"Dewa Penghancur"
Kisah ini bermula dari seorang pemuda bernama Zhi Hao, yang sepanjang hidupnya selalu menjadi korban penghinaan dan pelecehan. Hidup di pinggiran masyarakat, Zhi Hao dianggap rendah—baik oleh keluarganya sendiri, lingkungan, maupun rekan-rekan sejawat. Setiap harinya, ia menanggung perlakuan kasar dan direndahkan hingga tubuh dan jiwanya lelah. Semua impian dan harga dirinya hancur, meninggalkan kehampaan mendalam.
Namun, dalam keputusasaan itu, lahir tekad baru. Bukan lagi untuk bertahan atau mencari penerimaan, melainkan untuk membalas dendam dan menghancurkan siapa saja yang pernah merendahkannya. Zhi Hao bertekad meninggalkan semua ketidakberdayaannya dan bersumpah: ia tak akan lagi menjadi orang terhina. Dalam pencarian kekuatan ini, ia menemukan cara untuk mengubah dirinya—tidak hanya dalam penampilan, tetapi juga dalam jiwa dan sikap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jajajuba, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34: Rong An
Sadar akan bahaya, Elder Hang mencoba memutar tubuhnya. Namun, jarak terlalu dekat. Waktu terasa melambat, dan ia tahu bahwa menghindar sepenuhnya nyaris mustahil.
"Elder Hang!" Teriak Rong An dari belakang kereta, wajahnya pucat karena khawatir. "Di belakangmu! Jangan lengah!" Suaranya yang penuh kegelisahan terdengar, tetapi jarak dan waktu tak berpihak. Meski peringatan itu sampai ke telinganya, tubuh Elder Hang tidak akan cukup cepat bereaksi.
Cakar Harimau Api bergerak seperti bayangan kematian. Namun, sebelum cakar itu sempat menghantam—
Slash!
Slash!
Dua kilatan pedang tiba-tiba melesat dari arah lain, menghantam tubuh Harimau Api. Tebasan itu begitu tajam hingga membelah tubuh binatang buas itu menjadi dua bagian, dan raungan kematian mengisi udara.
Elder Hang tertegun, berdiri mematung sejenak. Napasnya tertahan, nyaris tak percaya ia selamat dari serangan maut itu. Matanya segera mencari tahu siapa yang menyelamatkannya.
Dari bayangan pepohonan, seorang pemuda melangkah keluar dengan tenang. Wajahnya tampak muda, namun sorot matanya tajam seperti elang. Dengan gerakan ringan tapi penuh presisi, ia mengayunkan pedangnya sekali lagi ke arah Harimau Api di sisi kanan.
"Teknik Pedang Kilat – Hujan Petir," ucap pemuda itu pelan. Dalam sekejap, kilatan energi petir menyelimuti pedangnya, dan tebasan berikutnya menghantam Harimau Api kedua. Binatang itu bahkan tak sempat mengeluarkan raungan terakhir sebelum tubuhnya terbelah.
Elder Hang menghela napas lega, tetapi masih terlihat waspada. "Siapa kau, anak muda? Dan kenapa berada di tempat ini?"
Pemuda itu memasukkan pedangnya kembali ke sarung, lalu menatap Elder Hang dengan tenang. "Aku hanya seorang pengelana. Tapi sepertinya kita memiliki musuh yang sama. Tidak perlu berterima kasih, menyelamatkan nyawa hanyalah bagian dari perjalananku."
Rong An, yang turun dari kereta, memandang pemuda itu dengan penasaran. "Siapa namamu?" tanyanya.
Pemuda itu tersenyum tipis. "Kalian bisa memanggilku Zhi Hao."
Setelah menyebutkan namanya, Zhi Hao berbalik dan melangkah pergi tanpa kata lagi. Senyum tipis masih membingkai wajahnya saat ia menghilang, seperti bayangan yang ditiup angin. Keheningan kembali menyelimuti tempat itu, hanya tersisa desiran angin lembut dan sisa energi pertempuran.
Elder Hang, yang masih berdiri waspada, segera mengalihkan perhatiannya. "Nona, kita harus segera pergi. Saya khawatir binatang buas lainnya akan mencium bau darah dan datang menyerang. Kita sudah dekat dengan Sekte Fajar Senja," katanya, memecah lamunan Rong An yang masih menatap arah Zhi Hao menghilang.
Rong An terhenyak dari pikirannya. "Baiklah, Elder Hang," jawabnya singkat. Dengan anggun, dia kembali naik ke dalam kereta kuda.
Saat duduk, ia menarik napas dalam dan menutup tirai kereta dengan cepat. Namun, senyum lembut muncul di wajahnya. "Dia begitu tampan dan mempesona. Apa yang terjadi padaku?" gumamnya pelan. Pikirannya terus memutar senyum Zhi Hao, dan pipinya sedikit memerah. Syukurlah tirai sudah tertutup, sehingga Elder Hang tidak melihat ekspresi memalukannya.
Di luar, dua pengawal yang selesai memungut Core dari Harimau Api tampak puas. Salah satu dari mereka mengangkat Core berwarna merah menyala itu, memperhatikannya dengan saksama. "Lumayan, ini bisa dijual dengan harga tinggi," katanya, menyeringai.
"Setidaknya tidak sia-sia kita melawan binatang buas ini," jawab pengawal lainnya sambil memasukkan Core ke kantong khusus.
Sementara itu, di dalam Hutan.
Zhi Hao terus berlari melintasi hutan, tubuhnya lincah melewati rintangan pohon dan bebatuan. Langkahnya mantap, namun pikirannya penuh dengan rasa frustrasi.
"Aku telah berlatih sebulan penuh di hutan ini," gumamnya dengan nada kesal. "Aku sudah membunuh ratusan binatang buas level 4, tapi aku masih belum bergerak dari Ranah Bintang Empat."
Wajahnya sedikit tegang, tapi matanya tetap fokus. Dia tahu, peningkatan kekuatan bukan hanya soal jumlah pertarungan, tetapi juga pemahaman mendalam tentang energi dan teknik. "Mungkin ini bukan soal jumlah, tapi soal momen pencerahan."
Tak lama, Zhi Hao tiba di gerbang Kota Linggau. Kota itu dipenuhi aktivitas, suara pedagang yang menjajakan dagangan, dan langkah orang-orang yang sibuk berlalu lalang. Begitu Zhi Hao masuk, banyak mata tertuju padanya. Namun, tidak seperti sebelumnya, tatapan-tatapan itu kini penuh dengan kekaguman dan rasa hormat.
"Dia kembali," bisik seseorang.
"Pemuda itu? Bukankah dia yang menghancurkan Klan Xiao sendirian?" kata yang lain dengan nada kagum.
Sebulan yang lalu, Zhi Hao adalah orang biasa yang diremehkan. Tetapi sekarang, dia adalah sosok yang ditakuti dan dihormati setelah berhasil menghancurkan klan yang terkenal kejam dan kuat.
Zhi Hao tidak memedulikan bisikan-bisikan itu. Matanya lurus menatap ke depan.
Di sebuah sudut rumah makan Acil Lamak, suasana ramai oleh obrolan pengunjung yang menikmati hidangan khas daerah. Di salah satu meja, Zhi Hao duduk dengan santai, tetapi matanya penuh ketegasan. Seorang pria berpakaian serba hitam, utusan dari Klan Zhi, menghampirinya dan membungkuk hormat.
"Bagaimana? Apakah kamu menemukan informasi tentang keberadaan Xiao Bai?" tanya Zhi Hao langsung, tanpa basa-basi.
Pria itu mengangguk. "Sudah, Tuan Muda. Xiao Bai sekarang berada di Sekte Lingyun."
Mendengar itu, Zhi Hao mengetukkan jarinya pelan di meja. "Sekte Lingyun, ya?" gumamnya. "Aku tidak bisa menyentuhnya kalau dia masih berada di sana. Apakah ada yang mengangkatnya sebagai murid?"
"Betul, Tuan Muda," jawab pria itu. "Saat ini dia di bawah bimbingan Tetua Nong, salah satu tetua terkuat di sekte tersebut."
Zhi Hao mengerutkan alisnya. "Tetua Nong? Kenapa orang sekuat itu tertarik pada Xiao Bai?"
"Saya mendengar kabar bahwa Xiao Bai memiliki salah satu keistimewaan langka," jelas pria itu. "Dia memiliki Tulang Petir."
"Tulang Petir?" Zhi Hao menatap pria itu dengan rasa penasaran. "Apa itu?"
"Konon, seseorang dengan keistimewaan ini memiliki hubungan khusus dengan elemen petir. Kultivasi mereka dalam elemen ini akan meningkat pesat, dan mereka dapat mengendalikan petir dengan lebih baik dibanding orang biasa."
Mata Zhi Hao berkilat saat mendengar penjelasan itu. "Tulang Petir, ya?" gumamnya, lalu tersenyum tipis. "Bukankah itu akan sangat cocok untukku? Aku sudah menguasai Teknik Pedang Kilat, elemen petir adalah fondasi dari teknikku."
Pria itu tampak ragu sejenak. "Tapi, Tuan Muda, Tulang Petir adalah bagian dari tubuh Xiao Bai. Untuk memilikinya, Anda harus—"
Zhi Hao mengangkat tangan, menghentikan pria itu. "Aku tahu," katanya dingin. "Aku tidak berniat gegabah. Tapi jika kesempatan muncul, aku akan mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku."
Pria itu mengangguk. "Saya akan terus memantau pergerakan Xiao Bai dan Sekte Lingyun."
"Baik," Zhi Hao menjawab singkat. "Kembali dan teruskan pengawasanmu."
Pria itu membungkuk sekali lagi, lalu pergi meninggalkan rumah makan. Zhi Hao duduk sejenak, menatap kosong ke arah cawan teh di depannya.
"Tulang Petir... Jika aku memilikinya, tak ada yang bisa menghentikanku," pikirnya dalam hati. Bibirnya melengkung membentuk senyum tipis, penuh ambisi dan determinasi.