Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Mungkin peribahasa ini sangat cocok untuk menggambarkan kehidupan gadis ini.
Meyva Maharani Nareswari, gadis muda, cantik nan mandiri, kini tengah di hantam dengan kepahitan yang luar biasa dalam hidupnya. Kecewa yang berlipat karena melihat sang kekasih hati yang berselingkuh dengan saudari tirinya sendiri. Di tambah lagi dengan fitnah keji yang di lempar sang mantan dengan tujuan untuk membuat playing victim agar pria itu tak di salahkan dan berbalik semua kesalahan justru jatuh pada Meyva.
Di selingkuhi, di fitnah, di tikung dari belakang, di usir dan satu lagi ... harus menikah dengan seseorang yang baru dia kenal secara mendadak.
Apakah Meyva bisa melewati semuanya?
Apakah kehidupan Meyva bisa jauh lebih bahagia setelah menikah atau justru sebaliknya?
Penasaran dengan kisah kehidupan Meyva?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ennita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
❤️ Happy Reading ❤️
Seperti biasa, Meyva tak hanya akan berada di ruangannya. Gadis itu selalu membantu di dapur ... membuat kue atau membantu menghias kue, tak hanya itu dia juga tak segan-segan untuk turun tangan langsung melayani pembeli jika keadaan toko terlihat ramai.
Sedang asyik-asyiknya di dapur, bergelut dengan tepung dan teman-temannya, Meyva di hampir oleh salah satu karyawannya.
"Mbak Mey." panggil Anis yang mengalihkan atensi Meyva.
"Ya." sahut Meyva.
"Ada yang cari di luar." katanya memberi tahu.
Meyva yang mendengar hal itu pun sedikit memincingkan matanya sambil bertanya-tanya dalam hati siapa gerangan yang mencarinya saat ini.
"Melda?" tanya Meyva. Cuma nama sahabatnya saja yang terlintas dalam benak Meyva.
"Bukan mbak." jawab Anis. "Kalau mbak Melda pasti ya langsung masuk ke sini." sambungnya.
"Iya juga ya." gumam Meyva. "Siapa ya?" tanyanya.
"Yang jelas dia seorang wanita." sahut Anis. "Mendingan mbak Meyva lihat sendiri aja ke depan." ujarnya lagi.
Tanpa membuka apron yang melekat di tubuhnya, Meyva langsung berjalan menuju ke luar.
"Rena." lirih Meyva saat melihat siapa yang berdiri di depan sana.
Merasa seperti mendengar seseorang yang memanggil namanya walau samar-samar, membuat Rena langsung menoleh.
"Wow Meyva, apa kabar?" tanya Rena berbasa basi. Seakan sok perduli padahal dari cara bicaranya saja sudah terlihat jelas seperti sedang mengejek Meyva.
Berjalan dengan angkuhnya ke arah Meyva berdiri.
"Gimana rasanya di usir dari rumah kamu sendiri?" tanya Rena.
"Seperti yang kamu lihat, aku baik-baik saja." jawab Meyva dengan tenang, padahal aslinya pengen banget tuh jambak-jambak rambut wanita yang ada di depannya saat ini untuk melampiaskan segala kekesalannya. "Mau apa ke sini?" tanya Meyva. "Gak mungkinkan kalau kamu kesini cuma mau sekedar melihat keadaan aku dan bertanya kabar saja, karena aku rasa kita tak sedekat itu." imbuhnya Meyva.
"Memang, sebenarnya aku juga malas ke sini dan bertemu dengan kaum rendahan seperti kamu." sahut Rena. "Aku kesini karena terpaksa." sambungnya. "Aku cuma mau ngasih undangan pertunangan aku sama Dimas." katanya lagi yang kali ini dengan tangan yang menyodorkan satu undangan pada Meyva.
Mau tak mau Meyva pun menerima undangan itu walau dengan berat hati.
"Jangan lupa datang loh, ini aku sudah berbaik hati buat nganterin langsung ke kamu." kata Rena. "Dan satu lagi, nanti kalau datang jangan lupa siapin tisu yang banyak ... takutnya nanti kamu malah menangis meraung-raung lagi di sana melihat ke bahagian aku sama Dimas." ujarnya yang penuh dengan ejekan.
"Aku pastikan itu tak akan pernah terjadi." sahut Meyva yang masih berusaha bersikap tenang.
Keadaan toko yang lumayan ramai tak memungkinkan dirinya untuk bersikap bar-bar. Salah-salah nanti malah pelanggannya kabur semua dan nama tokonya juga jadi jelek.
Setalah mengatakan hal itu, tanpa pamit ... Rena langsung pergi begitu saja, memang benar-benar minim adab tuh orang.
"Yakin mau datang?" tanya Bu Mer yang tiba-tiba berdiri di samping Meyva. Wanita paruh baya itu memang berada tak jauh dari tempat Meyva dan Rena, jadi sedikit banyak dia bisa mendengar percakapan kedua saudara tiri yang tak akur itu.
Meyva yang menatap kepergian Rena sampai tak sadar jika ada orang yang sudah berdiri di dekatnya.
"Ya harus datang Bu, kalau gak mereka bisa beranggapan kalau aku sangat terpuruk sehingga gagal move on." jawab Meyva dengan yakin.
"Mau ibu temani?" tawar ibu Meri yang Tek tega dengan Meyva.
"Gak usah Bu, aku bisa sendiri, terimakasih." ucap Meyva. "Lagian Melda dan keluarganya juga pasti dapat, secara ayahkan juga kenal sama orangtua Melda." sambungnya.
Orangtua Melda terutama sang ibu bisa di bilang pernah berteman dekat dengan almarhum bunda Meyva. Hanya setelah bunda Meyva tiada dan ayah Surya menikah lagi, hubungan keluarga Meyva dan Melda sedikit berbeda alias menjauh.
❤️
"Selamat sore, Meyva mana Bu?" tanya Melda yang baru saja datang ke toko.
"Eh mbak Melda, mbak Meyva ada di ruangannya." jawab Bu Mer.
"Ya sudah kalau gitu Melda ke atas dulu." pamit Melda yang langsung bergegas ke rah anak tangga dan menaikinya satu persatu.
Cklek
Mendengar pintu ruangannya terbuka dengan seenaknya membuat Meyva yang sedang fokus menatap layar laptop untuk membuat laporan bulan pengeluaran dan pendapatan tokonya pun langsung terhenti.
"Masuk ruangan orang gak ketik pintu atau permisi dulu." omel Meyva begitu tau siapa yang masuk. "Kebiasaan buruk yang mesti di hilangkan." sambungnya lagi.
"Hehehe sorry." ucap Melda dengan cengiran dari bibirnya. "Aku kesini buru-buru karena ada berita penting tau." kata Melda lagi.
"Apa?" tanya Meyva.
"Rena sama Dimas besok malam mau tunangan." kata Melda.
"Ya terus?" tanya Meyva dengan santainya.
"Kamu kok gak kaget gitu?" tanya Melda yang heran dengan respon yang di berikan sahabatnya.
"Aku sudah tau, orang Rena tadi juga kesini buat kasih undangan ke aku." kata Meyva.
"Yah aku telat dong ya kasih infonya." kata Melda dengan nada sedikit kecewa sambil menghempaskan tubuhnya di sofa. "Kamu datang?" tanyanya yang hanya di angguki oleh Meyva. "Datang bareng sama aku ya?" katanya lagi.
"Kau datang sendiri, nanti kita ketemuan aja di sana." sahut Meyva.
"Mey, kamu kenapa sih milih tinggal di sini? Kenapa gak di ruang aku aja? Padahal orang rumah juga gak apa-apa kalau kamu mau tinggal di rumah aku, malah seneng mereka kalau kamu mau." kata Melda.
"Gak usah Mel, terimakasih atas tawarannya. Tapi aku ngerasa nyaman kok tinggal di sini." sahut Meyva.
Memang benar yang di katakan Meyva, dia jauh merasa lebih nyaman tinggal di sana ketimbang waktu tinggal di rumahnya sendiri. Apalagi kalau malam yang begitu sunyi sungguh memberikan sebuah ketenangan untuknya walaupun terkadang vebesnya kayak nyeremin juga sih, apalagi dirinya hanya tinggal sendiri.
"Jujur aku masih heran sama ayah kamu, kok malah lebih percaya istri baru dan anak tirinya ketimbang kamu yang notabene anak kandungnya, darah dagingnya sendiri." kata Melda mengungkapkan apa yang ada di dalam pikirannya selama ini.
"Ya itu semua memang gak lepas dari campur tangan istri dan anaknya yang berusia Mel, mereka terus menghasut dan memprovokasi ayah untuk membenciku." kata Meyva yang ikut mendudukkan dirinya di samping Melda. "Di tambah lagi dengan Dimas yang playing victim, sehingga bikin aku jadi tambah buruk, jadinya makin lengkap deh." kata Meyva lagi.
"Tapi aku benar-benar salut sama kamu yang bisa lewatin ini semua, kalau aku yang ada di posisi kamu ... hem entahlah sudah seperti apa aku." kata Melda yang merasa tak akan kuat dan sanggup jika mengalami hidup seperti sang sahabat.
"Makanya Tuhan gak kasih kamu cobaan yang berat seperti aku." sahut Meyva dengan sedikit terkekeh, lebih tepatnya seperti menertawakan nasibnya sendiri.