5 hari sebelum aku koma, ada sesuatu yang janggal telah terjadi, aneh nya aku tidak ingat apa pun.
__________________
"Celine, kau baik-baik saja?"
"Dia hilang ingatan!"
"Kasian, dia sangat depresi."
"Dia sering berhalusinasi."
__________________
Aku mendengar mereka berbicara tentang ku, sebenarnya apa yang terjadi? Dan aneh nya setelah aku bangun dari koma ku, banyak kejadian aneh yang membuat ku bergidik ketakutan.
Makhluk tak kasat mata itu muncul di sekitar ku, apa yang ia inginkan dari ku?
Mengapa makhluk itu melindungi ku?
Apakah ini ada hubungan nya dengan pria bermantel coklat yang ada di foto ku?
Aku harus menguak misteri ini!
___________________
Genre : Horror/Misteri, Romance
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maylani NR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Satu hari setelah kejadian itu
Di tengah gelapnya gudang tua yang hanya diterangi oleh lampu gantung yang berayun pelan, suara langkah sepatu berderap di lantai beton.
Tap ...tap ...tap!
Devid melangkah mendekat dengan penuh keyakinan, diikuti oleh beberapa bodyguard yang berdiri dibelakang nya. Matanya tajam menatap Sovia, yang duduk terikat pada kursi dengan tangan dan kaki yang terbungkus tali tebal.
"Sovia ... Sovia," ucap Devid sambil mendekat. Suaranya terdengar dingin, hampir seperti bisikan maut. "Andai saja kamu tidak mencari masalah denganku, mungkin kamu tidak akan berada di sini."
Sovia hanya bisa memandangnya dengan mata yang penuh amarah. Bibirnya tertutup rapat oleh lakban abu-abu yang melekat kuat. Ia mencoba memberontak, namun sia-sia.
Devid mendekat, membungkuk di depan Sovia, dan dengan satu gerakan cepat, dia menarik lakban yang menutupi mulut Sovia. Perempuan berambut perak itu tersentak, bibirnya terasa perih, namun ia tetap menatap Devid dengan nyala kebencian di matanya.
"Apa saja yang kau ceritakan pada Celine?" tanya Devid langsung, namun Sovia hanya diam.
Devid mendengus, menyeringai sinis. "Sejak Celine hilang ingatan, aku merasa sangat senang. Akhirnya, peluangku untuk bersama dengannya terbuka lebar." Dia meraih dagu Sovia, memaksa perempuan itu menatapnya langsung. "Tapi karena ulahmu, sekarang ingatan Celine mulai kembali. Dasar pengganggu!"
Tangannya melepaskan dagu Sovia dengan kasar. Kursi yang diduduki Sovia bergeser sedikit akibat dorongan itu, namun ia tetap menegakkan tubuhnya.
"Ingatan Celine kembali bukan karena aku," jawab Sovia dengan suara tegas. "Memang ingatannya mulai pulih secara perlahan, dengan sendirinya."
"Itu tidak mungkin," Devid membantah dengan cepat, ekspresinya mengeras.
"Kenapa tidak mungkin?" Sovia menantangnya, meskipun dalam keadaan terikat.
Devid berdiri, melangkah perlahan mengelilingi Sovia seperti pemangsa yang mengitari mangsanya. "Sejak Celine mengalami kecelakaan dan hilang ingatan, aku membayar Dokter yang merawatnya dengan uang yang tidak sedikit."
Sovia terbelalak, terkejut mendengar pengakuan itu. "Apa maksudmu?"
"Aku meminta Dokter itu untuk memberikan resep yang salah," lanjut Devid, dengan nada puas. "Obat-obatan itu memperlambat proses penyembuhan otaknya. Dengan kata lain, seharusnya Celine tidak akan pernah mengingat masa lalunya."
"Kau kejam, Devid," kata Sovia, nyaris berbisik, suaranya bergetar antara marah dan jijik. "Bagaimana bisa kau melakukan hal seperti itu pada Celine?"
"Kejam?" Devid tertawa kecil, nadanya mengejek. "Tidak, Sovia. Aku justru menyelamatkannya. Kau tahu sendiri, kan? Setelah kakakmu meninggal, Celine nyaris kehilangan segalanya. Dia mengurung diri, tidak makan, tidak melakukan apa pun. Bahkan dia nyaris bunuh diri."
Kata-kata itu membuat Sovia tercekat. Kilasan masa lalu berkelebat di benaknya—Celine yang terpuruk di sudut apartemennya, wajahnya pucat, tubuhnya kurus, dan matanya kosong. Sovia ingat betapa sulitnya waktu itu, betapa putus asanya ia mencoba membangkitkan semangat Celine.
...****************...
Flashback ingatan Sovia 15 November, pukul 10:30.
Di sebuah ruang perawatan intensif yang sunyi, hanya suara alat-alat medis yang terdengar, Celine perlahan membuka matanya. Setelah operasi pengangkatan peluru yang hampir merenggut nyawanya, tubuhnya terasa berat, lemah, dan sakit. Cahaya matahari pagi yang menembus tirai tipis jendela menyambut kesadarannya, namun suasana hati di ruangan itu terasa suram.
Sovia masuk ke ruangan dengan langkah ragu. Wajahnya pucat, matanya bengkak, bekas tangisan semalam masih terlihat jelas. Saat ia melihat Celine terbaring di tempat tidur dengan wajah yang pucat namun berusaha tersenyum, dadanya terasa sesak.
"Celine," panggil Sovia dengan suara lembut, namun bergetar.
Celine menoleh perlahan, matanya setengah terbuka. "Sovia..." suaranya serak, nyaris seperti bisikan. "Di mana Briyon?"
Pertanyaan itu menghantam Sovia seperti hantaman keras di dadanya. Air mata yang selama ini ia tahan mulai menggenang kembali, ia berusaha menguatkan diri, tetapi hatinya teriris. Sovia hanya berdiri, membisu, sementara air matanya jatuh tanpa bisa dihentikan.
Celine memperhatikan Sovia dengan alis mengerut. "Apa? Apa yang terjadi? Kenapa kamu menangis?" tanyanya, suara yang lemah kini terdengar lebih kuat, penuh kebingungan.
Sovia menggelengkan kepala, berusaha menahan tangisnya, tetapi usaha itu sia-sia. Tangisnya semakin pecah, membuat Celine semakin cemas.
"Sovia, di mana Briyon?" tanyanya lagi, kali ini lebih mendesak. Namun Sovia tetap tak menjawab, hanya memalingkan wajah, menangis tersedu-sedu.
Ruangan itu seketika terasa semakin sesak, seperti waktu yang berhenti, memberi tekanan yang berat bagi Sovia. Akhirnya, dengan tarikan napas yang panjang, Sovia mencoba menghimpun keberanian.
"Celine," ucap Sovia, suaranya hampir tidak terdengar. "Briyon ... Briyon sudah tidak ada."
Celine membelalakkan mata, sejenak ia merasa tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Apa maksudmu ... tidak ada?" tanyanya, suara yang tadinya lemah kini bergetar, hampir seperti berteriak.
Sovia menundukkan kepala, berusaha menghindari tatapan Celine yang penuh dengan kebingungan dan kesedihan. Dengan hati yang terasa hancur, ia melanjutkan, "Semalam ... kamu dan kakakku ditemukan oleh warga di dalam gang. Kalian berdua tergeletak penuh darah ..." Sovia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam untuk melanjutkan. "Kamu selamat dan dibawa ke rumah sakit ini. Tapi ... kakakku, Briyon, dia tewas."
"Apa?" Celine menggelengkan kepala dengan kuat, air mata mulai membasahi pipinya. "Tidak ... tidak mungkin. Kamu bohong, Sovia! Briyon masih hidup!"
Sovia tak sanggup lagi menahan tangisnya. "Maafkan aku, Celine. Aku tidak ingin ini terjadi ... Aku benar-benar minta maaf."
Namun Celine tak mau mendengar. Dengan sisa tenaga yang ada, ia mencoba bangkit dari tempat tidur, hanya untuk jatuh kembali ke bantalnya. "Tidak! Briyon tidak tewas! Semalam dia ada di sini bersamaku. Dia memelukku ... dia tersenyum padaku..."
Sovia mendekat, meraih tangan Celine yang gemetar. "Celine ... kamu berhalusinasi. Itu hanya mimpi."
"TIDAK!" Celine berteriak, air matanya kini mengalir deras. "Aku tahu apa yang aku rasakan. Dia memelukku ... aku yakin dia masih hidup!"
Sovia mencoba meraih tubuh Celine, dan memeluk nya yang kini menangis histeris, suaranya menggema di ruangan yang dingin itu. Di dalam hatinya, Sovia tahu bahwa kata-katanya tidak akan bisa menghapus luka yang baru saja ia buka.
Namun, kebenaran hanyalah satu-satunya hal yang ia miliki untuk Celine, meskipun itu terasa seperti belati yang menusuk hati mereka berdua.
"Celine, maafkan aku." Sovia mengusap puncak kepala Celine memberikan ketenangan untuk sahabat nya ini, namun Celine mendorong Sovia untuk menjauh darinya.
Rasa tidak percaya menyelimuti pikiran Celine. Kata-kata Sovia terasa seperti mimpi buruk yang ingin segera ia bangunkan. Dengan tangan yang gemetar, ia meraih selang infus di tangannya dan mencabutnya tanpa ragu.
"Celine, apa yang kamu lakukan?" Sovia terkejut melihat Celine melepaskan infusan nya.
"Kalau begitu aku ingin melihatnya!" ucapnya dengan suara serak penuh emosi. "Aku ingin melihat mayat Briyon!"
Sovia terpaku. Sebagian dari dirinya ingin menghentikan Celine, namun tatapan penuh tekad itu membuatnya sadar bahwa tak ada yang bisa ia lakukan untuk menghalangi keinginan Celine. Dengan anggukan kecil, Sovia akhirnya setuju. "Baiklah, aku akan membawamu padanya."
.......
.......
.......
Mereka berjalan perlahan menuju ruang mayat. Celine masih lemah, namun langkahnya penuh tekad. Sovia membantunya berjalan, meski tangannya sendiri gemetar karena kecemasan.
Setibanya di ruang mayat, udara dingin langsung menyambut mereka. Bau antiseptik yang menyengat menusuk hidung, dan ruangan itu terasa sunyi, seperti membawa beban berat yang tak terlihat. Sovia membuka salah satu laci dingin, dan perlahan, tubuh Briyon yang terbujur kaku terlihat.
Celine terdiam, matanya membelalak melihat tubuh suaminya yang penuh luka. Memar-memar biru menghiasi kulitnya, bekas pukulan dari anggota gangster yang menyerangnya. Luka-luka itu seperti bukti bisu dari tragedi mengerikan yang telah merenggut nyawa Briyon.
"Briyon?" lirih Celine, suaranya nyaris tak terdengar. Ia berlutut di sisi tubuh suaminya, meraih wajah dingin Briyon dengan tangan yang gemetar. "Sayang, bangun ... ayo bangun, Briyon," ucapnya dengan senyum yang dipaksakan, sementara air matanya mengalir deras.
"Briyon, aku tahu kamu hanya tidur, kan? Bangunlah ... tolong, jangan tinggalkan aku ..." suaranya pecah menjadi isakan.
Celine mengguncang tubuh Briyon, berharap ada keajaiban yang membuat suaminya membuka mata. Namun, tubuh itu tetap kaku, dingin, dan tak bernyawa.
Sovia tak kuat melihat pemandangan itu. Ia menarik tubuh Celine ke pelukannya, mencoba menenangkannya meski air matanya sendiri tak berhenti mengalir. "Celine, sudah ... sudah cukup! Kakakku sudah pergi, dia tidak akan kembali. Kamu harus ikhlas ..."
"TIDAK! TIDAK!" Celine berteriak histeris, menepis tangan Sovia. "Briyon masih hidup! Aku tahu dia masih hidup! Briyon, bangun!" Teriakan Celine memenuhi ruangan, memecah keheningan hingga beberapa staf rumah sakit datang.
Seorang Dokter mendekat, membawa suntikan berisi obat penenang. Dengan cekatan, ia menyuntikkan obat itu ke lengan Celine yang terus meronta. Perlahan, tangis dan teriakan Celine mereda, tubuhnya mulai lemah, hingga akhirnya ia terbaring tenang, dan kembali terlelap.
Sovia menghela napas panjang. Untuk sesaat, ia merasa lega. "Setelah ini, Celine pasti akan baik-baik saja," gumamnya pada dirinya sendiri.
Namun, kenyataan berkata lain.
Beberapa jam kemudian, saat efek obat penenang menghilang, Celine kembali mengamuk. Tangisannya lebih keras, teriakannya lebih memilukan. "Briyon! Briyon, jangan tinggalkan aku!" Ia memukul dadanya sendiri, seolah mencoba mengusir rasa sakit yang tak tertahankan.
Keadaan Celine yang semakin memburuk membuat Sovia cemas. Tubuh Celine semakin lemah, namun emosinya semakin liar. Sovia hanya bisa duduk di sudut ruangan, menggenggam kepalanya yang berat, tak tahu harus berbuat apa.
"Celine, kumohon ... tenanglah. Aku tidak ingin kehilanganmu juga," bisik Sovia di tengah tangisnya sendiri.
Namun, ia tahu, rasa kehilangan yang Celine rasakan adalah sesuatu yang tak bisa dihapus dengan kata-kata.
...Bersambung ... ...