Cintanya pada almarhumah ibu membuat dendam tersendiri pada ayah kandungnya membuatnya samam sekali tidak percaya akan adanya cinta. Baginya wanita adalah sosok makhluk yang begitu merepotkan dan patut untuk di singkirkan jauh dalam kehidupannya.
Suatu ketika dirinya bertemu dengan seorang gadis namun sayangnya gadis tersebut adalah kekasih kakaknya. Kakak yang selalu serius dalam segala hal dan kesalah pahaman terjadi hingga akhirnya.........
KONFLIK, Harap SKIP jika tidak biasa dengan KONFLIK.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NaraY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Emosi Pak Danton.
Om Juan sudah menyamankan mobilnya untuk membantu Dilan yang mendadak akan melakukan persalinan darurat. Beliau sibuk disana sini sekedar menenangkan batinnya yang berantakan. Pria tersebut masih nampak gagah meskipun usianya sudah tidak bisa di bilang muda lagi. Bahkan aura pria matang Panglima daerah masih sebanding dengan Papa Hanggar yang seakan jauh dari kata tua.
"Jangan nangis, nanti tenagamu habis. Kalau terasa sakit, tarik nafas yang dalam lalu hembuskan perlahan..!!" Kata Bang Rama.
"Abang tidak tau rasanya, sakit sekali." Dilan terus menggelinjang kesakitan setengah menjerit.
Bang Rama sedikit mengintip dibawah sana. Ia hanya bisa sekilas menggigit bibirnya. Tak terkira segala perasaan campur aduk dalam benaknya.
"Astaghfirullah hal adzim, Ya Allah..!!" Seketika kepala Bang Rama rasanya pening berkunang-kunang.
Entah kenapa dirinya yang terbiasa melihat darah kali ini seakan tidak sanggup merasakan kesakitan Dilan. Bahkan pertempuran hingga menjadi pertumpahan darah pun tak menjadi soal baginya yang memang sudah di didik menjadi seorang petarung.
Mual mengaduk-aduk perutnya. Sungguh kali ini Bang Rama sekuatnya bertahan demi Dilan seorang.
"Kamu jangan diam saja, Ram..!!! Bagaimana si Unyil, sudah kelihatan atau belum?????" Tegur Om Juan.
Bang Rama pun tersadar, ia segera membantu Dilan.
Tanpa banyak bicara Om Juan meminta Bang Rama untuk membersihkan tangan kemudian menggunakan kelengkapan steril kesehatan. Sudah menjadi hal lumrah jika tentara memiliki beberapa kelengkapan steril kesehatan.
"Berani atau tidak??" Tanya Om Juan di samping mobilnya.
"Tolong Om tunggu di luar..!!" Pinta Bang Rama.
Om Juan hanya bisa duduk merenung di sela kegundahan hatinya. Hanya Tuhan yang tau bagaimana perasaannya untuk gadis kecil yang dulu pernah ia selamatkan dari bencana besar.
'Jika benar itu adalah anak saya, sungguh saya akan memberikan apapun yang saya miliki untukmu dan anak kita. Saya benar-benar minta maaf atas segala yang telah terjadi.'
"Ambil nafas panjang lalu tekan yang kuat, dek..!!" Kata Bang Rama mengarahkan Dilan.
"Nggak bisaaa.. Dilan nggak kuat lagi."
"Bisa.. pasti bisa..!! Ada Abang disini sama Dilan..!!" Bujuk Bang Rama.
Dilan terus menggelinjang dan hal ini cukup membuat Bang Rama kelabakan. Terbersit perasaan campur aduk. Marah, kesal, sedih, cemburu dan takut bercampur menjadi satu namun kali ini ada dua nyawa yang harus di selamatkan. Bang Rama pun menekan egonya sekuat mungkin.
"Om...tolong bantu saya pegang Dilan. Saya takut ada robekan parah kalau Dilan tidak bisa tenang."
Segera Om Juan bangkit dan mengambil posisi di belakang Dilan. Apapun keadaannya, ia tidak berani 'melangkahi' Letnan Rama dengan status sebagai suami sah Dilan saat ini.
"Dilan nggak mau.. suruh Bang Juan pergii..!!!!" Jerit Dilan menjadi-jadi, ia terus saja berontak.
"Om.. tolong tekan lebih kuat..!!" Pinta Bang Rama mencemaskan Dilan.
Perasaan Om Juan semakin terasa sakit. Ia memeluk Dilan dengan erat. "Ampuni Abang, dek..!!! Abang minta maaf. Sungguh semua di luar kendali Abang. Semua Abang lakukan demi kamu..!!"
Dada Bang Rama panas meradang, jika saja saat ini mereka sedang tidak berada dalam situasi seperti ini, ia pun pasti akan menghajar Om Juan tanpa ampun.
"Bohong.. Dilan melihat foto Abang bersama Mala."
"Itu semua tidak seperti yang kamu bayangkan." Rasanya Om Juan bingung bagaimana harus menjelaskan pada Dilan tentang semua yang terjadi.
"Lalu kenapa Abang malah menghamili Dilan saat Abang sudah ceraikan Dilan?????"
Om Juan semakin erat memeluk Dilan. Kini pertanyaan tentang anak yang ada di dalam kandungan Dilan terjawab sudah.
Bang Rama terduduk lemas. Perasaannya bagai tersayat sembilu. Hal yang tidak pernah ingin ia dengar akhirnya terlontar juga dari mulut Dilan.
Hening sesaat sampai kemudian Dilan kembali menggelinjang kesakitan. Bang Rama mengesampingkan perasaannya kemudian kembali terfokus pada 'tugasnya'.
Sekuatnya Dilan mengejan dan beberapa detik kemudian sosok kecil mendesak dan akhirnya 'memberontak' keluar.
Semburan hangat membasahi tangan Bang Rama.
"Subhanallah, Allahu Akbar.. Alhamdulillah..!!" Ucap syukur Bang Rama saat 'menerima' bayi mungil.
"Alhamdulillah..!! Terima kasih.. terima kasih sudah memberiku seorang anak." Om Juan kembali memeluk dan menghujani Dilan dengan ciuman.
Bang Rama memilih menangani bayi mungil itu hingga akhirnya terdengar suara tangis kencang bersamaan dengan tetes air matanya. Sesak di dada begitu terasa menghantam.
Segera Bang Rama mengambil kain sarung yang lain lalu membedongnya dengan cepat. Ia tidak ingin bayi kecil itu terkena terpaan udara dinginnya puncak pegunungan kemudian di peluknya sesaat bayi mungil itu.
"Assalamu'alaikum, jagoan." Bisiknya pelan tanpa ingin menatap lebih dalam sosok kecil yang baru saja menghirup udara dunia. Paham pada kenyataan bahwa bayi kecil tersebut bukanlah 'miliknya', Bang Rama pun menyerahkan bayi tersebut pada yang berhak.
Tangis Om Juan semakin menjadi. Sungguh pria tersebut memeluk dan mengusap pipi bayi kecilnya.
"Cuuppp.. sayang..!!!" Om Juan pun membawa bayinya keluar dari mobil.
Tanpa kata, Bang Rama kembali merawat Dilan. Wajahnya datar dan tanpa ekspresi. Terdengar suara adzan yang akhirnya meloloskan air mata Bang Rama.
...
Mendadak Batalyon di hebohkan dengan kelahiran putra pertama Letnan Rama. Dokter dan petugas kesehatan dari kota pun datang untuk merawat istri Danton karena Danton tidak mengijinkan istrinya kembali melanjutkan perjalanan jauh.
Hingga malam tiba akhirnya kediaman Danton mulai terlihat sepi. Hanya terlihat Prada Decky dan Prada Jubair membantu Bang Rama berjaga di kediaman Danton.
"Ram, bisa kita bicara??" Setelah kesemrawutan yang terjadi, baru saat ini Om Juan bisa kembali menyapa Bang Rama sembari menggendong bayi kecilnya yang terus saja rewel.
Sejak tiba di rumah dinasnya, Bang Rama lebih banyak diam menyendiri dan menyibukkan diri di belakang rumah. Urusan sisa persalinan pun Bang Rama yang menyelesaikan meskipun sebenarnya semua bukan sepenuhnya tugasnya.
"Bicara apalagi???? Jagoan sudah lahir. Sehat dan selamat ibu dan bayinya." Jawab Bang Rama sembari mematikan batang rokoknya dan mencuci tangan serta wajahnya yang terlihat sembab. Rasanya ia enggan menanggapi Om Juan. Bahkan berjam-jam dirinya membiarkan Dilan berinteraksi dengan Om Juan tanpa pengawasan darinya.
Sempat terdengar jerit, marah dan tangis namun dirinya berusaha tegak dan kokoh memberikan ruang pada istri dan 'senior' yang juga cukup di segani dalam dunia militer.
Om Juan tau mungkin saat ini perasaan 'juniornya' itu sedang tidak baik-baik saja.
Bang Rama beralih dan hendak kembali masuk ke dalam rumah namun siapa sangka Dilan langsung memeluknya. Bang Rama sengaja melepasnya tapi Dilan tetap memeluknya.
"Bolehkah Dilan jatuh cinta sama Om Rama???" Tanya Dilan.
Bang Rama masih terdiam, rasa di hatinya masih remuk dan panas mendidih.
Dilan mengeratkan pelukannya dan bersandar pada dada bidang Bang Rama. Terdengar suara degub jantungnya yang berdetak kencang tak beraturan, terasa pula nafas yang berhembus kasar, jemari Bang Rama yang mengepal kencang sudah menunjukan besarnya amarah Letnan Rama.
Sungguh berat membujuk Letnan Rama yang dingin dan kakunya luar biasa. Jika mungkin Letnan Rama begitu gengsi dengan perasaannya, namun Dilan tau ada hal yang pasti membuat hati seorang Letnan Rama tergerak.
Dilan mulai menoleh pada Om Juan dan melonggarkan pelukannya.
"Mana tadi yang katanya cinta???? Apa sebegitu saja cintanya??? Hanya bertahan di ujung bibir?????? Apakah hatimu hanya penuh dengan Om Juan saja??????" Suara Bang Rama mulai meninggi.
Kini Dilan benar-benar melepaskan pelukannya karena sedih mendengar nada tinggi Bang Rama.
Kesal dan lelah dengan perasaannya, Bang Rama pun merosot dan memeluk kaki Dilan. "Abang sudah sekuatnya menahan diri, berbulan-bulan untuk tidak menghajarnya hanya karena paham pria itu adalah ayah kandungnya. Sekarang Abang harus bagaimana?? Harus berbuat apa saat kenyataan menegaskan bahwa Abang bukan siapa-siapa. Abang sudah mencoba untuk tidak terbawa perasaan tapi tentangmu dan si kecil sungguh membuat Abang tidak kuat. Nyatanya Abang yang lebih dulu jatuh cinta padamu, lalu bagaimana Abang tidak jatuh cinta sama dia.. setiap hari Abang menyaksikan dia tumbuh bahkan dia lahir di depan mata Abang sendiri."
Om Juan menghela nafas kemudian ikut berjongkok di samping Bang Rama.
"Sungguh sama seperti Papamu, kalau sudah marah.. apinya menyambar kemana-mana. Tapi Om masih salut karena kamu lebih pandai mengatur emosi." Kata Om Juan.
Om Juan menyerahkan bayi kecil yang sedang merengek dalam gendongannya. Refleks Bang Rama menerimanya. Om Juan pun mengusap punggung Bang Rama.
"Dia putramu, putra Letnan Rama. Om sudah ikhlas dan Om percaya, Dilan serta jagoan kecil ini akan menjadi laki-laki yang hebat di tanganmu..!!"
Luluh lantak perasaan Bang Rama ia menumpahkan tangisnya sembari memeluk kaki Dilan dan bayinya.
Om Juan mengajak Bang Rama untuk berdiri, seketika itu juga Bang Rama memeluk Dilan.
.
.
.
.