para maid begitu terkejut dengan tujuh bayi yang mirip satu dengan lainnya.
"Spada!"
"Kak, kau datang?" teriak seorang wanita dari tangga.
Clara Sugandi begitu terkejut dengan tujuh bayi yang mirip dengan Jovan, keponakannya.
"Apa kah mereka?"
"Ya, aku sudah bilang kan Bi, jika aku sudah menikah dulu?"
"Ini adalah hasil dari pernikahanku," lanjutnya jumawa.
Clara langsung mendekati para bayi yang dari tadi hanya diam sambil mengemut empeng.
"Hai babies, kalian tampan-tampan dan cantik-cantik!" pujinya.
"Tamu spasa?" tanya Abraham melepas empengnya.
"Panggil aku Oma Clara!" sahutnya memperkenalkan diri.
"Moma Lala?" tanya Abi memastikan sampai kepalanya miring.
"Ya, kau bisa memanggilku itu," jawab wanita itu.
"Moma Lala nanat moma judha?" tanya Agil kini.
"Bilip!" lanjutnya lalu kembali mengempeng.
"Ah, gemasnya. Andai aku juga punya cucu," ujar wanita itu.
"Bi perkenalkan ini istriku, Manya ... dokter Manya Aidila!" ujar Jovan memperkenalkan istrinya.
Clara memeluk Manya erat, padahal wanita itu memberikan tangan untuk berjabatan.
"Kau cantik sekali sayang," puji Clara sambil mengecup dua pipi Manya.
"Terima kasih, bi," ujar wanita itu tersipu.
Anak-anak sudah diturunkan dari stroller para maid dan suster menjaga mereka. Jovan memilih naik ke atas dan membangunkan saudara misannya itu.
"Ah, anak itu baru saja pulang pagi tadi dan dalam keadaan mabuk!" gerutu Clara kesal.
"Moma babut ipu pa'a?" tanya Laina. Bayi itu ternyata menguping pembicaraan orang tua.
"Kau belum memperkenalkan samua bayimu, Manya!" ingat Clara.
"Moma Lala ... atuh ipu beultana, teunapa eundat benjawap?" protes Laina kesal.
"Hei ... apa aku barusan diprotes oleh bayi?" tanyanya gemas.
"Yang bertanya namanya Alaina Putri Jovan, bi," jawab Manya.
"Yang itu, Ailika, Abraham, Abigail, Abimanyu, Abhizar dan Alamsyah," lanjutnya.
"Ah, seven A!" seru Clara terkekeh.
Para bayi tampak berkumpul. Mereka seperti berdiskusi. Tak lama Gerard datang bersama Jovan. Clara cemberut melihat putranya yang baru saja bangun dari tidur.
"Mommy, kau sudah pulang?" tanyanya mengecup pipi ibunya.
"Ck ... kapan kau memberiku cucu sebanyak ini Gerard?!" dumal Clara kesal.
"Jangan khawatir mom, jika aku menikah aku akan memberimu cucu yang banyak sekaligus!" sahut pria itu santai.
Lalu Jovan dan Gerard duduk bersama para bayi yang sedang mengobrol. Maid menyediakan teh hangat tanpa gula bagi Gerard.
"Madu lebih bagus untuk menghilangkan mabuk dibanding teh tawar," saran Manya.
"Aku tak suka manis-manis Manya, karena aku sendiri manis," seloroh pria itu.
Manya hanya diam. Memang Gerard sangat manis dengan mata birunya. Terlebih lesung pipit yang tercetak jelas ketika ia tersenyum. Kulitnya memerah khas kulit orang bule.
"Hei, ... apa yang kalian obrolkan sepertinya seru sekali?" tanya pria itu pada seven A.
"Papa Lelat, pita seudan beuldistusi," jawab Syah begitu yakin.
"Apa yang kalian diskusikan, apa papa boleh tau?" tanya pria itu penasaran.
"Pita mawu setolah papa," jawab Agil dengan suara imutnya.
"Sekolah, kalian belum dua tahun," kali ini Jovan yang bicara.
"Bemana halus bumul pelapa papa yayah?" tanya Bhizar kini.
"Papa yayah?" Gerard mengalihkan pandangannya pada Jovan.
"Mereka memanggilku seperti itu, papa dan ayah, dijadikan satu papa yayah," jawab pria itu.
Gerard gemas dengan sebutan lucu para bayi pada Jovan. Ia juga mau dipanggil papa yayah.
"Bana pisa bedithu!" tolak Laina sambil menggeleng.
"Panggil papa yayah Lelat juga nggak apa-apa," rayu Gerard lalu menciumi perut bundar para bayi hingga tergelak.
"Papa yayah Lelat, pampun!" seru semuanya sambil tergelak.
Kali ini Jovan juga ikut menciumi perut tujuh anaknya.
"Pampun papa yayah ... mama ... papa yayah natal!"
Dua bayi berhasil meloloskan diri dan merangkak cepat. Gerard selalu kesulitan menangkap mereka karena memang tujuh bayi itu sangat gesit jika menggunakan dengkulnya berjalan.
"Kau sudah terlalu tua Gerard!" ledek Clara, sang ibu.
"Mommy!" rengek pria besar itu.
"Mommy spasa?" tanya Syah dengan mata bulatnya.
"Aku memanggil ibuku mommy baby, seperti kau memangil ibumu mama," jawab Gerard.
"Mommy, bibu ... ah lolan pewasa banat setali pebutanna!" sahut Abraham sambil menggeleng.
Lagi-lagi Gerard gemas. Pria itu mengambil bayi tampan itu lalu mengangkatnya tinggi-tinggi hingga Abraham terpekik.
"Bita selan papa yayah Lelat!" sahut Abi mengomando.
Pria itu ditumpuki tujuh bayi, hingga Gerard tergelak. Clara begitu terharu mendengar suara tawa putranya setelah sekian lama.
"Apa Downson belum selesai dengan pekerjaannya?" tanya Abraham mengenai adik iparnya itu.
"Dia seorang workaholic kak, jangan tanyakan lagi, ia sama gila dengan asistennya Jesson," jawab Clara kesal.
"Aku pulang!" sebuah suara mengejutkan semuanya.
"Astaga, untung saja aku sedang tidak membicarakan dirinya," sahut Abraham kaget.
"Sayang aku pulang!" ujar Eddie Downson merentangkan tangannya.
Clara berhambur ke arah suaminya, mereka berciuman tanpa malu. Untung anak-anak tidak melihat.
"Ah, kalian datang?' ujarnya pada Abraham.
Dua pria itu saling berpelukan. Lalu mata Downson kaget ketika melihat tujuh bayi yang juga menatapnya.
"Siapa ini, kenapa Jovan kecil banyak sekali?" tanyanya takjub.
"Mereka adalah cucu-cucuku, Eddi," jawab Manya.
"Perkenalkan, mereka dijuluki seven A!" lanjutnya bangga.
"Moma lolan imi spasa?" tunjuk Lika pada Eddie Downson.
bersambung.
kenalan deh situ.
next?
kurang ngudeng aku