Kisah ini menceritakan hubungan rumit antara Naya Amira, komikus berbakat yang independen, dan Dante Evander, pemilik studio desain terkenal yang perfeksionis dan dingin. Mereka bertemu dalam situasi tegang terkait gugatan hak cipta yang memaksa mereka bekerja sama. Meski sangat berbeda, baik dalam pandangan hidup maupun pekerjaan, ketegangan di antara mereka perlahan berubah menjadi saling pengertian. Seiring waktu, mereka mulai menghargai keunikan satu sama lain dan menemukan kenyamanan di tengah konflik, hingga akhirnya cinta tak terduga tumbuh di antara mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Darl+ing, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kekecewaan
“Jangan khawatir, aku juga sayang kamu… Iya, nanti aku kabarin lagi setelah ini.”
Perlahan, Naya berdiri. Tubuhnya gemetar, dan ia tidak bisa lagi menahan dorongan untuk mencari tahu. Dengan langkah pelan namun tegas, ia mendekati pintu balkon, berdiri di balik tirai tipis yang memisahkannya dari Arfan. Ia dapat melihat punggung pria itu dari jarak dekat, masih sibuk dengan percakapan yang jelas-jelas bukan sekadar urusan pekerjaan.
Naya tidak bisa berpikir jernih. Pertanyaan-pertanyaan berdesakan di kepalanya, membanjiri dirinya dengan rasa marah, kecewa, dan bingung. Ia merasa pengkhianatan itu begitu nyata, meski ia belum mendengar secara pasti apa yang sebenarnya terjadi.
Arfan akhirnya menutup telepon dan berbalik, hampir tersentak ketika melihat Naya berdiri di dekat pintu. “Naya?” panggilnya, jelas terkejut. “Kamu sudah selesai makan?”
Naya tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Arfan, mencoba mencari jawaban di wajah pria yang selama ini ia percayai. Suasana yang tadinya hangat berubah dingin seketika, lebih dingin dari udara malam yang menyelimuti pegunungan di sekitar mereka.
“Siapa yang tadi telepon?” tanya Naya, suaranya terdengar datar, tapi di dalamnya penuh dengan tekanan emosi yang tak tertahankan.
Arfan tampak kaget sesaat, namun ia cepat menyembunyikannya. “Oh, itu… cuma klien lama. Kami sedang menyelesaikan beberapa proyek…”
“Kamu memanggilnya ‘sayang’,” potong Naya dengan tajam. “Siapa sebenarnya dia?”
Wajah Arfan berubah tegang. Ia tampak mencoba memikirkan sesuatu, tapi kata-katanya tertahan di bibir. “Naya, aku bisa jelaskan...”
“Jelaskan apa?” Naya menatapnya, air mata mulai menggenang di matanya, meskipun ia berusaha keras menahannya. “Jelaskan bahwa kamu punya pacar lain di belakangku? Bahwa di tengah kita merencanakan pernikahan, kamu masih berbicara dengan seseorang yang kamu panggil ‘sayang’?”
Arfan menghela napas berat, menyadari bahwa ia tak bisa mengelak lagi. “Naya, tolong dengarkan aku dulu. Aku... aku nggak pernah bermaksud menyakiti kamu. Hubungan ini... hubungan dengan dia... sudah ada sejak sebelum kita mulai serius. Aku nggak pernah tahu harus bagaimana menyelesaikannya.”
Naya terdiam. Ucapannya menghantamnya seperti ombak besar, membanjiri dirinya dengan rasa hancur. Semua kepercayaan yang ia bangun bersama Arfan selama tiga tahun seakan runtuh begitu saja.
“Aku nggak bisa percaya ini,” bisik Naya, suaranya hampir tidak keluar. "Kamu membiarkan ini terus berjalan, sementara kita mempersiapkan pernikahan? Apa artinya aku buat kamu?"
Arfan mendekatinya, tapi Naya mundur, mengangkat tangan untuk menahannya. “Jangan,” katanya tegas. “Jangan dekat-dekat aku sekarang.”
Naya merasakan dadanya sesak. Cinta, kepercayaan, harapan yang ia gantungkan pada pria ini selama ini hancur begitu saja di hadapannya. Tanpa berkata apa-apa lagi, Naya berbalik, masuk kembali ke dalam vila, meninggalkan Arfan yang terdiam di tempat.
Di dalam, Naya merosot di lantai, menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Ia tidak pernah membayangkan malam ini akan berakhir seperti ini—penuh rasa sakit dan pengkhianatan yang tak pernah ia duga.
Naya berjalan tanpa arah di sepanjang jalan setapak yang sepi di pegunungan. Udara dingin menyapu kulitnya, menusuk hingga ke tulang, namun ia hampir tidak merasakannya. Langkah kakinya terasa berat, seolah mengikuti kebingungan dan kekecewaan yang mendalam di dalam hatinya. Tubuhnya bergerak otomatis, seakan terpisah dari pikirannya yang kalut. Tanpa jaket atau tas, Naya hanya membawa dirinya sendiri, melangkah menjauh dari vila yang kini terasa seperti tempat penuh kebohongan.
Di kepalanya, percakapan dengan Arfan tadi berulang-ulang. Kata-kata itu menghantamnya lagi dan lagi, membuat luka yang sepertinya tak akan pernah sembuh. Dia punya pacar lain. Dia mengkhianatiku, dan aku… aku begitu bodoh karena percaya padanya.
Naya menendang kerikil di jalan setapak, frustrasi. Matanya menatap kosong ke depan, tidak peduli ke mana ia melangkah. Pikirannya dipenuhi dengan perasaan terluka, marah, dan tak berdaya. Malam ini, seharusnya menjadi momen indah dalam perjalanan menuju pernikahannya, namun berubah menjadi mimpi buruk yang tidak pernah ia bayangkan.
Tanpa sadar, langkah Naya membawanya semakin jauh dari vila, melewati hutan kecil yang berbatasan dengan jalan utama. Hanya suara gemerisik daun yang tertiup angin dan langkah sepatunya yang terdengar di tengah keheningan malam. Semakin ia berjalan, semakin ia merasa tenggelam dalam kesunyian yang memekakkan telinga.
Saat Naya mendekati sebuah tikungan kecil di jalan setapak yang gelap, ia tiba-tiba merasakan sesuatu yang keras menabraknya dari samping. Tubuhnya terpental sedikit, membuatnya terhuyung ke belakang.
“Ah!” seru Naya, hampir terjatuh ke tanah.
Orang yang menabraknya juga terdorong ke belakang, dan sebelum Naya sempat menegakkan tubuhnya, suara berat yang familier terdengar.
“Lihat dong, jalan!” suara itu bernada marah, namun dengan dinginnya yang khas.
Naya mendongak, dan jantungnya langsung berdetak kencang bukan karena kaget, melainkan karena ia mengenali suara itu dengan baik. Dante Evander berdiri di hadapannya, dengan ekspresi masam di wajahnya yang tajam. Pria itu memandang Naya dengan mata yang menyipit, jelas tidak menyangka bertemu dengannya di tempat seperti ini, apalagi dalam kondisi seperti ini.
“Dante?” Naya tertegun sejenak, tak percaya dengan apa yang ia lihat.
"Naya?" Dante juga tampak bingung. Ia mengerutkan kening, mengamati Naya dari atas sampai bawah, sebelum tatapan sinisnya kembali muncul. "Kenapa kamu berkeliaran di sini sendirian malam-malam begini? Mencari masalah lagi?"
Naya langsung merasa dadanya sesak. Belum hilang amarah yang ia rasakan terhadap Arfan, kini ia harus menghadapi Dante, orang yang selalu membuat emosinya naik setiap kali mereka bertemu. Nada sinisnya hanya menambah panas suasana.
“Apa urusanmu kalau aku jalan sendirian?” jawab Naya dengan tajam. “Kamu pikir semua hal di dunia ini harus sesuai dengan aturanmu?”
Dante mendengus, tidak terkesan. “Lalu kenapa kamu ada di sini? Lari dari masalah lain yang kamu buat? Aku sudah cukup banyak berurusan denganmu di kantor hari ini, Naya.”
Naya mendelik. Pertemuan dengan Dante di Evander Designs tadi masih membekas, membuat darahnya kembali mendidih. "Aku nggak lari dari masalah. Setidaknya aku nggak berpura-pura mengendalikan segalanya, termasuk hidup orang lain," balasnya sarkastis.
Dante memandang Naya dengan tajam, tapi ada sesuatu di matanya yang berubah sejenak—sesuatu yang hampir seperti kekhawatiran, meskipun dengan cepat ia kembali mengenakan topeng arogannya.
“Aku serius, Naya. Di sini berbahaya kalau kamu sendirian di malam begini, apalagi tanpa apa-apa. Mana jaketmu? Kamu bisa kedinginan sampai pingsan.”
Naya tersentak, merasa tersinggung oleh peringatan yang terdengar seperti perintah. “Kamu pikir aku nggak tahu itu?” katanya ketus. “Tapi sekali lagi, ini bukan urusanmu.”
Dante mendesah pelan, sepertinya mulai kehilangan kesabaran. “Terserah kamu. Tapi jangan salahkan aku kalau nanti kamu benar-benar tersesat atau lebih parah, kedinginan dan sakit.”
"Kenapa kamu di sini?" Naya akhirnya bertanya, setelah beberapa detik saling diam yang penuh ketegangan. "Apa kamu juga ‘jalan-jalan’ seperti aku?"
Dante mengangkat alis. “Aku punya proyek pribadi di sekitar sini, kalau itu yang kamu tanyakan. Sekarang giliran aku bertanya: kenapa kamu benar-benar di sini? Jangan bilang ini ada hubungannya dengan pria itu.”
Naya mengerutkan kening. “Pria itu? Siapa maksudmu?”