Jion selalu saja bertengkar dengan perempuan dan sangat tidak menyukai sifat perempuan yang menurutnya terlalu dibuat-buat dan menggelikan. Seperti saat Jion melempar kecoa keluar ruangan, semua perempuan di kantongnya malah berteriak seolah Jion melemparnya ke arah mereka. padahal itu keluar, belum lagi para perempuan itu terlalu banyak drama dengan emosinya. Membuat Jion sangat enggan berpacaran, terakhir dia memiliki kekasih itu berakhir karena Cila memaksanya untuk menikah. katanya jika tak kunjung ada kepastian hubungan tiada arti. jadi Jion memilih untuk menyudahi hubungannya, dari pada mengikuti keinginan Cila. alasannya karena Jion tak mau hidupnya lebih banyak drama lantaran pernikahan. baru pacaran saja Jion sudah pusing karena emosi Cila. apalagi menikah? Jion sangat merendahkan posisi perempuan karena baginya perempuan hanya hiasan dunia dan hanya untuk jadi alat kehidupan.
hingga akhirnya Jion menjadi makhluk yang dia remehkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sweetdark, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lembah
Matahari telah berganti dengan gelapnya malam, walaupun cahaya dari senter bisa menerangi jalan, tetap saja bisa membuat seseorang tidak menyadari adanya batu kecil di depannya, membuat kakinya tersandung jatuh kedepan, Untung saja di hadapannya ada batang pohon besar, jadi dia tidak terguling ke bawah.Tanjakan tinggi sudah berganti dengan penurunan yang begitu curam. Dibawahnya ada rawa yang berwana hijau pekat.
Tongkat kayunya yang sebelah kiri terjatuh, masuk tepat di tengah air yang semula tenang.
Entah lumut, atau memang airnya berwarna hijau, yang jelas melihat nya di tengah gelap malam dengan cahaya senter membuat jantung terpompa dan keringat dingin mengucur.
Melihat kebawah sana, tak hanya membuat bulu kuduk berdiri, membayangkan hewan yang bersemayam di air muncul kepermukaan, menunggu mangsa untuk mengisi kekosongan perut lalu di perebutkan oleh hewan predator lain. Bahkan lebih buruk, yang ada di dalam kepala pun bisa saja terjadi, jika terjatuh kesana.
Melihat tongkatnya yang tidak muncul ke permukaan,
Yeri segera membuyarkan pikiran negatifnya, takut ada hewan yang dia takuti muncul, mata dan senter di kepalanya tak sengaja melihat ke jurang itu secara spontan, segera dia mengalihkan fokus terhadap jalan yang aman, menjauhkan diri dari tebing tanpa pembatas ini. Sedangkan Leon merasa lega karena adiknya itu berhasil selamat.
"Hei jangan terlalu bersemangat, apa kau mau di makan oleh para buaya di bawah sana?" Leon menyenter wajah Yeri, gadis itu terlihat sedikit pucat, lantaran terkejut atas kejadian tadi. Tak bisa di pungkiri, jantung dan kaki Leon menjadi syok juga lantaran Yeri yang hampir saja terjatuh.
"Biarkan saja tongkat kayu itu, pakai ini," Leon ingin menyerahkan salah satu tongkat, tetapi Yeri menolak.
"Tidak, aku tidak butuh,"
Mungkin jika tidak ada batang pohon tua besar itu, adiknya sudah terjun bebas kebawah sana.
Yeri memang gadis pendek yang begitu keras kepala!
Mendengar kata buaya, membuat Yeri berjalan perlahan, menjauhkan diri dari bagian jalan yang dekat dengan tebing. Biarlah kulitnya tersentuh oleh rumput, daripada nyawanya hilang karena buaya.
Melihat gadis itu terus melanjutkan perjalanan di tengah gelap, Leon menjadi gusar.
"Aku tahu kau begitu ambisi untuk menemukan Hans, tapi setidaknya jangan gegabah!" Leon turun perlahan, dengan tongkat kayu yang tadi sore dia buat.
"Iyaa aku minta maaf,"
"Jangan terburu-buru, perjalanan kita masih cukup panjang," Leon mengingatkan. Pasalnya keberadaan pasti dari suami Jenny belum mereka ketahui, hanya desas-desus saja jika Hans tinggal di desa Ashheim.
Desa bagian selatan ini sebenarnya sangat sulit di temukan, ada yang mengatakan kalau desa itu hanya dongeng. Ada juga yang berspekulasi jika masuk ke desa yang cantik itu tidak akan bisa lagi keluar.
Tetapi Yeri tidak peduli, dia harus menemukan pria yang membuat kacau hidup Jenny.
Perjalan yang menukik ke bawah ini cukup cepat mereka lalui, hampir larut malam mereka akhirnya sampai di dataran,
"Kita beristirahat di sekitar sini ya?"
Yeri mengangguk setuju, "Baik kak,"
Mereka hanya membawa satu tenda kecil, dan makanan ringan. Jika makanan habis tentu buah di ladang orang akan mereka petik untuk mendapatkan energi.
Masuk ke dalam tenda yang sudah di dirikan oleh Leon, merebahkan diri. Yeri terdiam menutup mata dengan lengannya.
Leon duduk di luar, dia hanya akan tidur diluar, lagi pula cuaca begitu panas walaupun malam hari.
Suara jangkrik dan hewan malam lainnya terdengar. Dalam hati, Leon memohon agar jangan ada hewan buas yang menjenguknya. Melawan hewan itu butuh tenaga ekstra, dan harus mengalahkan mereka dengan cara mencabut nyawanya. Leon sebenarnya tidak tega, tetapi hewan mana mengerti belas kasih? Yang ada jika Leon mengalah, dia akan masuk ke pencernaan hewan itu.
"Kak, apa kau sudah tidur?"
Leon yang tengah melihat ke langit malam yang penuh bintang itu, berdehem menjawab
panggilan adiknya.
"Hmm,"
"Sebenarnya ada satu hal lagi yang aku lupa," Yeri menggigit bibirnya, merasa gugup atas kebodohan yang baru saja dia sadari.
"Apa itu?" Leon menggaruk hidung lantaran ada serangga kecil yang terbang hampir masuk ke dalam pernapasannya.
"Apa jika aku mengatakan hal ini, kakak akan membatalkan perjalanan kita?"
Kening Leon berkerut, rahangnya mengeras, apalagi yang tengah adiknya sembunyikan dan baru di ungkapkan setelah melakukan perjalanan yang cukup jauh.
Menahan diri agar tidak mengamuk, Leon mengepalkan tangan, "Akan aku pertimbangkan,"
Merasa jawaban Leon bisa berarti mereka batal melakukan perjalanan dan pencarian ini, membuat Yeri kesal. Tetapi jika tidak mengatakan kebodohan yang dia lewatkan, itu sama saja mencari sesuatu tetapi tidak tahu apa yang tengah di cari.
"Cepat katakan, atau perjalanan kita hanya akan sia-sia!" Leon masih menahan dirinya.
Memang tidak baik membiarkan wanita yang memimpin ,mengambil keputusan dan tindakan, seharusnya Leon menanyakan semua hal secara detail dan matang lalu memastikannya dulu sendiri. Bukan malah mempercayai semua tindakan dan perkataan Yeri. Karena wanita suka sekali membumbui cerita, bahkan memperumit hubungan.
"Sebenarnya..."
"Aku tidak tahu wajah Hans,"
Mendengar ucapan Yeri, lelaki berambut cokelat itu melepaskan kepalan tangannya.
"Yaa tentu saja, aku pun tidak tahu. Aku hanya pernah bertemu dengan Kyoji," merasa lega atas kebodohan Yeri. Leon lalu mengintip gadis yang tengah terbaring di tenda.
"Lalu bagaimana caranya kita bisa menemukan Hans, jika kita tidak tahu seperti apa bentuknya?" Yeri membuka mata dan menangkap netra Leon.
"Bukankah kau pernah mendengar cerita Jenny, tentang pria itu?"
"Mata hitam pekat, dengan tubuh tinggi, pinggang ramping, dan otot-otot yang menggoda?" Ujar Yeri, seingatnya hanya itu yang di katakan oleh Jenny.
Wajah Leon menyerengit, wanita memang aneh, bagaimana bisa menemukan seseorang hanya dengan mata hitam, lalu tubuh tinggi, pinggang, lalu otot menggoda? Jika seperti itu akan banyak lelaki yang mereka temui akan sesuai dengan kriteria.
Pencarian ini bisa berujung buntu.
Jika mencari hanya mengandalkan sebuah nama, bahkan nama Hans itu sangat pasaran. Jika mereka mencari seorang yang sangat penting dan terkenal, mungkin saja orang akan mengetahui. Tetapi Hans hanya orang kaya dari bagian Utara, lalu pria itu melarikan diri ke selatan. Tentu tidak akan ada yang tahu tentang dirinya.
"Apa tidak ada ciri khas dari pria itu?"
Bibir Yeri mengerucut, "Bagaimana aku bisa tahu?"
Leon tidak tahan, dia menyentil kening Yeri.
"Augh sakit!!" Memegangi keningnya, Yeri merasa kesal.
"Untuk apa kita melakukan perjalanan sejauh ini jika kau sendiri tidak tahu paras atau ciri khas orang itu!!" Leon sangat ingin menyeret Yeri saat ini, begitu kesal karena mempercayai bahwa adiknya lihai dan penuh perhitungan. Nyatanya, Yeri tak jauh seperti Lay, cerdas hanya sesaat. Selebihnya hanya kedok.
"Tunggu kak! Aku ingat Jenny pernah bilang kalau Hans memiliki mata merah kecoklatan yang jarang di miliki oleh orang!" Yeri menahan Leon dengan menarik baju lelaki itu.
"Mata?"
"Iya kak, mata merah kecoklatan, semakin di tatap mata itu seolah menyala seperti api!"