Novel ini mengisahkan perjalanan cinta yang penuh dinamika, yang diselimuti perselisihan dan kompromi, hingga akhirnya menemukan makna sesungguhnya tentang saling melengkapi.
Diantara lika-liku pekerjaan, mimpi, dan ego masing-masing, mereka harus belajar mengesampingkan perbedaan demi cinta yang semakin kuat. Namun, mampukah mereka bertahan ketika kenyataan menuntut mereka memilih antara ambisi atau cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arin Ariana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Luka yang Belum Sembuh
Alfatra duduk berhadapan dengan Ariana di meja kafe yang penuh kenangan itu. Kopi di depannya hampir tidak tersentuh, sementara Ariana tampak lebih tenang, menatap keluar jendela. Alfatra merasakan debar di dadanya, sesuatu yang tidak ia rasakan sejak terakhir kali mereka bersama.
“Apa kabar, Ari?” tanya Alfatra akhirnya, suaranya rendah.
Ariana tersenyum tipis, tetapi tatapannya tetap dingin. “Baik. Sibuk, seperti biasa. Kamu?”
Alfatra menghela napas. “Aku baik. Tapi rasanya ada banyak yang harus aku katakan.”
Ariana memiringkan kepala, ekspresinya datar. “Dua tahun, Alfa. Kamu diam selama dua tahun. Apa yang tiba-tiba membuatmu ingin bicara sekarang?”
Alfatra terdiam, merasa terpukul oleh pertanyaan itu. Ia tahu Ariana benar. Selama dua tahun, ia tidak pernah mencoba menghubungi atau memperbaiki hubungan mereka. Sebagian karena egonya, sebagian lagi karena ia takut menghadapi kenyataan.
“Aku salah, Ari. Aku tahu itu sekarang. Aku seharusnya tidak membiarkan kita berpisah seperti itu,” kata Alfatra pelan, menundukkan kepala.
Ariana mengangkat alisnya, ekspresi skeptis terlihat di wajahnya. “Kamu salah? Setelah dua tahun, kamu baru menyadarinya?”
“Aku sadar lebih cepat dari itu,” Alfatra mengaku. “Tapi aku terlalu pengecut untuk mengatakannya. Aku pikir, kalau aku membiarkan waktu berlalu, semuanya akan baik-baik saja. Tapi ternyata tidak.”
Ariana tertawa kecil, tetapi nadanya pahit. “Benar. Waktu memang tidak menyembuhkan semuanya. Aku belajar itu dengan cara yang sulit.”
Kata-kata itu membuat Alfatra merasa bersalah. Ia ingin berkata sesuatu, tetapi Ariana mendahuluinya.
“Kamu tahu, Alfa? Aku berusaha keras melupakan kamu. Aku mencoba fokus pada karierku, bertemu orang baru, bahkan memberi diriku kesempatan untuk jatuh cinta lagi. Tapi...” Ariana berhenti, mengambil napas panjang sebelum melanjutkan. “Terkadang, luka itu terlalu dalam untuk sembuh sepenuhnya.”
“Maaf, Ari. Aku benar-benar menyesal,” kata Alfatra dengan tulus.
Ariana memandangnya lama, seolah mencoba membaca kejujuran dalam kata-katanya. “Mungkin aku bisa memaafkanmu suatu hari nanti, tapi itu tidak berarti segalanya akan kembali seperti dulu.”
Alfatra terdiam. Ia tahu, ia tidak bisa berharap terlalu banyak. Tetapi sebelum ia sempat berkata apa-apa lagi, ponsel Ariana bergetar. Ariana mengambilnya, membaca pesan, lalu berdiri.
“Aku harus pergi. Ada rapat yang harus aku hadiri,” katanya singkat, suaranya datar.
“Ari, tunggu,” kata Alfatra, berdiri juga. “Aku ingin memperbaiki semuanya. Tolong, beri aku kesempatan.”
Ariana tersenyum kecil, kali ini dengan sedikit kelembutan. “Kita lihat nanti, Alfa. Jangan berharap terlalu banyak.”
Ariana berbalik dan meninggalkan kafe, sementara Alfatra tetap berdiri di tempatnya. Ia merasa lega karena akhirnya bisa bertemu dan berbicara dengan Ariana, tetapi sekaligus merasa hampa karena ia tahu jalan untuk mendapatkan kembali kepercayaannya tidak akan mudah.
Saat Alfatra keluar dari kafe, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari ibunya.
"Jangan lupa malam ini. Keluarga Naumi akan datang lagi untuk makan malam."
Alfatra menggenggam ponselnya erat. Ia tahu, perjodohan itu masih menjadi ancaman nyata. Tapi setelah bertemu Ariana, hatinya semakin yakin bahwa ia tidak bisa menyerah begitu saja pada cinta sejatinya.
Namun, ia juga sadar bahwa keputusan ini akan membawa konflik baru. Bukan hanya dengan keluarganya, tetapi mungkin juga dengan Ariana, yang tampaknya masih berjuang dengan luka masa lalu mereka.
~
Malam itu, Alfatra duduk di meja makan bersama keluarganya dan keluarga Naumi. Suasana terasa canggung baginya, meskipun orang tua kedua belah pihak terlihat menikmati percakapan hangat. Naumi duduk di seberangnya, sesekali tersenyum sopan, tetapi Alfatra bisa merasakan bahwa gadis itu sama tidak nyamannya dengan situasi ini.
“Jadi, Alfa, apa yang kamu pikirkan tentang rencana ini?” tanya ayahnya tiba-tiba, memecah keheningan.
Alfatra menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. “Aku rasa aku sudah jelas soal ini, Ayah. Aku tidak bisa menerima perjodohan ini.”
Ruang makan langsung sunyi. Ibu Alfatra menatapnya dengan pandangan tajam, sementara ayahnya menahan diri agar tidak meledak. Naumi tampak menundukkan kepala, berusaha menghindari perhatian.
“Alfa, kita sudah membicarakan ini. Kamu tidak bisa hanya memikirkan dirimu sendiri. Ini bukan hanya tentang kamu, tapi juga keluarga kita,” kata ibunya dengan nada dingin.
“Aku mengerti, Bu. Tapi aku tidak bisa menjalani hidup dengan seseorang yang tidak aku cintai. Itu tidak adil untukku, dan juga tidak adil untuk Naumi,” balas Alfatra, suaranya tegas.
Naumi akhirnya angkat bicara, suaranya lembut namun penuh kejujuran. “Tante, Om, mungkin ada baiknya kita tidak memaksakan ini. Aku... aku juga merasa tidak siap untuk hubungan yang diawali seperti ini.”
Semua orang menoleh padanya. Ibunya tampak terkejut, sementara ayahnya berusaha menahan rasa malu. Namun, Naumi tetap tenang. Ia menatap Alfatra sejenak, lalu melanjutkan, “Aku ingin hubungan yang didasarkan pada cinta, bukan kewajiban. Kalau Alfatra merasa ini bukan jalannya, aku menghormati itu.”
Alfatra menatap Naumi dengan rasa hormat. Ia tidak menyangka gadis itu memiliki keberanian untuk berbicara jujur.
Namun, ayah Alfatra menahan napas panjang, kemudian berkata, “Kita ini bukan anak-anak lagi, Alfa. Hidup tidak selalu soal cinta. Terkadang, tanggung jawab lebih penting.”
“Ayah, aku tahu tanggung jawab itu penting. Tapi aku juga tahu, memaksa diri menikah tanpa cinta hanya akan membawa lebih banyak masalah. Aku tidak ingin melukai siapa pun, termasuk Naumi,” kata Alfatra.
Percakapan itu berakhir dengan suasana tegang. Setelah makan malam selesai, Naumi menghampiri Alfatra di teras rumah.
“Terima kasih sudah jujur,” kata Naumi, tersenyum kecil. “Aku tahu kamu masih mencintai seseorang.”
Alfatra terkejut. “Bagaimana kamu tahu?”
Naumi tertawa kecil. “Insting. Aku bisa melihatnya dari caramu berbicara. Jadi, siapa dia?”
“Ariana,” jawab Alfatra tanpa ragu. “Dia cinta pertamaku, dan aku tidak pernah benar-benar melupakannya.”
Naumi mengangguk pelan. “Aku harap kamu bisa memperjuangkan dia. Tidak semua orang punya keberanian untuk melawan arus, apalagi demi cinta.”
“Terima kasih, Naumi. Kamu... jauh lebih kuat daripada yang aku kira,” kata Alfatra tulus.
Naumi hanya tersenyum dan melangkah pergi, meninggalkan Alfatra sendirian di teras.
---
Keesokan harinya, Alfatra memutuskan untuk mengambil langkah pertama untuk memperbaiki hubungan dengan Ariana. Ia mencari informasi tentang kesibukan Ariana melalui teman-teman lama mereka, hingga akhirnya tahu bahwa Ariana akan menghadiri sebuah pameran seni malam itu.
Alfatra tiba di galeri seni dengan hati yang berdebar. Ia melihat Ariana berdiri di depan sebuah lukisan, berbicara dengan beberapa orang. Wajahnya memancarkan kepercayaan diri, tetapi Alfatra tahu bahwa di balik itu, ada luka yang belum sepenuhnya sembuh.
Mengumpulkan keberaniannya, Alfatra mendekatinya. “Ariana,” panggilnya pelan.
Ariana berbalik, dan untuk sesaat, ekspresinya berubah. Namun, ia segera menguasai diri. “Alfa. Apa yang kamu lakukan di sini?”
“Aku ingin bicara, Ari. Aku tahu kamu sibuk, tapi tolong beri aku waktu sebentar,” pinta Alfatra dengan nada memohon.
Ariana terdiam, lalu mengangguk. “Baiklah. Kita bicara di luar.”
Di luar galeri, udara malam terasa dingin. Ariana menyilangkan tangan di depan dada, menatap Alfatra dengan sorot mata penuh pertanyaan.
“Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan?” tanyanya.
“Aku ingin memperbaiki segalanya, Ari. Aku tahu aku sudah membuat banyak kesalahan, dan aku tidak bisa mengubah masa lalu. Tapi aku ingin mencoba lagi. Aku ingin kita mulai dari awal,” kata Alfatra, suaranya penuh emosi.
Ariana tertawa kecil, tetapi tidak ada kehangatan di dalamnya. “Kamu pikir semudah itu, Alfa? Kamu pikir dengan kata-kata, semuanya akan baik-baik saja?”
“Aku tahu ini tidak mudah. Aku hanya... aku tidak bisa menyerah tanpa mencoba,” jawab Alfatra.
Ariana menatapnya lama, lalu berkata, “Aku butuh waktu, Alfa. Aku tidak tahu apakah aku bisa percaya padamu lagi.”
“Aku akan menunggu. Aku tidak peduli berapa lama, asalkan kamu memberiku kesempatan,” ujar Alfatra tulus.
Ariana menghela napas panjang. “Kita lihat saja nanti. Tapi jangan berharap terlalu banyak.”
Alfatra mengangguk, merasa bahwa meskipun kecil, itu adalah awal yang baik.