"Tidak perlu Lautan dalam upaya menenggelamkanku. Cukup matamu."
-
Alice, gadis cantik dari keluarga kaya. Hidup dibawah bayang-bayang kakaknya. Tinggal di mansion mewah yang lebih terasa seperti sangkar emas.
Ia bahkan tidak bisa mengatakan apa yang benar-benar diinginkannya.
Bertanya-tanya kapankah kehidupan sesungguhnya dimulai?
Kehidupannya mulai berubah saat ia diam-diam menggantikan kakaknya disebuah kencan buta.
Ayo baca "Mind-blowing" by Nona Lavenderoof.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lavenderoof, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 Tidak Enak Badan
Pelayan itu menunduk sopan dan menjawab dengan hormat, "Tuan dan Nyonya pergi untuk urusan pekerjaan, Nona. Mereka mungkin akan pulang larut malam."
Cindy segera menarik Alice menjauh dari pelayan tersebut, dan mereka berjalan kembali ke kamar Cindy. Sesampainya di dalam kamar, Cindy menutup pintu dengan keras.
"Daddy dan Mommy pasti tidak akan pulang sebentar," katanya dengan nada yang agak tajam. "Ayo, istirahat dulu. Besok kita baru cari tahu lebih banyak."
Alice menatap kakaknya, masih terlihat cemas. "Tapi Cindy... aku tidak akan bisa tidur, aku merasa tidak enak."
Cindy hanya mengangkat bahu dengan santai. "Kita tidak bisa mendengarkan penjelasan mereka sekarang. Istirahat dulu saja. Besok kita urus ini." Cindy menunjuk ranjang kosong di sampingnya, tapi Alice menolak.
"Aku tidur di kamarku malam ini," jawab Alice pelan.
Cindy menatap adiknya dengan pandangan sedikit tajam, "Kau yakin?" Alice mengangguk.
"Terserah kamu," jawabnya datar, dan membiarkan adiknya keluar dari kamar.
Alice berjalan cepat ke kamarnya, namun rasa cemas yang terus menggerogoti hatinya membuat setiap langkah terasa lebih berat.
Ketika ia melangkah masuk, ruangan yang biasanya menenangkan kini terasa mencekik. Alice mengerjap, mencoba menenangkan dirinya, tapi tubuhnya tidak bisa menipu.
Dia meraih pegangan pintu kamar, perlahan menutupnya di belakangnya, namun tubuhnya mulai bergetar. Tanpa bisa menahan lagi, Alice berlari menuju walk-in closet, melepaskan sepatunya, dan langsung menuju wastafel yang ada di sudut kamar mandi.
Begitu mencapai wastafel, perasaan mual itu begitu kuat. Alice menundukkan kepala dan tubuhnya mulai gemetar. Ia berusaha untuk menahan, namun tubuhnya menolak.
Dengan satu dorongan kuat, seluruh isi perutnya keluar begitu saja, terbuang dengan keras, seolah ingin mengeluarkan semua kecemasan yang membebaninya.
Alice terbatuk kecil, mulutnya terasa pahit, tubuhnya lemas. Wajahnya pucat dan keringat dingin mulai mengalir di dahi.
Dengan napas yang berat, ia menyandarkan diri pada wastafel, berusaha menenangkan diri sejenak, mencoba meredakan rasa pusing yang menyelimutinya.
"Ya Tuhan..." gumam Alice dengan suara yang hampir tak terdengar, sambil memegangi perutnya. Matanya terpejam, tubuhnya terasa lemah, dan ia mulai merasakan perasaan cemas yang semakin mendalam.
Dia mencoba mengatur napas, namun pikirannya terus berputar tentang apa yang baru saja terjadi. Pria itu dan apa yang Daddy katakan barusan. Semua itu terlalu berat untuk dipahami, apalagi setelah tadi, di makan malam, saat Daddy memberitahukan tentang niat pria itu.
Dengan tubuh yang lemah, Alice berbalik dan duduk di lantai kamar mandi. Ia mengumpulkan sedikit kekuatan untuk bangkit, mencoba untuk mengeringkan wajahnya yang basah oleh keringat.
Namun, pikirannya tetap penuh kegelisahan, dan perasaan aneh di dalam perutnya seakan tak bisa dihentikan. "Apa yang harus aku lakukan?" bisiknya pelan pada dirinya sendiri, sementara suara detak jantungnya terasa berdebar keras di telinga.
*
*
Keesokan Harinya...
Cindy mengetuk pintu kamar Alice, tapi tidak menunggu lama langsung membukanya, seperti yang biasa ia lakukan. Alice terlihat masih meringkuk di tempat tidur, wajahnya pucat namun tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya.
“Al, come on. Kita harus segera berangkat. Daddy ingin aku menangani sesuatu yang penting di kantor.” Ucap Cindy dengan penampilan rapi dan elegan.
Alice menggeleng kecil tanpa menatap Cindy. “Maaf, Cindy. Aku… kurasa aku tidak bisa datang. Aku sedang tidak enak badan.”
Cindy memerhatikan Alice dengan lebih cermat. Raut wajah adiknya memang terlihat lesu, tetapi dia tahu ini bukan hanya karena sakit fisik. Cindy duduk di tepi ranjang, lalu berbicara dengan nada yang lebih hangat.
“Al, aku tau kau tidak sakit. Kau pasti hanya khawatir dengan apa yang terjadi tadi malam.”
Alice menoleh perlahan, matanya menunjukkan rasa bersalah. “Bukan itu maksudku… aku hanya… tidak ingin menghadapi mereka. Bagaimana jika aku tidak bisa menahan sikap yang justru membuat mereka mencurigaiku?”
Cindy tersenyum kecil lalu serius, “Relax, Al. Aku akan mengurusnya. Lagipula, ini adalah urusanku dengan Daddy dan Mommy. Kau tahu bagaimana mereka. Semua ada waktunya. Aku akan bicara dengan mereka saat waktunya tepat.”
Alice akhirnya mengangguk, merasa sedikit lega.
*
Cindy tiba di kantor dengan aura tegasnya yang mendominasi. Seperti biasa, kedatangannya memicu ketegangan di antara karyawan yang langsung sibuk menyempurnakan pekerjaan mereka.
Jika hari itu Cindy datang, maka hari keberuntungan para karyawan adalah tidak bertemu dengan Nona Muda yang selalu mencari letak kesalahan mereka.
Karyawan 1 berbisik, “Nona Muda datang! Dia ada di sini! Periksa lagi laporannya. Kau tahu betapa tajamnya dia.”
ig : lavenderoof