Menikah secara tiba-tiba dengan Dean membuat Ara memasuki babak baru kehidupannya.
Pernikahan yang awalnya ia kira akan membawanya keluar dari neraka penderitaan, namun, tak disangka ia malah memasuki neraka baru. Neraka yang diciptakan oleh Dean, suaminya yang ternyata sangat membencinya.
Bagaimana kisah mereka selanjutnya? apakah Ara dapat menyelamatkan pernikahannya atau menyerah dengan perlakuan Dean?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalu Unaiii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 22
Sejak kejadian Ara hampir tenggelam di kolam renang, Ara benar-benar menghindar dari Dean, sudah seminggu Dean tidak melihat wajah perempuan itu, bahkan Ara tidak tidur di sofa kamarnya lagi. Perempuan itu tidur di sofa ruang tamu seminggu berturut-turut.
Dean tidak akan menemukan Ara saat ia pulang dari kantor, dan begitu pun saat pagi hari, perempuan itu sudah berangkat sebelum Dean turun untuk sarapan. Meski begitu Ara tetap menjalankan tugasnya, memastikan makanan selalu tersedia di atas meja makan.
Saat ini Dean meradang, laki-laki itu seperti merasa kesepian, meski interaksi mereka tidak teralu banyak, namun ia merindukan perhatian-perhatian kecil yang selalu Ara berikan meski selalu ia abaikan.
Dean menghela nafas panjang, menyandarkan kepalanya di sandaran kursi, ia menatap malas pada setumpuk berkas yang harus segera diperiksa dan ditandatangani.
Tok.. tok.. tok..
“Masuk” Seru Dean mempersilahkan masuk seseorang yang berdiri di balik pintu.
Bima masuk sembari membawa sebuah kotak berwarna coklat dengan pita berwarna senada.
“Pak Dean, saya ingin mengingatkan tentang pesta ulang tahun Tuan Subroto malam ini pukul tujuh, pesanan Pak Dean sudah saya siapkan.”
Kata Bima sambil meletakkan kotak yang tadi dibawanya di atas meja Dean, di samping berkas-berkas yang masih menumpuk.
Hari ini adalah hari ulang tahun mertua Dean, ulang tahun Papa Ara yang ke lima puluh enam tahun. Acara pesta ulang tahun akan di adakan malam ini di kediaman besar keluarga subroto.
“Bagaimana dengan Ara?” tanya Dean sambil membuka kotak dan meneliti isinya lalu ia mengangguk ke arah Bima.
“Bu Ara mengatakan bahwa ia akan berangkat duluan, ia mengatakan bahwa ia akan membantu persiapan pesta,” jelas Bima, sebelumnya ia memang sudah menanyakan kepada Ara apakah perempuan itu akan datang bersama Dean atau tidak dan itulah jawaban Ara.
Dean kembali mengangguk mendengar itu, ia sudah menduganya, Ara memang benar-benar menghindarinya. Ia akan melihat sampai kapan perempuan itu menghindarinya, sekuat apa tekat Ara untuk menjaga jarak dengannya.
***
Persiapan pesta ulang tahun di kediaman subroto saat ini sudah hampir rampung, acara ulang tahun diadakan di taman belakang rumah yang cukup luas. Pesta ulang tahun outdoor ini memakan biaya yang lumayan besar, EO yang disewa pun adalah EO yang biasa menangani acara-acar ulang tahun artis. Meski dilaksanakan di rumah namun berkat dekorasi yang luar biasa bisa menyulap taman belakang yang sebelumnya hanya berisi beberapa tanaman dan gazebo kini dihias dengan sangat indah.
Meja-meja dan kursi disusun dangan sangat rapi, setiap meja dihiasi lilin-lilin juga bunga-bunga segar, terdapat sebuah panggung kecil yang dihiasa dengan lampu-lampu juga bunga-bunga, di setiap sudut terdapat lilin-lilin yang di susun sedemikian rupa.
Pesta ulang tahun ini diadakan di rumah mengingat kondisi Papa Ara yang masih terlihat lemah pasca terkena serangan jantung. Juga untuk menghindari sorotan media yang sebelumnya mengabarkan tentang perusahaan yang akan bangkrut.
Setelah pulang dari kantor Ara langsung menuju ke rumah orang tuanya, seperti yang ia katakan kepada Bima ia akan berangkat duluan untuk membantu persiapan pesta. Meski sebetulnya itu hanya alasan Ara untuk menghindari satu mobil dengan Dean. Ara masih belum sanggup jika harus melihat kembali tatapan kebencian Dean. Jadi, ia memilih menghindar. Meski kadang ia juga rindu, rindu memperhatikan laki-laki itu saat sedang tertidur, rindu melihat laki-laki itu secara diam-diam saat ia sedang makan, rindu menunggu laki-laki itu pulang saat larut malam.
Ara menghela nafas pelan, melihat ke arah jam tangannya, sudah pukul setengan enam sore, ia harus bergegas, jadi ia memutuskan untuk berangkat menggunakan taksi, berhubung ia membawa beberapa barang, ia membawa pakaian pestanya dari rumah, ia akan mandi dan berganti pakaian saat sampai di rumah Papanya, tak lupa juga kotak kado berisi sepatu olah raga, ia ingin Papanya bisa rutin berolah raga agar kembali sehat, untuk itu ia menghadiahkan sepatu olah raga itu.
Tak lama Ara sampai, ia masuk ke dalam rumah mendapati beberapa orang sedang sibuk, tak ada yang menyadari kedatangan Ara, hanya beberapa pekerja yang menyapa Ara sekilas.
Lama Ara celingak-celinguk mencari-cari keberadaan orang tuanya juga kedua kakaknya. Bi wati juga tak terlihat, Ara hendak bertanya pada seorang pekerja namun urung, sebuah suara sudah lebih dulu mengejutkannya.
“apa kau mencariku?”
Ara terkejut mendapat Rio di sampingnya, Rio sepertinya baru pulang dari kantor, terlihat dari pakaian laki-laki itu. Ara tersenyum lalu mendekat menyambut tangan Rio yang terbuka ingin memeluknya.
“kakak terlihat tampan dengan setelan jas itu,” ucap Ara seraya melerai pelukannya di tubuh tinggi Rio.
“benarkah?” tanya Rio sambil membuat tanda V dengan ibu jari dan jari telunjuknya lalu menempelkannya pada dagu, seolah sedang serpose. Ara mengangguk sambil terkekeh melihatnya, kakaknya itu memang kadang-kadang banyak tingkah.
Setelah mengobrol singkat setelahnya keduanya kini bersiap-siap, Ara meminjam kamar mandi dan kamar Rio untuk bersiap-siap karna ternyata kamar yang dulu ia tempati sudah beralih fungsi menjadi gudang, kamarnya memang terletak di bagian belakang dekat dengan kamar asisten rumah tangga.
Ara mematut dirinya di depan cermin, Dresscode malam ini adalah navy blue, gaun panjang dengan bagian lengan terbuka adalah gaun pilihan Ara malam ini, warna kuitnya yang putih cerah sangat cocok dengan warna gaun yang ia pakai.
“wow.... wow... apakah seorang bidadari baru saja turun?” puji Rio yang baru saja memasuki kamar, laki-laki itu juga sudah siap dengan kemeja berwarna sama dengan gaun Ara yang dilapisi jas hitam.
Ara tersipu malu, ia memandang ke arah Rio melalui pantuan cermin di depannya, sedangkan Rio memasang senyum jahil yang hanya ia tunjukkan di depan Ara.
***
Di ruangan lain, di kamar utama yaitu kamar Mama dan Papa Ara, sedang terjadi perdebatan. Sejak tadi sepasang suami-istri tersebut masih belum mencapai kesepakatan tentang hal yang sedang mereka pedebatkan.
“dengar Sabrina,” panggil Subroto kepada istrinya.
“di wasiat tersebut mengatakan bahwa warisan itu harus kita berikan kepada Ara saat ia menginjak usia dua puluh empat tahun, dan sekaranglah waktunya.” Subroto menjelaskan kepada sang istri yang sejak tadi menolak mendengarkan.
Sebuah wasiat berisi warisan sebuah gedung restoran bintang lima, tanah seluas dua hektar, juga rumah seharga tujuh miliar rupiah yang diwariskan oleh Vania mendiang Ibu kandungnya kepada Ara. Wasiat yang sama sekali tak diketahui oleh Ara. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya Vania meminta pihak rumah sakit untuk menghubungi Subroto karna menyadari ia tidak akan bisa bertahan untuk merqwat bayinya. Seseorang harus bisa menggantikannya merawat bayinya yang baru saja ia lahirkan.
Tak lama, Subroto pun datang, setelah mengetahui maksud Vania menghubunginya ia awalnya menolak, karna tentu saja dengan ia membawa bayi itu pulang itu akan menghancurkan rumah tangganya, namun setelah Vania memberikan penawaran ia pun setuju, yaitu Subroto dapat mengelola warisannya dan menggunakannya sebelum Ara berusia dua puluh empat tahun, menurut Vania itu usia ideal untuk Ara bisa menikah. Berhubung waktu itu keluarganya sedang kesulitan ekonomi jadi Subroto dan Sabrina menerima dan bersedia untuk merawat Ara.
Kini Ara sudah menginjak usia dua puluh empat tahun, beberapa hari yang lalu seorang pengacara menghubungi mereka dan mengingatkan tentang wasiat tersebut. Subroto pun beralasan bahwa mereka akan membicarakannya deangan Ara.
“dengar Subroto, aku sudah bekerja keras membesarkan restoran itu hingga sekarang menjadi besar dan berkembang, dan sekarang dengan seenaknya kamu memintaku untuk memberikannya kepada Ara? Jangan mimpi!” Bantah sabrina.
“lalu kau ingin aku bagaimana?!” teriak Subroto frustasi.
“minta Ara menyerahkan warisan itu kepada kita, masalah selesai.” Setelah mengatakan itu Sabrina meninggalkan suaminya yang terlihat berfikir. Sepertinya ia menemukan jalan keluar.