Hubungan Inara dan Artha harus kandas karena perselingkuhan Artha. Padahal mereka sudah mau menikah.
Malu pernikahan batal, Inara terpaksa menyetujui perjanjian dengan Argha, kakak Artha demi untuk membalas Artha dan tidak mempermalukan orang tuanya.
Inara kalah dengan perasaannya. Ia jatuh cinta pada suaminya yang misterius. Hanya saja, dendam Argha membuat Inara merasa rendah diri. Dan godaan Artha selalu datang pada mereka.
Akankah Argha dan Inara bisa bersatu, atau masa lalu Argha akan terus membuat jarak di antara mereka dan memilih berpisah demi kebaikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Layli Dinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 5 Hubungan Saling Menguntungkan
Kedatangan Inara bersama Argha menjadi pusat perhatian. Terlebih, Argha terlihat perhatian dengan menuntun gadis itu. Semua karyawan tampak terbengong, terlebih melihat senyum manis Argha untuk Inara.
Bukannya bangga, Inara justru merasa risi dengan dengan tatapan mereka. Bahkan, dengan melihat mereka saling berbisik. Namun, ucapan Argha saat sarapan tadi membuatnya kembali menguatkan.
Inara duduk di bangkunya, beberapa karyawan lain saling berbisik. Namun, ia masih fokus dengan Argha yang bersamanya.
“Saya harus ke ruangan saya. Kamu tidak apa-apa ditinggal?” tanya Argha dengan lembut, tangannya bahkan mengelus kepala Inara.
‘Ah, kesempatan sekali dia. Ternyata hubungan ini hanya sekadar hubungan saling menguntungkan saja. Mungkin aku hanya jadi alibi menutupi kekurangannya, dan aku … aku bisa balas dendam,’ batin Inara nelangsa. Merasa sangat disayangkan, pria setampan Argha sama sekali tidak tertarik dengan wanita cantik.
“Iya,” jawab Inara pada akhirnya, senyum manis ia tunjukkan, membuat Argha berdeham karena tiba-tiba merasa haus.
Argha berusaha tersenyum, meski terlihat sangat kaku. Inara menahan senyuman. Pria sedingin Argha memang sangat jarang tersenyum. Ya, itu sebabnya ia menganggap, jika Argha bukanlah manusia, melainkan robot dan sejenisnya. Hanya saja, pria itu suka sekali marah-marah.
Setelah Argha pergi, semua karyawan semakin mencolok dengan bergunjing. Mengomentari kedekatan Inara dengan Argha. Tak hanya itu saja, mereka semua juga membicarakan mengenai hubungan Inara dan Artha.
Inara hanya bisa menunduk. Andai ia punya kuasa untuk menjelaskan semua ini? Namun, ia kembali teringat akan ucapan Argha kemarin itu. Ia tak memiliki kewajiban untuk menjelaskan.
“Inara, ke ruangan saya sekarang!”
Inara mengangkat wajahnya. Artha!
Kening Artha mengkerut, mengamati Inara yang tampak berbeda. Detik berikutnya ia berdeham, hampir saja tersendak air ludahnya sendiri. Gadis yang memutuskan hubungannya kemarin, justru terlihat glow up. Artha grogi bukan main.
“Baik, Pak,” jawab Inara datar. Tak seperti biasanya yang full senyum. Kelakuan mereka membuat semuanya semakin berspekulasi yang tidak-tidak. Di kantor ini, selalu menjadi bahan gunjingan. Bodo amat, yang terpenting Inara tidak melakukan hal kriminal, kan?
Inara kesulitan menuju ke ruangan Artha, kakinya terasa sangat sakit. Mulutnya terus mendesis lirih menuju ke ruangan Artha. Ia juga menghiraukan gunjingan lirih dari karyawan lain.
Tok tok tok
“Masuk!”
Inara membuka pintunya perlahan. Ekspresinya masih tetap jutek, mengingat ia sangat membenci Artha mengenai kejadian kemarin. Namun, berbeda dengan lelaki itu. Yang justru menatapnya dengan wajah memelas. Jujur, Inara muak melihat itu. Biasanya ia akan luluh, hanya saja kali ini ia jijik dengan Artha.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya Inara dengan dingin. Dinginnya itu mampu menusuk ke jantung Artha. Pria tampan dengan mata sipit dan berambut sedikit kecoklatan itu menghampirinya.
“Inara. Maaf, kemarin aku sedikit mabuk, aku—“
“Tidak masalah, Pak. Bukankah ucapan orang mabuk itu jujur? Saya berterima kasih, Bapak sudah mengatakan semuanya.”
Artha menyugar rambutnya kasar. Ia mencoba meraih tangan Inara, hanya saja gadis itu buru-buru menepisnya. “Nara, aku sungguh sedang mabuk. Diah yang menggodaku, dia—“
“Pak, kita sudah putus. Kalau tidak ada pekerjaan yang bisa saya kerjakan, saya akan kembali ke meja saya. Sepertinya tidak etis membicarakan masalah pribadi di kantor.”
Artha menahan tangan Inara, sedikit menariknya, membuat gadis itu mendesis kesakitan. Tatapan Artha langsung tertuju pada kaki Inara yang diperban.
“Kamu kenapa?” tanya Artha terlihat khawatir.
“Saya hanya berlari, kaya orang gila karena melihat penghianatan, mana mesra sekali. Kaya serial India. Oh, bodohnya saya, sampai jatuh dan terserempet mobi,” cebik Inara sengaja menyindir Artha dengan dramatis.
“Ra. Kita selesaikan dulu masalah kita.” Artha benar-benar enggan melepaskan tangan Inara. Wajahnya menunjukkan penyesalan yang cukup dalam. Inara sendiri menarik napas panjang, tetap dingin seperti awal masuk ke ruangannya. “Ra. Kumohon. Kita hampir menikah, kita tidak mungkin membatalkannya, kan. Ini cincin kamu.” Artha mencoba merogoh saku jasnya, namun Inara melepaskan tangan Artha begitu saja.
“Saya memang tidak batal nikah, Pak. Tapi bukan dengan Anda!”
Mata Artha melebar sempurna. Dengan serius menanggapi lelucon ini. Ralat, Artha yang menganggap ini sebuah lelucon. “Maksudmu? Kamu menikah dengan orang lain?”
Inara mengangguk. Tampak penuh kepuasan dalam wajahnya. Sepertinya ia berhasil membalas Artha, hanya saja, kejutan besar belum ia berikan. Ia sudah tak sabar melihat reaksi mantan kekasihnya itu.
“Si-siapa pria itu? Kamu sengaja menyewa pria lain—“
“Jaga bicara Anda, Pak! Saya tidak punya cukup uang untuk membaar orang. Bukankah saya menarik? Saya pikir, lelaki lain tidak akan menolak saya.”
Artha menggelengkan kepalanya. Ia masih tak percaya, jika Inara secepat itu bisa move on. Apa sebenarnya gadis itu memiliki pria simpanan dan berpura-pura menjadi gadis polos di depannya? Kalaupun iya, lantas apa bedanya dengannya. Oke, Artha akui, kalau itu memang benar, ia tak akan mempermasalahkan semua itu. Jujur saja, ia masih mencintai Inara. Meski ia kesal, karena Inara tidak bisa memenuhi kebutuhan biologisnya dengan dalih masih belum sah.
“Siapa pria itu?”
“Aku!” sahut Argha yang kini berdiri di ambang pintu. Wajah tampannya itu kini tersenyum tipis. Tak hanya Artha yang terkejut dengan kehadiran Argha, pun dengan Inara. Gadis itu bahkan sampai gelagapan sendiri.
“Kamu … gak, gak mungkin! Kamu bukannya—“
“Gay? Kamu, kan yang nyebar gossip kalau aku penyuka sesama jenis?” cibir Argha yang kemudian mendekat dan memeluk pinggang Inara mesra. Hal itu membuat mata Artha mendelik sempurna. “Jangan asal nuduh, Tha!”
“Aku gak nuduh kamu, ya, Kak! Diana yang bilang kalau kamu penyuka sesama jenis. aku lihat, waktu itu kamu dan Diana waktu itu..”
Ingatan Argha langsung kembali pada saat ia Dia berkunjung di kantornya. Gadis itu menyukainya sejak lama, hanya saja, Argha selalu mengabaikan Diana.
‘Argha, aku sangat mencintai kamu, kenapa kamu tidak pernah meresponnya, kamu tidak bisa tergoda denganku. Padahal, banyak lelaki yang menggilaiku. Apa jangan-jangan kamu penyuka sesama jenis?’ raung Diana yang telah gagal mencuri ciuman Argha.
“Jangan bertindak menjadi wanita murahan, Diana.”
“Ga, jelasin sama aku, apa kurangnya aku? Aku akan perbaiki, ayolah, kita nikah sa—“
“Pergilah! Aku tidak butuh! Kita sudah cukup berteman dengan baik. Jangan rusak semuanya.”
“Aku benar-benar kecewa sama kamu, Ga!”
Argha ternganga. Ia diam selama ini disebut penyuka sesama jenis, bukan berarti membenarkan, kan? Oh, ternyata ini akar dari semuanya. Tidak. Ini tidak boleh berlangsung lama. Beruntung ia bisa masuk dalam kesempatan ini. Menyelamatkan nama baiknya dengan menikahi Inara.
“Jangan menggembor-gemborkan berita yang tidak valid, atau kamu akan mendapatkan akibatnya! Sekarang, kamu lihat sendiri, kan? Aku sebentar lagi nikah?”
Artha nengepalkan tangannya. Hanya saja, ia tak bisa berbuat apapun. Ia selalu kalah kalau dengan Argha, selain pintar, Argha juga lebih tampan darinya. Bahkan, Argha selalu mendapatkan pembelaan dari ibu kandungnya sendiri.
“Apa kamu wanita yang tidak tahu diri, Inara? Kamu mau menikah dengan kakakku sendiri? Apa tidak ada lelaki lain yang bisa kamu nikahi?” desis Artha.
Inara memberanikan diri untuk memeluk lengan Argha. Ia harus melakukan ini, supaya semua perjuangannya tidak sia-sia.
“Kurasa, Pak Argha jauh lebih baik dari pada kamu. Setidaknya, dia tidak suka main celap-celup sana-sini. Selain masa depanku terjamin, aku juga tidak akan makan hati setiap hari. Mencintai dia, bukalah hal yang sulit, bukan?” Inara tak menyangka, kalau kata-kata ini keluar begitu saja dari bibirnya. Ia ingin mengutuk dirinya sendiri yang bahkan berperan layangnya seorang jalang yang kehausan.
Dan lihatlah, wajah tampan Argha kini tampak menyeringai. Membuat Artha semakin frustrasi.
“Arrrgh!” Artha meninju udara, lantas menyambar ponsel yang tergeletak di meja, lantas pergi begitu saja.