Ariella, seorang wanita muda yang dipilih untuk menjadi pemimpin organisasi pembunuh terkemuka setelah kematian sang mentor. Kejadian tersebut memaksanya untuk mengambil alih tahta yang penuh darah dan kekuasaan.
Sebagai seorang wanita di dunia yang dipenuhi pria-pria berbahaya, Ariella harus berjuang mempertahankan kekuasaannya sambil menghadapi persaingan internal, pengkhianatan, dan ancaman dari musuh luar yang berusaha merebut takhta darinya. Dikenal sebagai "Queen of Assassins," ia memiliki reputasi sebagai sosok yang tak terkalahkan, namun dalam dirinya tersembunyi keraguan tentang apakah ia masih bisa mempertahankan kemanusiaannya di tengah dunia yang penuh manipulasi dan kekerasan.
Dalam perjalanannya, Ariella dipaksa untuk membuat pilihan sulit—antara kekuasaan yang sudah dipegangnya dan kesempatan untuk mencari kehidupan yang lebih baik, jauh dari bayang-bayang dunia pembunuh bayaran. Di saat yang sama, sebuah konspirasi besar mulai terungkap, yang mengancam tidak hanya ker
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10: Keterputusan dan Pengkhianatan
Pagi hari setelah pertempuran itu, suasana markas Ariella terlihat sangat berbeda dari biasanya. Keheningan yang menggelayuti setiap sudut ruangan menggambarkan betapa besar dampak dari apa yang telah terjadi semalam. Meski mereka berhasil menggagalkan pengiriman senjata nuklir yang telah direncanakan oleh The Raven Syndicate, perasaan cemas tetap menghantui tim.
Ariella duduk di ruang operasional, menatap layar komputer yang memproyeksikan hasil dari serangan terakhir. Sebuah perasaan tidak nyaman menyelimuti dirinya. Ada sesuatu yang ia rasakan—sebuah ancaman yang lebih besar, lebih tersembunyi, dan lebih berbahaya dari apa yang telah mereka hadapi.
"Semua laporan sudah masuk, Komandan," Liana berkata sambil menghampiri meja Ariella. "Konvoi yang kita hancurkan adalah bagian dari pengiriman terbesar yang pernah mereka lakukan. Namun, mereka tidak hanya mengirimkan bahan nuklir. Kita juga menemukan data yang mengarah pada operasi yang lebih besar, lebih global. Ini bukan hanya tentang senjata—ini tentang kekuasaan."
Ariella menghela napas panjang, meletakkan telapak tangan di wajahnya. "Apakah kita bisa mendapatkan informasi lebih lanjut?" tanyanya, matanya menyipit menilai layar di depannya.
Liana mengangguk. "Kami sedang memproses data yang kami ambil dari perangkat mereka. Kami hanya perlu waktu untuk menguraikan lebih lanjut. Tapi ada satu hal yang perlu Anda tahu..."
"Jangan katakan kalau kita telah melewatkan sesuatu," ujar Ariella dengan nada tegas.
Liana berhenti sejenak, menatap Ariella dengan ragu, lalu melanjutkan, "Ada kemungkinan besar mereka tahu bahwa kita akan menyerang. Mereka sudah mempersiapkan pelarian, dan mereka tampaknya memiliki informasi tentang setiap langkah yang kita ambil."
Ariella merasa perutnya mual mendengar ini. “Berarti mereka sudah mempersiapkan pengkhianatan. Siapa yang mengkhianati kita?”
Liana menggelengkan kepala. “Kami belum tahu pasti, tetapi ada beberapa indikasi bahwa seseorang di dalam organisasi kita telah membocorkan informasi. Kita sudah menyaring data komunikasi internal, dan beberapa transaksi mencurigakan terdeteksi. Ini bisa berarti kita tidak hanya berhadapan dengan musuh dari luar, tetapi juga dari dalam.”
Sebelum Ariella bisa merespons, Rael masuk dengan ekspresi wajah yang serius. “Komandan, kita punya masalah besar. Marcus sudah melarikan diri.”
Ariella terkejut mendengar nama itu. “Marcus? Apa yang dia lakukan?”
Rael menjelaskan dengan cepat, “Setelah pertempuran kemarin, kami menemukan bahwa dia menghilang dari markas. Kami mendeteksi kendaraan yang melaju dengan kecepatan tinggi ke arah wilayah yang tidak terduga. Dan ketika kami melacaknya, dia sudah tidak ada di sana lagi.”
“Berarti dia bekerja dengan mereka,” Ariella bergumam, menyadari sepenuhnya bahwa Marcus tidak pernah benar-benar berpihak kepada mereka. Selama ini, ia hanya menunggu kesempatan untuk mengkhianati mereka.
“Apa langkah selanjutnya?” tanya Rael, matanya tajam, siap untuk bertindak.
Ariella berpikir sejenak. "Kita harus menemukan Marcus. Jika dia bekerja sama dengan The Raven Syndicate, dia pasti tahu sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang bisa menghancurkan kita. Liana, teruskan pengolahan data itu, beri saya semua yang kalian temukan."
Liana mengangguk dan segera kembali ke komputernya, sementara Ariella berbalik untuk menemui timnya yang lain. Rael berjalan mendekat, berbicara dengan suara rendah, “Saya rasa kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Jika Marcus sudah berkhianat, kita harus segera mencari dia sebelum dia membawa informasi itu ke musuh.”
Ariella menatap Rael, menilai keseriusan dalam matanya. “Kita akan bergerak malam ini. Pastikan setiap tim siap. Kita akan menemukan Marcus, tidak peduli apa yang terjadi.”
---
Malam itu, tim Ariella bergerak dengan cepat dan terkoordinasi. Mereka tahu bahwa waktu tidak berpihak pada mereka. Jika Marcus benar-benar berkolaborasi dengan The Raven Syndicate, berarti mereka memiliki informasi yang sangat berharga, dan bisa jadi mereka akan menggunakannya untuk menghancurkan Ariella dan timnya.
Rael memimpin tim yang melacak jejak Marcus, sementara Ariella memimpin operasi penyergapan di titik lainnya, berdasarkan informasi yang berhasil mereka kumpulkan sebelumnya. Seluruh tim bergerak dalam diam, menyusuri kota yang sunyi dengan kendaraan tak bertanda.
“Mereka tahu kita datang,” ujar Liana melalui radio, suaranya penuh dengan ketegangan. “Kita sedang dipantau.”
Ariella merasakan ketegangan di dalam dada. Mereka sudah terjebak dalam perang psikologis dengan musuh. “Teruskan, Liana. Kami akan mencari mereka.”
Mereka tiba di sebuah gudang besar yang terletak di pinggiran kota, sebuah tempat yang cukup tersembunyi dan sulit dijangkau. Tidak ada suara di sekitar mereka, hanya kedamaian yang aneh.
“Ini dia,” Rael berbisik, matanya berkilat tajam. “Marcus pasti ada di sini.”
Ariella mengangguk dan memimpin langkah pertama menuju pintu besar gudang. Mereka bergerak cepat, hati-hati, dan penuh kewaspadaan. Namun, begitu pintu terbuka, yang mereka temui bukanlah Marcus, melainkan segerombolan pria bertopeng yang siap bertempur.
“Bertahan!” teriak Ariella, menarik senjata dari sabuknya.
Tembakan mulai terdengar, dan pertarungan sengit pun terjadi di dalam gudang. Tim Ariella menembak dengan presisi tinggi, namun musuh mereka juga tidak kalah terlatih. Ketika satu musuh jatuh, yang lainnya muncul, seolah mereka telah siap untuk pertempuran ini sejak lama.
Rael dan timnya bergerak cepat, mengelilingi gudang, sementara Ariella berlari ke arah dalam, mencari petunjuk atau jejak Marcus. Semakin dalam ia menyusuri ruangan, semakin jelas bahwa ini adalah jebakan yang disiapkan dengan sangat matang. Gudang itu lebih dari sekadar tempat persembunyian—ini adalah markas sementara yang dibangun untuk menahan mereka.
“Marcus!” teriak Ariella, suaranya menggema di dalam ruangan yang gelap.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar, dan di depan Ariella muncul sosok yang dikenalnya dengan baik—Marcus. Namun, kali ini, dia tidak datang sendirian. Di belakangnya berdiri sosok pria bertopeng, seseorang yang Ariella tidak pernah duga sebelumnya.
“Ariella,” suara Marcus terdengar pelan, penuh penghinaan. “Kau pikir bisa mengalahkan kami? Ini sudah berakhir.”
Ariella mengangkat senjata, siap untuk menembak. Namun, sebelum ia bisa bergerak, pria bertopeng itu maju, memegang senjata besar di tangannya. “Dia sudah bekerja untuk kami sejak lama,” ujar pria itu, suaranya dalam dan penuh ancaman.
Marcus tersenyum dingin, melihat kebingungannya. “Kau sudah terlambat, Ariella. Kami tahu setiap langkahmu, setiap strategi yang kau buat. Semua ini sudah direncanakan sejak awal.”
Sebelum Ariella bisa merespons, pria bertopeng itu mengangkat senjatanya, menembakkan peluru tajam yang melesat ke arahnya. Ariella menghindar, merunduk, dan mulai bergerak menuju posisi yang lebih strategis.
Pertempuran kembali pecah, lebih sengit dan lebih berbahaya dari sebelumnya. Semua orang tahu bahwa ini adalah pertarungan hidup dan mati. Ariella harus bertahan, harus mengalahkan mereka, atau semuanya akan berakhir di sini.