Demi menghindari kejaran para musuhnya, Azkara nekat bersembunyi di sebuah rumah salah-satu warga. Tanpa terduga hal itu justru membuatnya berakhir sebagai pengantin setelah dituduh berzina dengan seorang wanita yang bahkan tidak pernah dia lihat sebelumnya.
Shanum Qoruta Ayun, gadis malang itu seketika dianggap hina lantaran seorang pemuda asing masuk ke dalam kamarnya dalam keadaan bersimbah darah. Tidak peduli sekuat apapun Shanum membela diri, orang-orang di sana tidak ada satu pun yang mempercayainya.
Mungkinkah pernikahan itu berakhir Samawa sebagaimana doa Shanum yang melangit sejak lama? Atau justru menjadi malapetaka sebagaimana keyakinan Azkara yang sudah terlalu sering patah dan lelah dengan takdirnya?
•••••
"Pergilah, jangan buang-buang waktumu untuk laki-laki pendosa sepertiku, Shanum." - Azka Wilantara
___--
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29 - Mas Sayang Aku?
"Kamu apakan?
"Tidak kuapa-apakan, Ma."
"Bohong!! Anak orang sampai pingsan begitu, buruan ngaku, Azkara!!" desak Mama Mikhayla usai mendaratkan telapak tangan tepat di wajah Azkara.
Di penghujung Ramadhan, sang putra membuat ulah. Maksud hati hendak membangunkan menantunya lantaran malam ini Shanum belum keluar padahal sudah waktunya, siapa sangka Mama Mikhayla justru dikejutkan dengan keadaan menantunya sudah terbaring lemah persis tak lagi bernyawa di atas tempat tidur.
Padahal, di rumah tidak hanya ada mereka saja, tapi ada beberapa sanak saudara yang lain menginap di sana, salah-satunya Ameera dan Sean sekeluarga.
Sahur bersama yang sudah Mama Mikhayla rencanakan gagal sudah, hanya beberapa orang tersisa di rumah yang melanjutkan acara itu. Sementara Mama Mikhayla dan Papa Evan jelas tidak mampu lagi menelan makanan.
Kondisi Shanum yang begitu mengkhawatirkan seketika membuat mereka kenyang detik itu juga. Kepala Papa Evan mulai sakit, sejak awal datang membawa menantunya ke rumah sakit dia sudah merasakan gejala penyakit orangtua, darah tinggi.
Bukan sakit kepala karena memikirkan nasib sang menantu saja, tapi sakit kepala akibat mendengar omelan sang istri yang terus tertuju pada putranya.
Tanpa ampun, Mama Mikhayla menegaskan sebesar apa kemarahannya pada Azkara. Sebagai papanya, Evan hanya bisa menenangkan karena hal semacam ini wajar saja terjadi.
"Sudahlah, Ma, tidak ada gunanya juga marah ... pendarahan wajar saja, bukankah kamu dulu juga mengalaminya?" Papa Evan mulai turut bicara dan detik ini Azkara merasa ara kesempatan untuk bebas dari amukan mamanya.
"Iya juga sih, bener kata kam_ aih!! Beda, Mama tidak separah itu," sentak Mama Mikhayla sedikit meninggi hingga senyum di wajah Azkara pudar seketika.
Dia kembali menegang, terlebih lagi tatkala Mama Mikhayla menatapnya semakin tajam. Sama sekali tidak ada tanda-tanda kesalahannya sudah termaafkan, tatapan maut sang mama semakin menakutkan.
"Kenapa diam? Sadar tidak kamu tu habis ngapain?"
Azkara menunduk, dia tahu memang salahnya. Sama sekali tidak ada niat menyakiti, tapi semua terjadi begitu saja. "Maaf, Ma, aku tidak tah_"
"Halah-halah diam!! Makanya jadi laki-laki naf-su itu jangan ketinggian!! Agak ditahan sedikit, sudah tahu istrinya begitu!!" omel Mama Mikhayla secara tidak langsung menyinggung pria bernaf-su besar yang tengah berdiri di sisinya.
Tidak ingin disemprot juga, Papa Evan memilih diam. Sementara Azkara yang sudah berada di titik serba salah juga memilih diam saja.
Dia terus menunduk, meremmas jemari sembari menunggu keterangan dari dokter yang menangani istrinya. Pagi ini Azka tak ubahnya bak pria lemah, ditampar sampai tiga kali tetap kata maaf yang dia utarakan karena memang merasa bersalah.
Jika saja bisa, sebagaimana kata mamanya naf-sunya dibatasi, mungkin Azkara akan lakukan. Akan tetapi, hendak bagaimana lagi? Begitu banyak faktor yang membuat Azkara begitu, salah-satunya keturunan.
Usai membuat batin putranya tertekan, Mama Mikhayla berlalu pergi tanpa mengucapkan sepatah kata untuk Azkara. "Ayo kita pindah ke tempat lain, Pa, biar dia sendirian nunggu di sini!!"
Azkara sama sekali tidak mengangkat wajahnya. Terus terdiam dan merutuki kesalahan, saat ini semua orang mungkin menyalahkan Azkara, dan dia tidak akan mengelak sebenarnya.
"Jangan khawatir, kau hanya terlalu bersemangat sepertinya."
Disertai tepukan tepat di punggung, di luar dugaan Azkara mendapat dukungan dari pria yang dia duga akan menghajarnya habis-habisan.
"Papa tidak marah?" tanya Azkara menatap papanya tak percaya, juka benar tidak sungguh dia terharu.
"Sebenarnya ingin marah, tapi mau bagaimana? Sudah diwakilkan sama Mama ... anggap saja kesalahan teknis, jangan ulangi lagi ya." Tak hanya sekadar berucap, tapi juga sembari mengacak rambut putranya.
Sama halnya seperti sang istri, di mata Papa Evan putranya akan terus menjadi anak kecil. Mereka berperan adil sebenarnya, jika salah-satunya sudah marah, maka tidak akan seluruhnya.
Hanya dirinya kini sendiri, Papa Evan turut berlalu usai mengatakan sesuatu yang cukup menenangkan itu. Azkara duduk di kursi tunggu seraya mengusap kasar wajahnya, saat ini dia tidak peduli mau diledek habis-habisan oleh keluarga besar atau lainnya, yang dia pikirkan keselamatan istrinya, itu saja.
.
.
Selang beberapa lama, Azkara hanya bisa meminta maaf pada mamanya, kini dia bisa meminta maaf langsung pada korban yang telah dia buat celaka. Dengan penuh sesal mendalam, Azkara berucap begitu pelan.
"Maaf, aku membuatmu sampai begini," tutur Azkara menatap sang istri lekat-lekat.
Sungguh jauh imbas dari perbuatannya. Tebakan Azkara tidak meleset, sang istri memang pendarahan. Tidak sampai di sana, kondisinya cukup serius sampai butuh transfusi darah.
Seketika Azkara merasa sebejat itu di hadapan sang istri. Sejak awal tahu jika Shanum sampai butuh transfusi darah, dia sempat menawarkan diri karena memang golongan darahnya sama. Namun, mengingat kondisi Azkara yang ternyata belum sebaik itu untuk jadi pendonor, ditambah lagi di rumah sakit masih tersedia jadi tidak perlu.
"Belum lebaran, nanti saja minta maafnya, Mas," sahut Shanum tersenyum tipis. Melihat Azkara sampai meminta maaf berkali-kali, Shanum merasa suaminya lucu saja.
Bagaimana bisa pria yang malam itu bahkan tega mengancam untuk membunuhnya jika tidak diam kini justru terlihat cupu. Walau memang tidak Azka lakukan di hadapan Shanum, tapi wanita itu itu yakin jika sang suami habis menangis.
"Aku baik-baik saja, terima kasih sudah dibawa ke rumah sakit ya." Setelah Azkara terdiam beberapa saat, Shanum mengucapkan terima kasih secara pribadi.
Sungguh berbeda jauh dengan Mama Mikhayla yang sampai menamparnya tiga kali, Shanum masih begitu baik hati. "Kamu kenapa baik sekali? Ngomel atau apa begitu," pinta Azka kian mendekat dan mengusap pelan wajah sang istri.
"Capek, lagian buat apa, aku yang dosa marah-marah sama suami nantinya," ucapnya sepasrah itu karena memang bisa dipastikan lelah andai harus mengomel panjang lebar.
Sikapnya yang begini sukses membuat Azkara tertegun. Shanum seolah tidak mempermasalahkan apa yang ada dalam dirinya, dan lagi sedalam itu dia menempatkan Azkara sebagai suami.
"Ehm Shanum boleh aku tanya sesuatu?"
"Silakan, tanya apa?"
Azkara menggigit bibir, jujur dia agak bingung tentang ini. "Kenapa secepat itu menyerahkan diri padaku? Padahal, kamu bahkan belum begitu mengenal siapa suamimu," tutur pria itu terdengar amat dalam maknanya.
"Walau belum begitu mengenal, tapi Mas Azka suamiku, 'kan? Aku milikmu dan memang sudah kewajibanku memberikan hakmu," jelas Shanum cukup singkat, tapi maknanya amatlah luas.
"Aku tahu soal itu, tapi maksudku kenapa seyakin itu, Sayang? Apa kamu tidak takut suatu saat aku menyakitimu?" tanya Azka lagi tanpa melepaskan tatapannya dari sang istri.
"Aku percaya, orang yang sayang tidak akan menyakitiku nantinya," jawab Shanum begitu mantap. "Mas sayang sama aku, 'kan?" lanjutnya kemudian yang membuat Azka sukses mengerjap pelan.
"Heum?"
.
.
- To Be Continued -
kanebo kering manaaaa
gak boleh num-num