Niat hati mengejar nilai A, Nadine Halwatunissa nekat mendatangi kediaman dosennya. Sama sekali tidak dia duga jika malam itu akan menjadi awal dari segala malapetaka dalam hidupnya.
Cita-cita yang telah dia tata dan janjikan pada orang tuanya terancam patah. Alih-alih mendapatkan nilai A, Nadin harus menjadi menjadi istri rahasia dosen killer yang telah merenggut kesuciannya secara paksa, Zain Abraham.
......
"Hamil atau tidak hamil, kamu tetap tanggung jawabku, Nadin." - Zain Abraham
----
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25 - Santai Saja
"Maaf ... aku terlambat datangnya, sakit banget ya, Mas?"
Sudah pasti iya, tapi Zain menggeleng dan terus menikmati setiap rasa sakit kala Nadin menyentuh setiap lukanya. Bukan karena sok kuat atau semacamnya, tapi memang benar Zain malu jika sampai mengeluh sakit di hadapan Nadin.
"Bohong, separah ini masa tidak sakit."
Tanpa menjawab lebih dulu, Zain hanya tersenyum tipis. Sudah jelas sekali, tapi Nadin masih saja bertanya. Hal itu termasuk konyol, tapi Zain tidak protes dengan pertanyaan yang diberikan sang istri.
"Lebih sakit kamu malam itu," jawab Zain dengan sejuta sesal dalam benaknya.
Saat itu juga Nadin menghentikan kegiatannya, beberapa luka dan memar di wajah Zain sudah selesai dia obati, hanya beberapa saja yang belum. Ucapan pria itu membuatnya lemas, seketika ingat begitu saja, padahal kemarin-kemarin sudah berusaha untuk lupa.
"Iya, 'kan, Sayang?" Mendapati istrinya tidak menjawab, Zain kembali bertanya lagi.
Lagi, hanya helaan napas yang Nadin berikan sebagai tanggapan. Agaknya dia memang tidak ingin membahas hal itu, cukup terjadi tanpa perlu diingat lagi. "Jangan menatapku sebagai korban pemerkossaan lagi, Mas, aku tidak nyaman."
Nadin menatap lurus ke depan, dia menggigit bibir demi bisa menahan tangis yang rasanya sebentar lagi akan tumpah. Sejak awal dia ketahui, Zain menikahinya sebagai bentuk pertanggung jawaban. Namun, di posisi ini dia justru merasa, Zain terus saja menatap dirinya sebagai korban.
Terlebih lagi, kala dia tak sengaja mencuri dengar pembicaraan Zain dan saudaranya. Sejelas itu Zain mengatakan bahwa dia menikahi Nadin sebagai bentuk tanggung jawab lantaran telah menodainya.
Padahal, sejak awal, tepatnya di rumah sakit Nadin sudah meminta Zain untuk tutup mulut. Apa yang terjadi pada mereka dan alasan sebenarnya yang mendasari pernikahan itu cukup sampai di mereka, sama halnya dengan aib dan Nadin tidak ingin siapapun tahu.
Bahkan, uminya saja tidak diizinkan tahu. Bukan tanpa alasan Nadin meminta dirahasiakan, tapi hal semacam itu baginya teramat memalukan. Terlebih lagi, kesalahan juga terletak padanya yang lancang dan nekat mendatangi kediaman pribadi dosennya hingga larut malam.
Sebenarnya dia tidak menyalahkan Zain sepenuhnya. Karena itulah, sewaktu Zain menawarkan pernikahan dia tidak segera menerima dan lebih memilih untuk lupa dan kembali fokus dengan kuliahnya.
Hanya saja, Zain tidak mau mengikuti apa maunya. Semua persyaratan yang Nadin berikan padanya juga dia sanggupi, asal Nadin mau dinikahi. Sialnya, ketika sudah resmi menikah dan Nadin mengikuti apa mau Zain, pria itu justru melanggar perjanjian yang mereka sepakati.
Terbukti jelas, belum beberapa hari tinggal di kost sebagaimana permintaan Nadin, dia mencari cara agar mereka bisa pindah. Bukan hanya pindah biasa, tapi Zain juga membawa Nadin ke hadapan orang tuanya dan berakhir mengatakan menceritakan tragedi malam itu pada saudaranya.
Hal itulah yang pada akhirnya membuat Nadin menangis. "Nadin coba dengarkan aku ... sekuat apapun aku berusaha menyembunyikannya, keluargaku terutama Daddy tetap akan tahu."
Zain ingin marah sebenarnya, karena di posisi ini yang juga tersiksa adalah dirinya, bukan Nadin saja. Namun, berkali-kali Zain berusaha mengendalikan diri karena mungkin sang istri tidak mendengar dari awal apa yang terjadi di ruangan kerja Daddy-nya.
"Menurut kamu, apa alasan Daddy sampai menghajarku seperti ini?"
Nadin terdiam, dia menatap Zain yang kini tampak berusaha mengatur napasnya. "Coba jawab," pinta Zain lagi.
Suasana hati Nadin terlalu buruk saat ini, dia tidak bisa berpikir jernih. Fakta bahwa Zain ternyata sampai membatalkan tunangan bersama Jessica adalah sebabnya, terlebih lagi sewaktu tiba Syakil tampak menyayangkan keputusan Zain yang menikahinya.
"Karena mas mengecewakannya," jawab Nadin setelah berpikir cukup lama, hanya itu jawaban paling mungkin menurut Nadin saat ini.
Kecewa memang sudah pasti, tapi bukan itu jawaban yang Zain inginkan saat ini. "Spesifiknya?"
"Memutuskan hubungan bersama Jessica ... Daddy marah karena itu, 'kan?"
Zain menggeleng, tentang Jessica agaknya tidak lagi menjadi permasalahan. "No, Daddy tidak menghajarku karena itu."
"Lalu?"
.
.
Sedikit ragu Zain mengatakannya, karena tahu jika Zeshan mengetahui penyebab pernikahan mereka saja Nadin sudah frustrasi, bagaimana jika lebih dari itu? Jujur saja Zain ingin berbohong, tapi dia juga perlu membela diri agar Nadin tidak terus-terusan marah dan mengira jika mulutnya yang terlalu banyak bicara.
Tidak ingin salah langkah, Zain jujur pada akhirnya. Tanpa ditutup-tutupi, dia mengutarakan dengan jelas apa yang Daddy-nya lihat. Mendengar penjelasan Zain, sang istri menganga dengan mata yang membulat sempurna.
"Semuanya?" tanya Nadin masih tak percaya, sungguh mimpi buruk andai iya.
"Hm, semuanya."
"Apaaaaa? Full? Tanpa skip?"
"Iya," jawab Zain tetap santai, sementara istrinya tidak sama sekali.
Wajahnya memerah, sempat malu karena Zeshan tahu Zain menodainya, kini dia merasa bak dilucuti di depan umum. Bagaimana tidak? Kejadian malam itu disaksikan oleh ayah mertuanya, jelas saja malu.
"Sama yang di kamar juga?" Masih berharap posisinya aman, Nadin tetap bertanya lagi.
"Iya lah, kalau cuma di depan mana mungkin semarah it_"
Plak
"Aaawwwwh!!" Zain kembali meringis. Setelah tadi Zeshan ikut-ikutan, Nadin juga mendaratkan telapak tangan tepat di dada usai mendengar penjelasannya.
Mungkin tidak sengaja, tidak pula begitu kuat karena hal itu mungkin sebagai pelampiasan lantaran malunya. Namun, karena sebelumnya Zain sudah dihajar habis-habisan jelas saja berasa sakitnya. "Sakit, Nadin ... kenapa kamu memukulku juga?"
"Kenapa tidak kamu bereskan dulu masalah itu, Mas?" Pada akhirnya, istrinya tetap wanita yang memang akan mencari kesalahan pria.
"Aku tidak punya pikiran untuk menghilangkan jejak, Nad."
"Ck, terus di kamar kenapa harus pakai CCTV juga? Kamu tidak punya bayi dan bukan juga bayi lagi, 'kan?" Ya, di pikiran Nadin konsepnya memang seperti itu.
Sialnya, pertanyaan itu justru Zain jadikan celah untuk menghangatkan suasana. "Sebentar lagi punya, jadi nanti tidak perlu repot-repot," ucapnya menatap perut Nadin hingga mendelik tajam.
"Jangan melihatku terlalu lama, nanti jatuh cinta duluan ... mending tidur saja." dia tidak ingin hal ini menjadi masalah hingga mengajak Nadin untuk tidur segera.
"Kamu saja, aku lagi banyak pikiran."
"Mikirin apa lagi? Sudahlah, aku yang di atas jadi tubuhmu tidak terlihat jelas ... tenggelam kutimpa jadi santai saja, Nad," celetuk Zain yang benar-benar cari perkara hingga membuat Nadin murka dan berakhir menggigit pundak Zain sekuat tenaga. "Aaaarrrgghhh sakit!! Mommy tolong ... Nadin KDRT!!"
.
.
- To Be Continued -