Ketika seorang pemuda dihantui oleh teka-teki atas hilangnya sang Ayah secara misterius. Bertahun-tahun kemudian ia pun berhasil mengungkap petunjuk dari buku catatan sang Ayah yang menunjuk pada sebuah batu prasasti kuno.
Satrio yang memiliki tekad kuat pun, berniat mengikuti jejak sang Ayah. Ia mulai mencari kepingan petujuk dari beberapa prasasti yang ia temui, hingga membawanya pada sebuah gunung yang paling berbahaya.
Dan buruknya lagi ia justru tersesat di sebuah desa yang tengah didera sebuah kutukan jahat.
Warga yang tak mampu melawan kutukan itu pun memohon agar Satrio mau membantu desanya. Nah! loh? dua literatur berbeda bertemu, Mistis dan Saint? Siapa yang akan menang, ikuti kishanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deni S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pergerakan Tim Satrio
Malam itu semakin larut dan berat bagiku, seiring dingin yang menusuk tulang dan kabut tipis melayang di luar jendela penginapan kecil ini. Suasana di sini begitu mencekam, menambah sesak di dada dan semakin mengaburkan pikiranku yang sudah cukup kalut. Baru saja kami turun dari gunung, setelah 10 hari mencari Satrio dengan sekuat tenaga, dan hasilnya masih nihil. Aku melangkah menuju jendela, memandang ke arah Gunung Niuts yang kini tenggelam dalam kegelapan. Dalam bayangan hitam itu wajah Satrio terus hadir di benakku.
Sahabat sekaligus pemimpin kami yang mendadak hilang tanpa jejak jelas. Rasa cemas ini terus menggerogoti, tapi aku tahu tak ada yang bisa kulakukan di sini selain menunggu atau mungkin berharap pada sebuah keajaiban. Di belakangku, Bayu dan Rio duduk terdiam, dengan ransel-ransel kotor tergeletak di lantai. Ransel yang sama lesuhnya dengan kami. Wajah mereka mencerminkan kelelahan yang sama, seakan rasa frustasi ini kini terukir dalam diam.
Kami bukan hanya kehabisan tenaga, tapi juga kehabisan petunjuk. Namun dalam hatiku, aku tahu, menyerah bukanlah pilihan. Sunyi kembali menyelimuti kami, menyisakan masingmasing tenggelam dalam pikiran. Aku kembali memandang gunung yang samar di kejauhan, berharap mungkin di malam yang sunyi ini ada tanda-tanda kecil dari Satrio yang entah bagaimana bisa memberiku arah. Perjalanan yang penuh keputusasaan ini bermula ketika dua hari berlalu tanpa kabar dari Satrio.
Aku tak pernah merasa setakut itu sebelumnya karena jelaslah hanya aku yang tahu tentang ponsel satelit yang dimiliki Satrio. Pada akhirnya, di sebuah kafe favorit, setelah pembahasan panjang barulah kami semua sepakat untuk bergerak. Tanpa menunggu lama, kami pun segera membentuk tim pencarian. Bahkan Rio menghubungi dua rekannya Damar dan Wahyu, yang kuketahui mereka itu pendaki lokal yang sangat mengenal Gunung Mutes. Pada rencana, mereka ditugaskan untuk melakukan pencarian awal sebelum kami tiba.
Mereka berdua paham betul dengan medan di sana, dan kami berharap bantuan mereka dapat mempercepat pencarian. Hingga pagi itu, tibalah kami memulai pendakian di Gunung Niuts. Namun, rasa cemas dalam dada Kuta kunjung mereda. Setiap langkah di jalur-jalur terjal itu, terasa seperti jalan menuju ketidakpastian. Apapun yang menunggu kami di gunung itu, aku hanya berharap, di sana, Satrio masih bertahan.
Berhari-hari kami menyusuri rute yang sama dengan peta yang dimiliki Satrio. Aku selalu berharap, dapat menemukan jejak-jejak samar, yang mungkin membawa kami padanya. Hingga tibalah kami di sebuah tempat, di mana semua orang sudah mencapai batasnya. Aku pun duduk pada sebuah batang pohon lapuk. Di sampingku Rio dan Mas Damar.
Kami seperti orang yang sedang berlomba meminum air dari botol. Dan kulihat Bayu masih berdiri, dengan kepala memutar kesana kemari. Namun, disinilah momen terbaik kami. Di mana Mas Wahyu tibatiba berseru di balik pepohonan di pojok sana. Hai, coba lihat ini.
Dari nadanya aku tahu, ia pasti menemukan sesuatu yang mungkin berkaitan dengan tujuan kami. Dan akulah orang pertama yang segera menghampirinya. Saat itu jatuhku terasa berdebar kencang ketika kulihat sebatang ranting yang berdiri tak biasa. Ranting itu setinggi lutut memiliki dahan yang seolah mengarah pada suatu tempat. Aku sangat yakin jika ranting ini dibuat untuk menuntun kami pada lokasi penting yang Satrio tinggalkan.
Aku dan yang lain pun sepakat untuk mengikuti ke mana ranting-ranting ini membawa kami. Sekejap, aku merasakan kehadiran Satrio melangkah di hadapanku. Di lokasi pertama, aku dan yang lain menemukan batu prasasti yang berdiri di tengah sungai. Kami pun segera melanjutkan mengikuti petunjuk-petunjuk kecil itu yang terus membawaku, hingga tibalah pada sebuah gua yang tersembunyi di balik Bukit Batu. Aku ingat betul, tempat ini menjadi titik terakhir kami melakukan komunikasi dengannya.
Bahkan, disinilah kami meminta Satrio untuk segera mengakhiri perjalanannya. Tapi, di tempat ini pula aku kembali merasakan perasaan cemas yang menusuk batinku. Di sini, seakanakan jejak Satrio benarbenar menghilang. Tak ada tenda darurat, tak ada lagi ranting yang ditinggalkan sebagai penanda. Semuanya hilang, seperti Satrio yang lenyap ditelan gunung ini.
Kudengar Mas Damar dan yang lain berteriak-teriak, memanggil-manggil nama Satrio di tengah hutan yang sunyi. Selain itu, kami juga mencoba menyisir sekitar lokasi, berharap menemukan dirinya, paling tidak menemukan jejak lain. Namun, hasilnya nihil. Berjamjam kami memutari tempat ini, tapi tak kulihat sedikitpun petunjuk. Dengan berat hati, akhirnya aku dan yang lain kembali melangkah.
Mencoba menepis rasa khawatir yang semakin pekat. Setiap hari yang kami lalui terasa lebih berat. Hujan dan badai tak berhenti menghantam kami membuat perjalanan ini semakin berbahaya. Hari demi hari berlalu, kami mulai merasa putus asa. Hingga akhirnya, aku dan tim pun tiba di titik akhir pencarian ini.
Titik di mana fisik dan mental kami seakan tak sanggup lagi bertahan. Sepuluh hari sudah kami menyusuri gunung ini, tanpa hasil, tanpa tanda-tanda keberadaan Satrio. Di sini, di batas terakhir ini, rasanya semua yang kami perjuangkan hanya sia-sia. Perbekalan menipis, tubuh kami lelah, mental hampir runtuh. Kenyataan pahit ini memaksa kami untuk menerima satu hal yang sulit.
Mungkin kami harus kembali tanpa membawa Satrio. Kurang lebih begitulah, kisah perjalanan kami. Hingga aku tiba di penginapan ini. Saat ini kami hanya terdiam, tenggelam dalam perasaan yang berat. Menatap ransel ransel kotor yang sama lelahnya dengan kami, aku merasa seperti meninggalkan seseorang yang sangat berharga tanpa kepastian, tanpa jawaban.
Entah jalan apalagi yang harus aku tempuh untuk menemukan manusia keras kepala itu. Satu demi satu usaha telah kami lakukan, tapi semua tampak sia-sia. Gunung ini seolah menelannya begitu saja, menyembunyikannya di balik pepohonan lebat dan curamnya tebing-tebing yang kami lewati. Dibalik bayang-bayangnya, kini hanya menyisakan penyesalan yang tertinggal. Andai aku bisa memutar kembali waktu, mungkin aku orang pertama yang akan menghajarnya, agar ia tak bisa pergi.
Bagi kami, Satrio bukan hanya sekadar pemimpin, ia adalah kekuatan tim ini. Aku bahkan tak tahu apa jadinya kami tanpa dirinya. Tak ada yang bisa menggantikan sosoknya. Seseorang yang memiliki kemampuan analisisnya yang sangat tajam. Setiap kali kami menemukan fragmen prasasti atau artefak purba, dia bisa merumuskan hipotesis awal hanya dalam hitungan menit, seolah artefak itu memberi isyarat khusus yang hanya bisa ditangkap olehnya.
Dalam setiap situs yang kami jelajahi, dia selalu menerapkan metode deduktif yang terstruktur. Bagi Satrio, setiap detail kecil bukan sekadar bukti sejarah yang terserap, tetapi bagian dari hipotesis besar yang kompleks. Dia menghubungkan pola baik itu formasi geologis, jejak arsitektur, hingga tata letak simbolik lalu membangun sebuah kerangka teori yang mencakup tidak hanya situs itu tetapi juga relasi historis yang lebih luas. Ketika kami masih fokus pada observasi langsung dia sudah memetakan keseluruhan situs di benaknya merangkai tiap temuan menjadi variabel dalam tesis yang entah bagaimana selalu tepat sasaran. Yang paling mengagumkan adalah kemampuan sintesisnya.
Saat aku dan yang lain masih berkutat dengan data mentah Satrio sudah mengintegrasikannya dalam narasi sejarah yang kuat memadukan arkeologi dengan studi filologis dan antropologis untuk memberikan analisis yang lebih holistik Hipotesisnya tak hanya berdasarkan pada data empiris yang kami temukan, tapi juga pada latar belakang teori evolusi budaya dan historiografi yang mendalam. Satrio jarang sekali keliru dalam interpretasinya, dan itu membuat kami yang lain sering terkesima. Saat kami bertanya, dia tak hanya menjelaskan, tapi juga menyusun argumennya dengan metodologi ilmiah yang solid. Rasanya seperti mendengar riset yang sudah diterbitkan, bukan sekadar diskusi di lapangan. Bahkan Rio malah menganggapnya bagi seorang detektif yang mampu mengungkap masa lalu.
Aku masih mengingat momen itu dengan jelas. Momen saat Satrio datang menepuk pundaknya, tersenyum, dan berkata dengan nada santai, Mungkin kita perlu melihatnya dari sudut lain. Waktu itu, aku sudah berjamjam berkutat di depan simbolsimbol kuno yang tampak seperti labirin tanpa ujung. Susunan simbol yang saling bertaut seakan membentuk pola yang samar membuatku frustrasi dan bingung. Kepalaku sudah penuh dengan hipotesis yang tumpang-tindih.
Tapi Satrio, dengan tatapan penuh keyakinan itu, menunjuk beberapa elemen yang aku pikir tak berkaitan sama sekali. Lihat pola simetris di sini, katanya sambil menelusuri simbolsimbol dengan jarinya. Mungkin ini semacam pengulangan linguistik yang digunakan untuk penekanan makna, atau bisa jadi bagian dari sistem numerik kuno. Dari caranya mengarahkan rasanya seperti ada cahaya yang tibatiba menerangi labirin gelap di kepalaku. Teorinya mengalir begitu lancar memetakan hubungan antara simbolsimbol itu tanpa ragu tapi tetap penuh pertimbangan ilmiah Walaupun ia tampak sudah yakin dengan hipotesisnya ia selalu menyelipkan kemungkinan-kemungkinan lain seolah mengajakku untuk berpikir bersama Dan yang lebih menakjubkan adalah meski ia dengan mudah membaca pola yang terabaikan olehku, ia tetap menghargai setiap analisis yang telah kutemukan.
Pendekatanmu juga masuk akal, ujarnya waktu itu. Mungkin bisa kita gabungkan dalam kerangka teori yang lebih besar. Sejenak, aku merasa bebanku berkurang. Satrio tak hanya jenius, tapi dia tahu cara membuat kami semua merasa penting dalam proses penelitian ini. Tapi kini, bayangan Satrio semakin mengecil di antara rimbun pepohonan, seolah ditelan perlahan oleh hutan yang membentang di kaki gunung itu.
Aku menarik napas panjang, memaksa diriku tetap tenang, meski ada rasa khawatir yang tak bisa kunafikan. Dia mungkin jenius dalam hal analisis dan pemahaman simbolsimbol kuno, tapi di sisi lain dia bukan yang terbaik dalam urusan bertahan di alam liar. Seringkali, ia harus bertanya pada kami tentang halhal mendasar. Seperti buah mana yang aman dimakan, dan mana yang beracun. Aku ingat suatu ketika, kami nyaris kesal karenanya.
Dia hampir saja mencomot buah berwarna mencolok, yang jelas-jelas bukan untuk dikonsumsi manusia. Sekarang, dia sendirian di sana, di tengah hutan yang lebat dan tak kenal ampun. Aku hanya bisa berharap, semoga pengetahuan hebatnya bisa membimbingnya keluar dari situasi apa pun yang mungkin ia hadapi di sana.
lanjut nanti yah