Raisha seorang agen rahasia ditugaskan menjaga seorang pegawai kantor bernama Arya dari kemungkinan ancaman pembunuhan Dr. Brain, seorang ilmuwan gila yang terobsesi menguasai negara dan dunia menggunakan alat pengendali pikiran yang terus di upgrade menggunakan energi kecerdasan orang-orang jenius. Temukan keseruan konflik cinta, keluarga, ketegangan dan plot twist mengejutkan dalam novel ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Here Line, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 18 : Ketegangan Markas NIMBIS
Greg berdiri di pusat informasi markas NIMBIS, tatapannya tak lepas dari layar besar yang memantau setiap detil temuan baru. Di sekelilingnya, staf bekerja tanpa henti, mendiskusikan data dan teori sambil mencatat apa yang muncul di layar.
Suasana cemas memenuhi ruangan. Mayat-mayat mulai ditemukan semakin banyak, semuanya dengan tanda yang sama, volume otak mereka menyusut dan di dada mereka tertulis nama “Dr. Brain” dalam huruf hijau yang bercahaya.
Greg memandang lama pada layar, mencoba menemukan jawaban di tengah fenomena mengerikan ini.
“Kami sudah menemukan dua belas kasus lagi dalam beberapa jam. Lokasi penemuannya tersebar luas, Pak,” kata seorang staf laki-laki di sebelahnya. Wajah staf itu tegang, seperti semua orang di ruangan ini. “Dan berdasarkan laporan tim lapangan, pola ini tersebar di lima wilayah berbeda.”
Greg mengangguk, matanya tidak beralih dari laporan yang muncul di layar.
“Lanjutkan koordinasi dengan tim-tim lain. Pastikan kita dapat semua data secepatnya,” perintahnya dengan nada dingin.
Namun, pikirannya sedikit terganggu. Sesekali dia memeriksa ponsel, berharap pesan dari Raisha akan muncul. Meskipun baru beberapa jam Raisha meninggalkan markas, rasanya sudah lama sekali Raisha dalam tugasnya itu dan tak memberi kabar.
Greg tahu bahwa orang yang Raisha lindungi ini sangat penting, bukan hanya untuk NIMBIS dan negara, tetapi juga bagi hidupnya. Ada hubungan pribadi yang dalam antara Greg dan orang ini, meskipun hubungan itu tidak selalu berjalan baik.
Setelah menghela napas panjang, Greg merasakan kelelahan emosional yang tak mudah dia enyahkan.
Akhirnya, Greg memutuskan untuk sejenak meninggalkan ruangan penuh tekanan itu. Menatap layar sepanjang waktu hanya membuat pikirannya semakin kusut, dan Greg sadar dirinya perlu sedikit waktu untuk beristirahat.
“Aku ke ruangan sebentar,” ujarnya pada staf terdekat. Greg meninggalkan pusat informasi, berjalan menuju ruang pribadinya di markas.
Setelah menutup pintu ruangan, Greg duduk di kursi, mengendurkan ketagangan otot dan sarafnya, lalu menyandarkan diri ke sandaran kursi. Di ruangan ini, tak ada dering telepon, tak ada suara ketikan, hanya keheningan yang menyelimuti.
Di mejanya, ada sebuah foto berbingkai yang hampir setiap saat terlihat olehnya. Foto itu menampilkan senyuman hangat istrinya, sosok yang kini hanya tinggal dalam kenangan.
Sepuluh tahun berlalu sejak kecelakaan tragis itu, namun rasa kehilangan masih sering menyusup di setiap waktu. Dan pada saat yang sama rasa bersalah kerap mendera hatinya.
Greg meraih foto itu, menatapnya dalam diam. Ia sering membayangkan, andai istrinya masih di sini, betapa menyenangkannya sekadar menelepon ke rumah, mendengar suaranya yang lembut, mungkin sekadar untuk berbagi keluh kesah atau mendengarkan pendapat sang istri.
Namun, kali ini kesendirian itu terasa lebih berat dari biasanya. Kasus Dr. Brain ini seolah merupakan teka-teki yang tampak tak memiliki ujung, membuatnya semakin terpuruk.
Ia memejamkan mata sejenak, berharap menemukan sedikit ketenangan, namun bayangan-bayangan sederet kasus kematian itu terus menghantui pikirannya. Bahkan di berbagai sudut kota, kasus-kasus aneh semakin sering terjadi.
Dalam beberapa laporan yang dia baca tadi, ada insiden kendaraan yang tiba-tiba berhenti secara bersamaan di tengah jalan, orang-orang yang mematung tanpa sebab dengan ekspresi kosong, bahkan tindakan aneh lainnya yang melampaui nalar.
Greg memijat pelipisnya, mencoba mengurai segala misteri yang menumpuk di dalam kepalanya. Apa yang sedang terjadi di luar sana? Bagaimana bisa banyak orang mengalami hal-hal aneh seperti ini, dan siapa sebenarnya Dr. Brain ini?
Di saat ia bergulat dengan pikirannya sendiri, ponsel di sakunya bergetar. Greg segera meraihnya, namun bukan pesan dari Raisha. Hanya sebuah notifikasi dari timnya di lapangan yang mengonfirmasi jumlah mayat yang bertambah di salah satu lokasi.
Ia menutup pesan itu dan kembali menyandarkan tubuhnya ke kursi, mendongak menatap langit-langit dengan tatapan kosong. Keheningan terasa begitu menusuk.
Tiba-tiba, sebuah suara dari luar menginterupsi pikirannya. Ketukan pelan terdengar di pintu, membuat Greg terhenyak. "Masuk," ujarnya pelan.
Seorang staf masuk dengan wajah panik, “Pak, kami baru saja menerima laporan darurat. Beberapa anggota lapangan mengalami suatu kejadian, Pak,” ia terhenti, mencoba memilih kata yang tepat. “Beberapa anggota kita di lapangan seperti kena pengaruh sesuatu, Pak. Mereka tampak tak terkendali seperti…”
Greg bangkit dari kursinya, menghentikan staf itu dengan tatapan yang penuh keingintahuan.
“Seperti Zombi, Pak, seperti boneka tanpa jiwa yang bergerak tanpa tujuan jelas.”
Detak jantung Greg berdegup kencang. “Anggota kita? Kenapa mereka seperti itu?”
“Tidak tahu, Pak!”
“Baik, saya akan segera kembali, tunggu saja! Kita akan segera mencari solusi untuk semua keanehan ini,” ucap Greg, akhirnya.
Si pelapor kembali.
Greg belum bereaksi. Perlahan, pria separuh baya itu menunduk, pandangannya menatap foto istrinya lagi.
Dalam keheningan itu, tiba-tiba telepon di meja kerjanya berdering, memecah ketegangan yang melingkupi ruangan.
Mengangkat telepon itu, Greg mendengar suara gemetar dari salah satu anggota timnya di lapangan, “Pak, tolong kami Pak, tolong kirimkan bantuan, anggota kami… anggota kami, hilang kendali,”
“Baik, aku sudah menerima laporannya. Sekarang kalian tenang dulu, aku sedang mempersiapkan langkah, dan tetap laporkan perubahan-perubahan yang terjadi,” ucap Greg berusaha setenang mungkin, meski keadaan jauh dari tenang.
Selama bertugas, Greg sudah mengalami berbagai tekanan, berbagai kegentingan. Meski kenyataan kasus seperti ini baru sekarang dihadapi, tubuh dan pikirannya bereaksi mengikuti pengalaman-pengalaman intelejen sebelumnya.
Greg menahan napas, matanya memandang lurus ke arah jendela yang terbuka,
“Tetap fokuskan pikiran, jangan mudah terpengaruh situasi,” pungkas Greg tegas, lalu menutup telepon.
Ia memandang ruangan kecil itu sekali lagi, seakan mengumpulkan kekuatan terakhir dari dalam dirinya. Tanpa membuang waktu, Greg keluar, meninggalkan bayangan kesepian dan kenangan di belakangnya.
Langkahnya cepat, setiap derapnya penuh keyakinan, namun juga dibayangi pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban. Kasus-kasus aneh semakin banyak terjadi. Dia tidak tahu apakah kasus-kasus baru ini terkait dengan Dr. Brain atau tidak.
Greg bergegas menuju ruang komunikasinya, berbagai tampilan laporan baru dari perekembangan kasus bermunculan. Kasus ini semakin rumit dan membingungkan.
Anggotanya di lapangan, yang baru saja melaporkan serangan aneh pada anggota tim lain yang kini kehilangan kesadaran, hampir mirip seperti ratusan orang-orang sipil di berbagai tempat kejadian.
Bagaimana mungkin semuanya terjadi? Dia benar-benar tidak habis pikir. Kepalanya berdenyut, menambah beban kebingungannya.
Akhirnya, di tengah kebingungan itu Greg memutuskan untuk menghubungi satu-satunya orang yang mungkin dapat memberikan kejelasan: Raisha.
Raisha sebagai agen terbaik NIMBIS, Greg selalu mendapatkan solusi darinya. Kali ini pun Greg mengharapkan hal yang sama.
Sebagai kepala, dia percaya bahwa Raisha mungkin sudah mengalami hal yang sama di lapangan dan dia berharap Raisha sudah memikirkan berbagai kemungkinan. Telepon tersambung, dan suara tegas Raisha terdengar di ujung sana.
“Raisha, apa kabar kalian? Bagaimana situasinya?” tanya Greg, mencoba terdengar tenang meskipun hatinya berdebar kencang.
“Pak, kami aman di sini. Arya juga dalam keadaan baik,” jawab Raisha, menyadari kecemasan di balik nada suara Greg.
Greg menghela napas lega. “Syukurlah. Tapi, kasus ini… apa kamu mengalami hal yang sama? Di sini, ada laporan beberapa anggota kita mulai kehilangan kesadaran. Bahkan di lapangan, ada banyak orang sipil yang tatapannya kosong.”
Raisha terdiam sejenak sebelum menjawab. “Saya sudah menduganya, Pak. Di sini juga ada fenomena yang sama. Saya baru saja menyaksikan ratusan orang di acara car-free day mematung, dengan tatapan kosong, dan… mereka mengucapkan nama Dr. Brain.”
Greg terkejut, perasaannya campur aduk antara bingung dan ngeri. Ternyata, kasus orang-orang mematung dan kehilangan kesadaran ini berhubungan juga dengan Dr. Brain. Namun, apa sebenarnya kaitan mereka?
“Raisha, apa maksud semua ini? Apa kamu tahu apa yang sedang terjadi?” tanya Greg, terdengar mendesak.
Raisha menarik napas panjang. “Saya masih menyelidiki, Pak. Tapi saya menduga ada semacam gelombang kendali yang mempengaruhi mereka. Orang-orang di sini pun yang bersama saya sempat merasakan pusing, dan beberapa kali hampir kehilangan kesadaran.”
Greg merasa jantungnya berdetak lebih cepat. “Kalian juga terpengaruh? Bagaimana kalian bisa bertahan?”
“Ya, betul Pak, kami hampir terpengaruh. Kepala terasa pusing dan sempat ada tekanan di sekitar kami,” jawab Raisha dengan nada serius. “Tapi, kami berhasil lolos. Saya tidak sepenuhnya yakin bagaimana, tapi… sepertinya ada sesuatu yang memblok semua pengaruh itu di sekitar kami.”
Greg mengernyit. “Apa maksudmu? Sesuatu yang memblok?”
Raisha ragu sejenak, namun akhirnya ia menjelaskan. “Ini mungkin terdengar aneh, tapi sepertinya kami terblok oleh sebuah benda, dan benda itu adalah kalung yang saya pakai.”
“Kalung? Apakah kalung itu, kalung milikmu yang aku temukan di sekitar markas NIMBIS dan aku berikan tadi kepadamu?”
“Iya, betul sekali, Pak! Kami tidak tahu pasti bagaimana kalung ini memancarkan gelombang pelindung. Namun, kalung ini, berdasarkan alat deteksi, sepertinya memang memancarkan sesuatu yang dapat menahan pengaruh gelombang kendali itu.”
Greg merasakan gelombang keingintahuan sekaligus pencerahan dalam pikirannya. “Kalung? Apakah kalung itu semacam alat rakitan, atau mungkin sesuatu yang lain?”
Raisha terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Kami belum yakin, Pak. Ini benda yang sangat unik dan kami sedang berusaha menyelidiki lebih dalam, mencoba memahami apa sebenarnya kekuatan yang tersembunyi di balik kalung ini.”
“Apa ada kemungkinan kalungmu itu bisa diperbanyak, atau ditiru?”
“Kami sedang mencoba membukanya untuk mempelajarinya, Pak!”
“Mencoba membuka?” tanya Greg.
“Iya Pak, ada semacam kode pembuka pada kalung ini, tapi kami belum bisa memecahkan kodenya,”
Greg menghela napas, “Baiklah, kuharap kalian bisa segera mempelajari kalung itu dan menirunya. Seperti yang kukatakan tadi, di sini ada laporan bahwa anggota-anggota NIMBIS banyak yang terpengaruh, jika kalung itu berhasil ditiru dan diperbanyak ini akan membantu memperlancar operasi,”
“Baik, Pak, mengerti, kami akan berusaha semaksimal mungkin,”
“Sekarang kalian ada di mana?” tanya Greg.
“Kami di jalan, dan… kemungkinan kami sekarang menuju ke NIMBIS,”
“Baiklah, aku tunggu secepatnya!”
Greg menghela napas panjang. Di satu sisi dirinya merasa lega mendengar Raisha dan Arya aman, namun di sisi lain, rasa ingin tahunya semakin mendalam. Siapa sebenarnya Dr. Brain ini? Bagaimana mungkin dia mampu mengendalikan orang-orang dengan gelombang misterius semacam itu? Dan apakah kalung itu satu-satunya solusi bagi mereka?
Tiba-tiba, terdengar suara tembakan di seberang telepon. Greg langsung tersentak, mencengkram gagang telepon lebih erat. “Raisha! Apa yang terjadi? Kenapa ada suara tembakan?”
Di tengah keributan di ujung sana, suara Raisha terdengar tegas. “Seseorang mengejar kami, Pak. Jangan khawatir, saya akan mengatasinya!” jawab Raisha dengan cepat, namun sebelum Greg sempat bertanya lebih lanjut, sambungan telepon terputus, meninggalkan keheningan yang menusuk.
Greg terpaku, menatap layar ponselnya dengan perasaan gelisah. Greg meletakkan ponsel dengan perlahan, menyadari bahwa kini, ketidakpastian semakin menghantui. Dan dalam keheningan itu, ia hanya bisa berharap bahwa Raisha dan Arya baik-baik saja.
TBC
Dukung terus "Raisha & Arya" menghadapi kejahatan Dr. Brain di cerita ini ya teman-teman ! Jangan lupa LIKE, COMMENT, KASIH BINTANG & IKUTI Author, biar Author tambah semangat !!! Nantikan chapter berikutnya, daaah... !!!