seorang wanita tangguh, yang dikenal sebagai "Quenn," pemimpin sebuah organisasi mafia besar. Setelah kehilangan orang yang sangat ia cintai akibat pengkhianatan dalam kelompoknya, Quenn bersumpah untuk membalas dendam. Dia meluncurkan serangan tanpa ampun terhadap mereka yang bertanggung jawab, berhadapan dengan dunia kejahatan yang penuh dengan pengkhianatan, konflik antar-geng, dan pertempuran sengit.
Dengan kecerdikan, kekuatan, dan keterampilan tempur yang tak tertandingi, Quenn berusaha menggulingkan musuh-musuhnya satu per satu, sambil mempertanyakan batasan moral dan loyalitas dalam hidupnya. Setiap langkahnya dipenuhi dengan intrik dan ketegangan, tetapi ia bertekad untuk membawa kehormatan dan keadilan bagi orang yang telah ia hilangkan. Namun, dalam perjalanan tersebut, Quenn harus berhadapan dengan kenyataan bahwa dunia yang ia kenal bisa berubah, dan balas dendam terkadang memiliki harga yang lebih mahal dari yang ia bayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8: Kegelapan yang Menunggu
Quenn dan timnya melaju kencang melalui jalan-jalan kota yang gelap. Kendaraan mereka melesat dengan cepat, meninggalkan jejak asap dan debu di belakang. Quenn duduk di kursi depan, matanya tajam memandang ke depan, sementara Erik mengemudi dengan penuh konsentrasi. Hanya suara mesin yang memecah keheningan yang semakin mencekam. Keberhasilan mereka melarikan diri tadi hanyalah awal. Mereka masih berada dalam bahaya yang lebih besar, dan Quenn tahu itu.
“Tempat aman?” tanya Quenn tanpa menoleh.
Erik mengangguk, tangan tetap pada setir. “Ada sebuah tempat yang sudah disiapkan. Sudah lama, sejak kita mulai bergerak. Tempat ini aman untuk sementara waktu.”
Quenn menghela napas pelan. Meski kata-kata Erik terdengar menenangkan, Quenn merasa tidak ada tempat yang benar-benar aman lagi. Jaringan ini lebih kuat dari yang mereka kira, dan setiap gerakan mereka pasti sudah dipantau.
“Berapa lama kita bisa bertahan?” tanya Quenn.
Erik menatapnya sejenak, lalu kembali fokus pada jalan. “Tidak lama, kalau mereka sudah mengendus jejak kita. Ini adalah langkah pertama, Quenn. Kita butuh waktu untuk merencanakan langkah selanjutnya.”
Sementara itu, Rina yang duduk di kursi belakang, menatap layar ponselnya. Sejumlah pesan masuk, tetapi tak satu pun yang memberi kabar baik. “Kita harus segera menghubungi orang-orang kita. Jika kita terlambat, mereka akan berada di belakang kita dalam waktu singkat.”
“Siapa yang kita hubungi?” tanya Quenn. "Marco pasti sudah melaporkan kita ke mereka."
Rina menatap Quenn dengan ekspresi serius. “Aku tahu siapa yang bisa kita andalkan. Tapi kita harus hati-hati. Jika kita salah langkah, mereka akan menganggap kita sebagai ancaman, bukan sekutu.”
Quenn menundukkan kepalanya, berpikir keras. Jika mereka salah pilih pihak, semuanya bisa berakhir lebih buruk. Tapi jika mereka berhasil menjalin aliansi dengan orang yang tepat, mungkin saja mereka bisa mendapatkan informasi lebih dalam tentang jaringan yang mengendalikan dunia ini. Jaringan yang bahkan Marco tak sepenuhnya pahami.
"Kita butuh informasi lebih banyak," kata Quenn akhirnya. "Tempat aman yang Erik sebutkan itu hanya sementara. Jika kita terus bersembunyi, mereka akan semakin dekat."
Rina melirik ke luar jendela, menilai situasi. "Kau benar. Kita harus bertindak cepat. Waktu kita semakin sedikit."
Begitu mereka memasuki kawasan yang lebih sepi, Erik menghentikan mobil di sebuah rumah tua yang terletak di ujung jalan yang gelap. “Ini tempatnya,” katanya dengan suara tegas.
Quenn mengangguk dan segera keluar dari mobil, mata waspada terhadap lingkungan sekitar. Tempat ini tampaknya sudah lama tidak dihuni, dengan gerbang besi yang berkarat dan halaman yang terlantar. Namun, bagi mereka, tempat ini adalah salah satu dari sedikit lokasi yang masih bisa dipercaya.
Mereka memasuki rumah itu melalui pintu belakang yang terbuka. Begitu langkah pertama mereka menginjakkan kaki ke dalam, ruangan yang gelap menyambut mereka. Lampu neon di sudut ruangan berfungsi, tetapi hanya memberi penerangan yang minim. Bau debu dan udara lama langsung tercium, menambah kesan sepi yang menyelimuti tempat itu.
“Ini tempat yang tepat, kan?” tanya Quenn, tak bisa menahan keraguan dalam suaranya.
Erik mengangguk dan menutup pintu dengan hati-hati. “Iya. Kita akan menghubungi orang yang bisa membantu kita. Tapi kita harus hati-hati. Ini bukan tempat yang bisa dianggap aman selamanya.”
Rina sudah mulai memeriksa ponselnya lagi, seolah mencari nomor yang harus dihubungi. “Aku akan menghubungi salah satu orang yang bisa dipercaya,” katanya, suara serius. “Kita hanya punya satu kesempatan. Jika kita gagal, mereka akan tahu posisi kita.”
Quenn duduk di meja, menatap peta besar yang ada di dinding ruangan itu. Dia merasa dunia yang dilaluinya semakin gelap. Jaringan yang Marco bicarakan bukanlah ancaman biasa. Ini adalah sesuatu yang telah menyusup jauh ke dalam sistem, jauh di luar kemampuan mereka untuk melawan dengan cara biasa. Mereka perlu sesuatu yang lebih—sesuatu yang bisa meruntuhkan jaringan itu dari dalam.
“Rina,” panggil Quenn, memecah keheningan. “Aku perlu tahu lebih banyak. Apa yang kita tahu tentang jaringan ini? Siapa mereka, dan apa yang mereka inginkan?”
Rina berhenti sejenak, mengernyitkan dahi. "Mereka adalah bayangan. Tidak ada yang benar-benar tahu siapa mereka. Tapi yang kita tahu pasti, mereka mengendalikan segalanya dari belakang layar—politik, keuangan, bahkan media. Mereka punya kaki tangan di setiap sudut dunia. Orang-orang seperti Marco hanya salah satu bagian dari jaringan besar mereka.”
Quenn menggigit bibirnya, mencoba mencerna semua informasi itu. Ini lebih buruk dari yang ia kira. “Tapi bagaimana kita bisa menghentikan mereka?”
Rina meletakkan ponselnya dan melangkah lebih dekat ke meja. "Kita harus menghancurkan sumber daya mereka. Menyusup ke dalam, cari tahu siapa yang mereka percayai. Kita mungkin bisa menemukan kelemahan mereka, sesuatu yang bisa kita manfaatkan untuk meruntuhkan kekuatan mereka."
Quenn menatap peta yang ada di depannya. Di atas peta itu tertera banyak lokasi penting—pangkalan, perusahaan, bahkan tempat-tempat yang tidak diketahui banyak orang. Ini adalah informasi yang mereka butuhkan. Namun, semakin dalam mereka menggali, semakin berbahaya jalan yang harus mereka tempuh.
“Berapa lama kita bisa bertahan di sini?” tanya Quenn, matanya tetap tajam menilai setiap sudut ruangan.
Erik mengangkat bahu. “Mungkin beberapa jam, mungkin lebih. Aku sudah mengatur beberapa perlindungan di sekitar rumah ini. Tapi jika mereka sudah mengendus, kita tak akan bisa bertahan lama.”
Di saat itu, suara ponsel Rina berbunyi keras, menandakan sebuah pesan masuk. Wajahnya berubah serius begitu melihatnya. “Kita sudah dikepung. Mereka tahu kita di sini.”
Quenn merasakan jantungnya berdegup cepat. Tanpa kata, ia melangkah ke pintu depan, mengamati sekeliling dengan waspada. Tak ada tempat yang aman lagi. Mereka sudah terjebak dalam permainan yang lebih besar dari sekadar geng-geng kriminal.
“Kita harus keluar sekarang,” ujar Quenn dengan suara dingin, penuh tekad. “Tidak ada waktu untuk ragu. Jika mereka datang, kita hadapi mereka.”
Rina mengangguk, dan Erik segera bergerak menuju pintu belakang, menyiapkan rencana keluar. Saat Quenn melihat ke luar jendela, ia bisa melihat bayangan kendaraan yang mendekat. Mereka sudah terlalu dekat.
Inilah saat yang menentukan. Setiap langkah sekarang adalah pertaruhan—antara hidup dan mati, antara menang dan kalah. Dan Quenn tahu, sekali ini berakhir, tidak ada jalan kembali.