Di tengah malam yang sunyi di Jakarta, kedamaian tiba-tiba pecah oleh suara gemuruh menakutkan dari kejauhan. Dua belas remaja—Aisyah, Delisha, Gathan, Jasmine, Arka, Azzam, Queensha, Abib, Nafisah, Nizam, Seno, dan Masagena—terbangun dari tidur mereka hanya untuk menemukan kota diselimuti kegelapan mencekam. Bayangan-bayangan mengerikan mulai merayap di sudut-sudut jalan; mereka bukan manusia, melainkan zombie kelaparan yang meneror kota dengan keganasan tak terkendali. Bangunan roboh dan jalanan yang dulu damai berubah menjadi medan perang yang menakutkan. Para remaja ini harus menghadapi mimpi buruk hidup mereka, bertarung melawan waktu dan makhluk-makhluk buas untuk bertahan hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 5
Pagi itu, langit tampak mendung, seakan menggantungkan ancaman yang tak terlihat. Udara dingin menyelusup ke tulang, membuat Queensha menggigil, meski ia merasa lebih diguncang oleh kecemasan daripada oleh cuaca. Tangannya gemetar saat memegang ponsel, mencoba menelepon teman-temannya untuk ke sekian kalinya.
"Kenapa nggak ada yang jawab?" gumamnya dengan suara serak, menatap layar ponselnya yang kosong dari notifikasi. Hatinya semakin gelisah. Seno, yang biasanya suka melemparkan lelucon, kini terdiam, tatapannya kosong seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat. Masagena berdiri di dekat jendela, mengintip keluar, matanya menyipit, seolah mencoba memahami keanehan yang menggantung di udara.
Suara angin menderu pelan di luar, mengangkat debu dari jalanan yang sepi. "Apa ini hanya kebetulan atau firasat buruk?" pikir Queensha, hatinya mulai terasa lebih berat. Sesuatu tak beres. Ia bisa merasakannya di perutnya, sensasi mual dan tegang yang tak mau hilang.
“Ini nggak normal,” kata Seno akhirnya, dengan nada pelan yang membuat Queensha menoleh cepat. “Ada yang salah. Kita harus cari tahu apa yang terjadi.”
Ketiga remaja itu akhirnya melangkah keluar dari rumah mereka dengan rasa penasaran dan sedikit ketakutan. Udara pagi terasa berat, dan setiap langkah mereka di jalan yang kosong bergema, memberikan kesan seakan mereka adalah satu-satunya manusia yang tersisa di dunia. Jalanan yang biasa dipenuhi suara bising kendaraan dan orang-orang yang beraktivitas kini terdiam, sepi.
"Ini kaya kota hantu," bisik Masagena, matanya terus waspada, memeriksa setiap sudut. Rasa dingin merayap di kulitnya meski matahari seharusnya sudah mulai naik. Jalan yang biasanya riuh dengan suara klakson mobil dan percakapan pedagang kini terasa seperti tempat asing yang menakutkan.
Queensha melangkah lebih cepat, kepalanya dipenuhi banyak pertanyaan yang tak terjawab. "Kenapa bisa sepi gini? Kemana semua orang? Ini nggak mungkin kebetulan." Ada ketegangan di suaranya, seperti tali yang ditarik terlalu kencang.
Seno, yang selalu tampak tenang, kini menunjukkan sedikit kegelisahan. "Mungkin... ada pengumuman atau sesuatu yang kita lewatkan? Tapi anehnya, kita semua nggak tahu." Dia menggaruk belakang kepalanya, mencoba merasionalisasi keadaan, meskipun hatinya tidak sepenuhnya yakin dengan kata-katanya sendiri.
Tiba-tiba, di kejauhan, dari sudut matanya, Queensha melihat sesuatu yang membuat napasnya tertahan. “Hei... ada yang lihat itu?” suaranya bergetar.
Seno dan Masagena segera mengikuti pandangannya. Di ujung jalan yang kosong, bayangan hitam mulai bergerak perlahan, tapi gerakannya terasa salah—tidak alami. Mereka tampak seperti manusia, tapi tubuh mereka terlalu kaku, langkah mereka tidak sinkron, seolah-olah sedang ditarik oleh benang yang tak terlihat.
Seno, berusaha mengumpulkan keberaniannya, melangkah maju. "Mungkin... itu orang yang tersesat. Atau... hanya orang biasa."
Queensha merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya. "Bukan orang biasa... ada yang salah. Sangat salah..." pikirnya, tetapi kata-kata itu tak keluar dari mulutnya.
Masagena menggigit bibirnya, menatap bayangan-bayangan itu semakin dekat. "Jangan, Seno. Ada yang nggak beres. Aku bisa merasakannya," suaranya bergetar halus.
Saat bayangan itu semakin mendekat, mereka mulai melihat lebih jelas. Gerakan mereka kaku, terhuyung-huyung, namun tiba-tiba berubah menjadi lebih cepat, lebih agresif. Salah satu dari mereka berbalik, tetapi wajahnya... tidak terlihat, seperti tertutup oleh kabut hitam pekat. Ada sesuatu yang menakutkan dalam ketidaktahuan itu—sesuatu yang primal.
Tanpa peringatan, Queensha berteriak, "RUN!"
Suaranya seperti memicu sesuatu dalam diri mereka. Tanpa berpikir lagi, mereka bertiga langsung berlari. Napas mereka terdengar terengah-engah, jantung mereka berdegup begitu cepat hingga hampir memekakkan telinga. Seno yang biasanya kuat kini merasakan lututnya hampir goyah. Masagena yang biasanya tenang, merasakan adrenalin memaksanya berlari lebih cepat dari sebelumnya.
Langkah-langkah berat bayangan itu terdengar di belakang mereka, semakin dekat. "Ini nggak mungkin! Mereka terlalu cepat!" pikiran Seno mulai dipenuhi ketakutan saat ia melirik ke belakang.
Mereka terus berlari melewati jalanan sepi, namun suara langkah berat dari bayangan itu semakin mendekat, menambah beban ketakutan yang mereka rasakan. Bayangan itu semakin mendekat, dengan gerakan yang aneh dan mengancam. Lalu, dari arah lain, salah satu bayangan tiba-tiba muncul di depan mereka, menghadang langkah mereka dengan gerakan yang lebih cepat dari yang mereka duga.
Queensha terhenti sejenak, matanya membesar, napasnya terputus-putus. "Kita terjebak!" jeritnya, suara ketakutan itu menembus keheningan.
Masagena menatap sekeliling dengan panik, otaknya bekerja keras untuk mencari jalan keluar. "Apa yang harus kita lakukan sekarang? Apa kita bisa melarikan diri dari ini? Apa mereka akan membunuh kita?" pikirnya, kepanikan menjalar hingga ke ujung jari-jarinya.
Seno menggertakkan giginya, tangannya mengepal erat. "Kita nggak bisa diam aja di sini." Tapi suaranya tidak yakin, seolah ada sesuatu yang lebih besar dan lebih menakutkan sedang mendekati mereka, sesuatu yang tidak bisa mereka hindari.
****
Di tengah situasi yang mencekam, suara telepon akhirnya tersambung. Aisyah, dengan tangan gemetar, menempelkan ponselnya ke telinga. "Halo? Delisha, kamu denger aku?" Nada suaranya penuh kegelisahan, nyaris berbisik. Ia bisa merasakan keringat dingin di punggungnya, jantungnya berdebar kencang di tengah keheningan yang terasa begitu asing.
Dari seberang, suara Delisha terdengar lemah namun tegas. "Ya, Aisyah... aku dengar. Kamu juga ngalamin hal aneh? Ini... gila banget. Aku nggak bisa jelasin tapi..." Suaranya terputus-putus, tak hanya karena jaringan yang buruk, tetapi juga karena ketakutannya yang jelas terdengar di antara setiap kata.
Beberapa detik kemudian, Gathan, Jasmine, Nizam, dan Azzam juga ikut tersambung dalam percakapan. Jaringan yang tidak stabil membuat suara mereka terdengar terputus-putus, tapi cukup jelas untuk mereka saling berbagi pengalaman.
Gathan menarik napas dalam sebelum berbicara. "Di sini ada yang aneh banget... tadi aku denger suara geraman, kayak... binatang tapi nggak pernah aku dengar sebelumnya." Suaranya terdengar berat, padahal Gathan biasanya selalu tampil sebagai sosok yang berani.
Jasmine menyusul dengan suara kecil, hampir berbisik. "Aku lihat... bayangan dari jendela kamar. Tapi... itu nggak mungkin manusia." Dia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan diri agar tidak terdengar panik. Matanya tak pernah lepas dari jendela di kamarnya, berusaha menangkap gerakan sekecil apa pun di luar sana.
Nizam mencoba tetap tenang meskipun keringat mengalir dari pelipisnya. "Kota ini... sunyi banget, nggak ada suara sama sekali selain gemuruh tadi. Ini bukan cuma mati listrik biasa." Ia menatap keluar jendela, berusaha mencari sumber ketidaknyamanan yang semakin menebal.
Azzam, yang duduk tak jauh dari Nizam, hanya bisa memeluk lututnya, mencoba mencari rasa aman dalam kegelapan. "Aku nggak tahu apa yang terjadi, tapi perasaan ini... kita harus hati-hati."
Suasana percakapan semakin tegang. Aisyah, meskipun suaranya terdengar tegas, wajahnya pucat. Ia menggigit bibirnya, mencoba menenangkan pikirannya. "Kita harus ngumpul. Ada yang nggak beres, dan kita nggak bisa cuma duduk di sini. Kalau terus begini, kita bisa dalam bahaya lebih besar."
Semua terdiam sejenak. Delisha, yang biasanya optimis dan ceria, kini terlihat tegang. "Tapi di mana? Kita nggak tahu situasi di luar gimana. Aku... aku takut," ucapnya, suaranya bergetar. Tangan Delisha gemetar saat dia memegang erat ponselnya, seolah itu adalah satu-satunya hal yang menghubungkannya dengan kenyataan.
Jasmine yang sudah mulai merasa panik, mengeluarkan kekhawatirannya, "Tapi gimana kalau kita keluar dan malah kena sesuatu? Kita nggak tahu apa yang ada di luar sana." Matanya berkedip cepat, sesekali mengintip ke arah jendela kamar. Wajahnya pucat, dan napasnya terasa semakin pendek.
Gathan, yang biasanya tampil kuat, kini hanya bisa terdiam, menekan ponselnya erat-erat. Telinganya menangkap suara aneh di luar. "Aku bisa denger sesuatu dari luar. Suara itu… makin deket. Aku nggak yakin ini cuma binatang biasa." Matanya menyipit, mencoba fokus pada suara di luar, tapi kegelapan yang pekat membuat segalanya terasa semakin tak pasti.
Tiba-tiba, suara gemuruh yang mereka dengar sepanjang malam berubah. Gathan segera berdiri dari tempat duduknya, menatap ke arah pintu depan. "Suara itu... bukan gemuruh biasa. Itu kayak... langkah-langkah berat," katanya dengan nada tercekik, memicu perasaan takut di antara yang lain.
Azzam merangkak mendekati jendela dengan perlahan, mencoba mengintip keluar, tapi dia segera mundur dengan wajah pucat pasi. "Ini bukan hanya suara biasa… apa pun itu, semakin mendekat." Suaranya bergetar, matanya membelalak seperti baru saja melihat sesuatu yang tidak ingin dia percayai.
Aisyah memegang erat telepon di tangannya, detak jantungnya semakin cepat. Darahnya berdesir, firasat buruk mulai menguasainya. "Kita harus cepat mutusin... apa pun yang terjadi, kita nggak bisa diem di sini." Kepalanya dipenuhi kekhawatiran, tapi ia tetap berusaha terdengar tegar di hadapan yang lain.
Delisha, yang biasanya berusaha positif, kini tak bisa menyembunyikan ketegangannya. "Tapi... apa kita benar-benar aman kalau keluar? Bagaimana kalau malah lebih bahaya?" ucapnya, suaranya semakin lemah. Tangannya gemetar, memegang telepon seolah itu adalah satu-satunya penghubungnya dengan kenyataan.
Tiba-tiba, di tengah percakapan mereka, terdengar teriakan keras dari luar rumah Gathan. Suara itu tidak seperti teriakan manusia biasa—lebih mirip dengan jeritan makhluk yang menderita, dipenuhi kemarahan dan ketakutan yang menyayat. Gathan langsung berdiri terpaku, matanya melebar saat suara itu terus terdengar. "Kalian... kalian denger itu?" suaranya serak, penuh ketakutan.
Di sisi lain, Jasmine langsung menutup mulutnya, berusaha menahan jeritan. Tubuhnya gemetar, matanya tak bisa lepas dari jendela kamarnya. "Apa itu... apa itu yang aku lihat tadi?" ucapnya pelan, nyaris tak terdengar.
Setiap langkah berat terdengar semakin jelas. Jantung Nizam berdegup kencang, seolah-olah ada sesuatu yang mendekat, mengancam dari kegelapan di luar. Nafasnya tersengal-sengal, tubuhnya kaku, tidak bisa bergerak. Di dalam kepalanya, pikiran-pikiran menakutkan berputar liar. "Apakah ini akhirnya?"
Mereka semua tahu bahwa apa pun yang ada di luar sana, itu bukan sesuatu yang bisa mereka abaikan. Masing-masing dari mereka kini berhadapan dengan ketakutan yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Malam semakin gelap, dan apa yang mendekat terasa semakin nyata, semakin mengerikan.