Kamu pernah bilang, kenapa aku ngga mau sama kamu. Kamu aja yang ngga tau, aku mau banget sama kamu. Tapi kamu terlalu tinggi untuk aku raih.
Alexander Monoarfa jatuh cinta pada Rihana Fazira dan sempat kehilangan jejak gadis itu.
Rihana dibesarkan di panti asuhan oleh Bu Saras setelah mamanya meninggal. Karena itu dia takut menerima cinta dan perhatian Alexander yang anak konglomerat
Rihana sebenarnya adalah cucu dari keluarga Airlangga yang juga konglomerat.
Sesuatu yang buruk dulu terjadi pada orang tuanya yang ngga sengaja tidur bersama.
Terimakasih, ya sudah mampir♡♡♡
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahma AR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berusaha Lagi
Alexander memukul stirnya kala melihat Rihana dan temannya sudah memasuki lift. Pintu lift pun sudah tertutup ketika mobilnya memasuki basemen.
Alexander menatap ponselnya lagi. Rihana masih belum mengaktifkannya
Alexander menghembuskan nafas kasar.
Jam delapan dia akan meeting di perusahaan ini. Masih ada satu jam lagi.
Alexander kembali menghembuskan nafas kasar.
Sesak.
Dia pun melonggarkan sedikit dasinya.
Masih di tatapnya ponselnya sampai kemudian ponselnya bergetar. Herdin menelponnya.
"Lo dimana?"
"Gue di basemen Om Dewan."
"Oke, gue kesana."
Telpon pun diputus Herdin.
Setengah jam kemudian.
TOK TOK TOK
Alexander terbangun dari tidurnya.
Wajah Herdin tampak tersenyum di balik jendelanya yang terbuka sepertiganya.
Dia pun menutup jendela mobilnya dan keluar menemui Herdin yang langsung mengangsurkannya kopi dalam gelas kertas yang masih panas.
"Thank's," ucapnya sambil menerima kopi dari tangan Herdin.
"Sama sama," jawab Herdin dengan senyum dan tatapan mengejek melihat tampilan sahabatnya.
"Lo kenapa?" tanya Herdin setelah menyesap kopinya.
Alexander ngga menjawab, dia memilih menyesap kopinya, lagi dan lagi.
Herdin hanya tersenyum. Cuma satu yang bisa membuat Alexander kalut dan kusut. Pasti Rihana.
Herdin memilih menyesap kopinya lagi. Dia ngga butuh jawaban.
"Nurut lo kalo ada perempuan yang ngga baca chart, ngga angkat telpon, apa dia sedang marah berat?" tanya Alexander akhirnya.
"Mungkin." Segaris senyum miring terbit di bibirnya.
"Kalo perempuannya Rihana, pasti lagi marah," tambahnya lagi.
Terdengar helaan nafas Alexander.
"Gue sudah lakuin hal yang buruk," Kemudian meluncurlah cerita tadi malam dari mulutnya.
Herdin menatapnya curiga
"Jangan bilang lo suka sama Aurora," tuduh Herdin dengan tatap tajamnya. Hatinya sedikit terusik.
"Jika ada lo di situ, gue akan nyerahin Aurora ke lo," jawab Alexander tenang, penuh makna.
Herdin terdiam.
"Sorry," ucapnya kembali menyesap kopinya.
Setelah mami dan papinya, sekarang sahabatnya pun berpikiran sama. Agaknya Itu juga yang ada di dalam pikiran Rihana
Jelas dia sudah melakukan kesalahan fatal.
"Kira kira gue masih bisa dimaafkan, nggak?" gumam Alexander, kemudian menyesap.lagi sisa kopi terakhirnya.
Herdin ngga menjawab.
Agak berat, batinnya. Dia yang sedekat ini saja bisa berprasangka jelek. Apalagi Rihana. Perasaannya lebih halus lagi karena dia seorang perempuan.
"Lebih baik lo rapiin pakaian lo, bentar lagi kita mau meeting," kata Herdin mengingatkan.
Dia pun mengambil gelas kertas Alexander yang sudah kosong, kemudian beranjak ke arah tong sampah terdekat untuk membuangnya.
Alexander langsung merapikan kemeja, dasi dan jasnya dengam melihat pantulannya di spion mobil.
"Oke, ayo," ajaknya ketika Herdin menghampirinya.
Herdin hanya tersenyum sambil mengikutinya.
*
*
*
"Rihana, nanti kamu ikut meeting, ya," kata Bu Zerina ngga bisa dibantah. Dia cukup menyadari kepintaran Rihana di atas rata. Laporan maupun slide yang di buatnya selalu memuaskan dan mengandung decak kagum.
Rihana kaget. Hanya dia pegawai junior yang dibawa meeting. Dua lainnya adalah pegawai senior. Kak Aya dan Bang Hamka.
"Baik, bu."
Bu Zerina menganggukkan kepalanya sebelum berlalu pergi.
"Hebat kamu, Rihana. Selamat ya," seru Winta dan Puspa yang langsung menghampiri Rihana setelah Bu Zerina memasuki ruangannya.
Rihana hanya tersenyum tipis.
Winta dan Puspa membantunya memgumpulkan berkas untuk meeting.
Ngga lama kemudian Bu Zerina keluar dari ruangannya.
"Ayo," ajaknya pada Rihana. Kak Aya dan Bang Hamka sudah berdiri menunggu mereka.
"I iya bu," sahut Rihana agak grogi.
"Tenang. Kamu pasti bisa," kata Winta memberi semangat.
"Yakin, Ri," timpal Puspa dengan raut wajah senang, ikut memberi semangat
Rihana hanya bisa membalasnya dengan senyuman sebelum pergi. Karena Kak Aya sudah menunggunya. Sedangkan Bang Hamka sudah berjalan beriringan dengan Bu Zerina di depan mereka.
Ketika sampai di dalam ruang meeting, sudah terdapat beberapa orang. Rihana terkejut melihat Kak Daiva ada di sana. Perempuan baik hati itu melambaikan tangan dan tersenyum tipis ketika melihatnya.
"Kamu kenal sama Bu Daiva?" tanya Kak Aya heran.
"Bu Daiva?" agak.kaget juga Rihana, dia merasa seperti sudah melakukan kesalahan.
"Dia itu menejer keuangan. Satu level lah dengan Bu Zerina," lanjut Kak Aya lagi.
Ya , ampun.
Rihana jadi tambah ngga enak hati saat mendengarnya. Apalagi Kak Daiva selama ini yang selalu memergokinya abis menangis.
Untung saja dia ngga pernah menjelekkan bosnya, Bu Zerina dan teman temannya. Rihana menghembuskan mafas lega.
"Bu Daiva pernah nolongin saya waktu nyari ruangan kerja, kak," bohong Rihana terpaksa.
"Waktu pertama ke perusahaan, ya," tebak Kak Aya dengan senyumnya.
"Iya," jawab Rihana terpsksa terus berbohong.
Sudah telanjur, gimana lagi.
Ngga lama kemudian Pak Dewan dan putrinya masuk. Fokus mereka langsung pada lengan kanan yang terbelit perban cukup panjang.
"Lengannya kenapa?" tanya Kak Aya pelan. Ada rasa kasian dalam tatap matanya.
Rihana ngga menjawab.
Dan jantungnya berdetak keras ketika melihat Alexander juga memasuki ruangan bersama Herdin.
Mereka pun duduk di samping Aurora. Tepatnya Herdin.
Alexander belum menyadari kalo Rihana juga datang.
Meeting pun digelar. Dengan Kak Daiva dan timnya yang memulainya, membeberkan keuangan untuk proyek besar yang bakal perusahaan mereka dan klien kerjakan.
Rihana jadi kagum melihatnya. Kak Daiva tampak piawai.dalam menjawab pertanyaan.
Akhirnya giliran mereka tiba juga. Bu Zerina, Bang Hamka dam Kak Aya begitu kompeten menjelaskannya. Sesekali Bu Zerina meminta Rihana ikut menjawab pertanyaan. Kelihatan sekali kalo tim cukup mempercayai Rihana.
Untungmya Rihana cukup lancar menjawabnya.
Dewan menatap kagum. Ngga disangkanya, gadis itu sangat pintar. Jika Zerina mempercayainya untuk ikut meeting, bahkan memberinya kesempatan menanggapi pertanyaan klien mereka, artinya dia adalah fresh graduate yang bisa dihandalkan.
Aurora menatap Rihana dengan sinis. Sekarang dia sudah tau dimana gadis ngga yang ngga tau itu berada.
Diajak ikut meeting segala, cemooh Aurora dalam hati. Dan hatinya mencelos ketika melihat tatapan penuh binar dari Alexander.
Tadinya Aurora ingin protes karena Herdin yang duduk di sampingnya. Karena dia menginginkan Alexander. Tapi laki laki itu malah mempersilakan Herdin berada di sampingnya.
Alexander merasa terganggu dengan senggolan Herdin di lengannya yang dilakukan berkali kali. Dia cukup mendengarkan saja tanpa perlu melihat pembicaranya. Perasaannya juga lagi kacau berat.
Tapi saat dia mendengar suara Rihana, sontak dia pun mendongakkan kepala. Mencari asal suara. Ada senyum yang terbit di bibirnya. Baru dia sadar kenapa dari tadi Herdin menyenggolnya tanpa henti. Rupanya Herdin sudah lebih dulu melihatnya.
Walaupun gadis itu ngga mau melihatnya, tapi Alexander sudah cukup senang melihat keberadaannya. Alexander seperti melihat Zira-nya waktu SMA. Zira-nya yang pintar dan jago berdebat.
Begitu meeting selesai, Alexander segera bangkit, hendak menghampiri Rihana
Tapi suara keluhan Aurora sedikit mengganggunya. Dia pun melirik Herdin yang paham artinya.
"Maaf, om. Aku duluan," pamit Alexander ketika melihat Zira-nya sudah hampir meninggalkan ruangan meeting.
"Oh iya," tanggap Dewan yang sedang melihat keadaan putrinya yang tadi mengeluh sakit.
Dewan menatap kecuekan Alexander dengan perasaan heran. Padahal kata putri dan maminya Alexander, malam itu Alexander sangat khawatir dan memperhatikan Auroranya.
Tapi mengapa sekarang tampak cuek?
"Kamu mau kita ke rumah sakit?" tanya Herdin yang sudah mendekat. Herdin merasa kalo Aurora sengaja pura pura sakit karena tau kemana tujuan Alexander akan pergi.
Gadis ini melakukan playing victim.
"Bisa tolong Om, ya, Herdin," sahut Om Dewan.
"Aku udah ngga apa apa," tolak Aurora kecewa karena Alexander tetap pergi.
Bener, kan? batin Herdin tersenyum.