Sinopsis Satria Lapangan
Pahlawan Lapangan adalah kisah tentang perjalanan Bagas, seorang remaja yang penuh semangat dan berbakat dalam basket, menuju mimpi besar untuk membawa timnya dari SMA Pelita Bangsa ke Proliga tingkat SMA. Dengan dukungan teman-temannya yang setia, termasuk April, Rendi, dan Cila, Bagas harus menghadapi persaingan sengit, baik dari dalam tim maupun dari tim-tim lawan yang tak kalah hebat. Selain menghadapi tekanan dari kompetisi yang semakin ketat, Bagas juga mulai menjalin hubungan yang lebih dekat dengan Stela, seorang siswi cerdas yang mendukungnya secara emosional.
Namun, perjuangan Bagas tidak mudah. Ketika berbagai konflik muncul di lapangan, ego antar pemain seringkali mengancam keharmonisan tim. Bagas harus berjuang untuk mengatasi ketidakpastian dalam dirinya, mengelola perasaan cemas, dan menemukan kembali semangat juangnya, sembari menjaga kesetiaan dan persahabatan di antara para anggota tim. Dengan persiapan yang matang dan strategi yang tajam,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon renl, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 11
menuju pro liga tingkat sma
Waktu menunjukkan jam 05.00 pagi, sinar matahari masih samar-samar menyelinap di balik tirai jendela kamar Bagas. Perlahan, Bagas membuka matanya dan terkejut saat melihat Bik Asih tertidur di kursi dekat ranjangnya. Wajah lelah Bik Asih terlihat jelas, dengan selimut tebal yang setengah melorot dari bahunya.
Bagas duduk perlahan di ranjang, tubuhnya masih terasa pegal dan pusing. Melihat Bik Asih yang kedinginan, Bagas bangkit, mengambil sweater tebal dari lemari, dan menyelimuti Bik Asih dengan lembut. “Maaf, Bik, udah bikin repot,” bisik Bagas, senyum tipis terlukis di wajahnya.
Ia melangkah keluar kamar, menyusuri lorong rumah yang masih sepi. Suasana pagi itu begitu sunyi, hanya suara embusan angin dan kicauan burung yang terdengar. Bagas menuju halaman depan, di mana Mang Dadang tampak asyik mendengarkan lagu dangdut dari ponselnya, sambil sesekali menggoyangkan badannya.
“Asik nih, Mang. Lagi nyantai?” sapa Bagas dengan nada bercanda.
Mang Dadang tersentak kaget, lalu tertawa. “Eh, Den Bagas! Maaf, Den, kalau lagunya kegedean.”
“Enggak kok, Mang. Santai aja. Bagas cuma bosen di kamar terus. Lagian, Bagas udah sehat, cuma luka dikit aja,” jawab Bagas sambil tersenyum.
Mang Dadang menatap Bagas dengan cemas. “Tapi Papa Den bilang, Aden belum boleh sekolah dulu sebelum sembuh. Apalagi dada Aden itu lebam, takut terjadi apa-apa.”
Bagas mengangguk pelan. “Iya, iya. Bagas ngerti, Mang. Cuma pengen hirup udara segar sebentar.”
Saat Bagas dan Mang Dadang mengobrol, terdengar suara berat dari arah rumah. “Eh, anak Papa sudah bisa jalan-jalan pagi, ya?” goda Papa Bagas sambil melangkah keluar rumah.
“Apaan sih, Pa. Bagas nggak apa-apa, kan, Mang?” ujar Bagas sambil menyenggol bahu Mang Dadang, yang hanya tersenyum simpul.
Tiba-tiba, terdengar suara langkah terburu-buru dari dalam rumah. Bik Asih muncul dengan wajah panik, mata setengah mengantuk dan berkali-kali memanggil, “Den! Den Bagas! Den!”
“Kenapa, Bik?” tanya Mama Bagas yang juga muncul dari kamarnya dengan raut cemas.
“Anu, Nyonya. Den Bagas nggak ada di kamar! Bibik bangun-bangun, den Bagas udah nggak ada di kasur!” jawab Bik Asih, nadanya waspada.
“Aku di sini, Bik,” jawab Bagas, melangkah masuk ke ruang tengah.
Bik Asih menghela napas lega, lalu menatap Bagas dengan tatapan khawatir. “Aduh, Den. Mbok ya ngomong dulu kalau mau keluar. Bibik hampir jantungan, lho!”
Bagas tertawa kecil, meski sedikit tertahan oleh rasa nyeri di dadanya. “Maaf, Bik. Bagas cuma keluar sebentar. Jangan terlalu khawatir, Bagas baik-baik aja.”
Mama Bagas mendekat, menaruh tangan di bahu anaknya. “Bagas, kamu istirahat dulu aja. Nggak usah ke sekolah hari ini.”
“Tapi, Ma, seharian di rumah tuh bosen,” protes Bagas.
“Dengerin Mama, ya. Kamu istirahat dulu. Besok kalau udah benar-benar sehat, baru boleh ke sekolah,” ujar Mamanya tegas.
Bagas mengangguk dengan enggan. “Iya, Ma. Bagas nurut, deh.”
Ia berjalan pelan ke kamar di lantai dua, meski dadanya masih terasa sakit setiap kali ia menarik napas dalam. Mama dan Papa Bagas hanya bisa menggelengkan kepala melihat putra mereka yang keras kepala namun penuh semangat itu.
Di sekolah, suasana kelas terasa lengang. Dito dan Dika duduk di bangku paling belakang, wajah mereka dipenuhi kegelisahan.
“Dik, Bagas mana?” tanya Dito dengan nada rendah.
Dika mendengus, membuang pandangannya ke luar jendela. “Lo tanya gue terus, gue tanya siapa? Mana gue tau, lah. Lo ada nomor dia, kan? Ya udah, telpon aja, ngapain repot tanya-tanya ke gue,” sahut Dika dengan nada sedikit kesal.
Dito menghela napas. “Kita nggak bisa diam aja. Lama-lama bisa bahaya ini.”
“Udah, biarin aja. Ntar juga dia muncul sendiri,” jawab Dika, lalu bangkit dari kursinya dan keluar kelas, meninggalkan Dito yang masih terpaku.
Di lapangan basket, April menggenggam bola sambil memandangi ring dengan pandangan kosong. Biasanya, ia bermain dengan penuh semangat, tapi hari ini pikirannya melayang.
“Napa, Pril? Kok kelihatan ada beban?” tanya seorang temannya sambil memegang bola di pinggang.
April menghela napas panjang. “Lo nggak lihat media sosial, ya?” katanya sambil berlalu, meninggalkan temannya yang kebingungan.
Teman-teman satu tim basketnya saling bertatapan, tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Mereka tahu April bukan tipe yang mudah emosi, jadi perubahan ini membuat mereka bertanya-tanya.
Di ruang komite sekolah, suasana serius tergambar jelas. Orang tua Bagas, Dika, dan beberapa siswa yang terlibat dalam kejadian perkelahian dipanggil untuk mengklarifikasi kejadian tersebut. Kepala sekolah berdiri di depan, menatap semua yang hadir dengan pandangan tegas.
“Kami sudah memeriksa semua bukti, termasuk video yang tersebar di media sosial. Keputusan telah diambil,” kata kepala sekolah.
Papa Bagas menatap kepala sekolah dengan tatapan penuh perhatian. Anggota komite lain mengangguk setuju, dan keputusan pun dibacakan.
“Para siswa yang terlibat dalam pengeroyokan akan dikeluarkan dari sekolah. Ini adalah langkah tegas agar kejadian serupa tidak terulang.”
Kabar ini menyebar cepat, membuat seluruh sekolah heboh. Siswa-siswi berbicara di lorong, di kantin, bahkan di lapangan basket. Nama Bagas menjadi topik utama, baik di kalangan teman-teman dekat maupun mereka yang hanya mengenalnya lewat reputasinya. Video perkelahian itu terus diunggah ulang, membuat nama Bagas semakin dikenal, di antara kekaguman dan simpati yang bercampur dengan keheranan.
Bagas sudah dua hari berturut-turut tidak masuk sekolah. Kondisinya masih belum sepenuhnya pulih dari luka-luka yang ia terima setelah perkelahian itu. Meski sudah merasa sedikit lebih baik, ia tetap harus beristirahat sesuai permintaan dokter dan orang tuanya. Namun, waktu yang terasa lama di rumah itu membuatnya sedikit jenuh. Ia lebih memilih untuk tetap berada di rumah, bersantai, dan mencoba pulih secepat mungkin.
Hari itu, suasana rumah Bagas kembali terasa hangat saat teman-teman dari sekolah datang mengunjungi. Mereka datang dengan wajah penuh perhatian dan kekhawatiran, terutama Dito dan Dika, yang sejak pagi sudah terlibat dalam percakapan panjang tentang bagaimana keadaan Bagas. Namun, yang paling bersemangat datang adalah April.
April membawa kabar yang tak hanya mengejutkan, tapi juga memberi harapan besar bagi Bagas. Begitu ia masuk ke ruang tamu, ia langsung menuju ke arah Bagas, yang sedang duduk di sofa dengan perasaan campur aduk.
"Bagas!" seru April, suaranya ceria namun tetap ada kekhawatiran di dalamnya. "Lo nggak akan percaya, ada kabar bagus banget! Lo pasti senang banget denger ini!"
Bagas mengerutkan dahi, penasaran. "Apa, Pril? Kok lo kelihatan semangat banget?"
April tersenyum lebar, lalu duduk di samping Bagas. "Ada turnamen basket se-Jakarta yang besar banget! Turnamen ini bakal jadi jalan menuju Pro Liga se-Jawa. Semua tim basket SMA terbaik di seluruh pulau bakal bersaing di sana! Tahun lalu, tim basket SMA kita sempat kalah di semifinal dari SMA Altafia Bandung, tapi kita berhasil jadi tim 10 besar se-Indonesia."
Bagas langsung tertarik, meski masih sedikit bingung. "Pro Liga? Maksudnya turnamen besar kayak apa, sih?"
April menjelaskan dengan semangat. "Iya, ini bakal jadi turnamen basket paling bergengsi buat tim-tim junior di Indonesia! Tim terbaik dari masing-masing provinsi bakal bertarung di sana, dan kesempatan ini nggak boleh dilewatkan. Tim kita, yang terdiri dari pemain-pemain terbaik se-Jakarta, bakal berusaha maksimal buat lolos dan masuk ke babak nasional. Dan lo tahu nggak? Mereka bakal seleksi pemain dari tim utama dan dua tim cadangan, dan akan ada 25 orang yang terpilih!"
Bagas tersenyum tipis. "Berarti... lo mau kita bareng-bareng di tim yang sama, kan?"
"Betul banget!" jawab April tanpa ragu. "Gue pengen banget bisa satu lapangan sama lo, jadi partner lagi. Lagian, ini pertandingan terakhir gue sebelum ujian akhir, jadi gue harus serius dan fokus. Gue udah kelas 3 SMA, dan setelah itu gue harus fokus untuk persiapan masuk perguruan tinggi. Ini kesempatan terakhir gue buat bermain bareng sama lo di turnamen besar."
Bagas merasakan semangat yang sama muncul di dalam dirinya. "Kita pasti bisa, Pril. Gue nggak akan mundur. Gue akan pulih secepat mungkin, dan kita bakal berjuang bareng-bareng."
April memandang Bagas dengan tatapan penuh harapan. "Lo harus semangat, Bagas. Lo nggak cuma buat tim ini, tapi buat diri lo juga. Lo masih punya banyak kesempatan. Dan, kita semua di sini mendukung lo, termasuk gue."
Dito dan Dika yang berada di ruang tamu, juga mendekat setelah mendengar percakapan itu. Dito tersenyum lebar. "Wah, turnamen se-Jakarta? Kita harus siap banget nih. Tapi, lo yakin bisa sembuh tepat waktu, Bagas?"
Bagas mengangguk pelan, walau rasa sakit di dada masih terasa setiap kali ia bernapas dalam. "Gue yakin. Ini turnamen besar, dan gue nggak mau nyia-nyiain kesempatan ini. Gue pasti bakal sembuh cepat."
Dika ikut angkat bicara dengan nada serius. "Gue juga setuju. Kita semua harus ikut partisipasi di turnamen ini. Kita udah kerja keras selama ini. Kalau kita bisa jadi bagian dari tim utama, itu berarti kita ada di jalur yang tepat menuju Pro Liga."
April mengangguk penuh semangat. "Itu dia, Dika! Kita bakal bekerja keras, dan nanti kita semua bakal masuk tim utama! Nggak ada lagi alasan buat mundur."
Di dalam hatinya, Bagas merasa penuh semangat. Meskipun tubuhnya masih lelah, semangat untuk berjuang kembali di lapangan basket membuat rasa sakit itu terasa sedikit lebih ringan. "Oke, gue setuju. Kita harus lebih keras lagi latihan, dan pastikan kita semua siap. Ini akan jadi perjalanan yang seru, dan kita bakal tunjukkan siapa kita!"
Beberapa hari berlalu, dan Bagas terus menjalani pemulihan. Setiap pagi, ia melakukan peregangan ringan dan latihan fisik sesuai dengan saran dokter. Dia juga tak pernah melewatkan sesi latihan tim basket meski hanya sebagai penonton di pinggir lapangan. Ia tak sabar untuk bisa kembali bermain bersama teman-temannya.
Sementara itu, di sekolah, persiapan untuk turnamen semakin intensif. Semua pemain terbaik dari berbagai klub basket di Jakarta mulai berkumpul, termasuk beberapa sahabat Bagas yang telah lama berlatih bersama. Mereka bekerja keras, berlatih tanpa henti untuk mencapai tujuan yang lebih besar. Proses seleksi yang ketat membuat tim semakin solid.
Tim basket sekolah mulai mengerucutkan pemain dari 40 orang menjadi 25 orang. Pembagian ini sangat penting, karena mereka harus membentuk tim utama, tim kedua, dan tim ketiga yang saling seimbang. Bagas pun sudah merasa siap untuk kembali ke lapangan dan menjadi bagian dari tim utama, meski ia harus bersaing ketat dengan pemain-pemain lainnya.
April yang juga memiliki impian besar di turnamen ini, tak sabar untuk bermain bersama Bagas. "Gue tahu lo bisa, Bagas. Lo pasti bisa jadi partner terbaik gue di lapangan. Gue udah nggak sabar buat latihan bareng lo lagi," ujarnya penuh semangat.
Bulan pertama berlalu begitu cepat, dan tim basket sekolah semakin intensif berlatih. Semua pemain, baik di tim utama maupun tim cadangan, saling memberi dukungan. Persaingan yang sehat di antara mereka membuat mereka semakin kuat. Tak hanya itu, rasa kebersamaan dan semangat untuk meraih kemenangan membuat mereka merasa lebih solid.
Bagas, yang sempat ragu dan merasa kurang percaya diri akibat cedera yang dialaminya, kini kembali merasa memiliki tujuan yang lebih besar. Bersama teman-temannya, terutama April, Dito, dan Dika, ia yakin bisa meraih kemenangan di turnamen se-Jakarta, dan melanjutkan perjalanan mereka menuju Pro Liga se-Jawa.
Kini, tidak ada lagi keraguan dalam diri Bagas. Ia tahu bahwa kesempatan ini adalah kesempatan terakhirnya untuk membuktikan dirinya di lapangan basket. Bersama teman-temannya, mereka akan berjuang keras untuk menjadi yang terbaik.