Erlangga Putra Prasetyo, seorang pemuda tampan dengan sejuta pesona. Wanita mana yang tidak jatuh cinta pada ketampanan dan budi pekertinya yang luhur. Namun di antara beberapa wanita yang dekat dengannya, hanya satu wanita yang dapat menggetarkan hatinya.
Rifka Zakiya Abraham, seorang perempuan yang cantik dengan ciri khas bulu matanya yang lentik serta senyumnya yang manja. Namun sayang senyum itu sangat sulit untuk dinikmati bagi orang yang baru bertemu dengannya.
Aira Fadilah, seorang gadis desa yang manis dan menawan. Ia merupakan teman kecil Erlangga. Ia diam-diam menyimpan rasa kepada Erlangga.
Qonita Andini, gadis ini disinyalir akan menjadi pendamping hidup Erlangga.Mereka dijodohkan oleh kedua orang tuanya.
Siapakah yang akan menjadi tambatan hati Erlangga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda RH, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Curhatan Mami Fatin
Erlangga baru saja sampai di rumah. Di sana sudah ada Kendra yang menunggunya. Mereka sedang bermusyawarah untuk melamar Qonita.
Papa Pras menghubungi Pak Dion untuk memperjelas semua.
"Pak Dion, tolong anda bujuk Qonita agar mau melakukan lamaran dengan Kendra."
"Pak Pras, anda tidak bisa memaksakan kehendak anda seperti ini."
"Pak Dion, kalau saja anda tidak berbuat ulah, mana mungkin saya tega melakukan semua ini?"
Pak Dion terdiam.
"Kalau Qonita tidak mau, ya sudah! Ini tidak masalah bagi kami. Tapi ingat, perusahaan anda yang akan bermasalah. Pikirkan itu baik-baik. Masih bagus Kendra dengan ikhlas mau melamar Qonita." Papa Pras terpaksa mengeluarkan kata-kata menohoknya.
Ia pun menutup telponnya secara sepihak.
"Bagaimana Pa?"
"Dasar keras kepala! Biarkan saja kalau mereka masih tidak mau. Toh perusahaan kita tidak akan mengalami kerugian banyak."
"Pa, maafkan Er."
"Bukan salahmu juga, Er."
Bunda Winda datang membawakan makan ringan untuk mereka.
"Dimakan dulu, biar pikirannya jernih."
Erlangga memijat kedua pelipisnya. Ia merasa sedikit pusing kepala.
"Bang, kamu baik-baik saja?"
"Em... sedikit pusing Bun."
"Pasti kurang tidur."
"Iya, Bun."
Tidak lama kemudian, handphone Bunda Winda berdering. Ia mengangkat telponnya. Ternyata yang menelpon adalah Mami Fatin. Mami Fatin curhat masalah perjodohan Rifka. Sebenarnya Bunda Winda sangat terkejut akan hal itu. Namun ia mencoba tenang. Ia menjadi pendengar yang baik bagi saudaranya.
"Jadi Rifka tidak mau, gitu mbak?"
"Iya, aku rasa begitu dek. Dia selalu menolak jika dijodohkan. Tapi kali ini Papinya bersikeras agar Rifka tidak menolak lagi."
"Mungkin dia punya pacar, Mbak?"
"Nggak mungkin. Dia mana pernah pacaran. Papinya sudah mengawasi dia. Nggak pernah yang namanya pacaran dek."
"Seperti apa orang yang dijodohkan dengannya kali ini, Mbak?"
"Itu lho dek, anaknya Pak Zainal. Pengusaha tekstil. Klop banget kalau dia jadi sama Rifka kan?
"Oh... iya."
"Menurut mbak sih ya, anaknya manis. Dia juga mandiri kok. Tapi kalau Rifka tidak mau masa' ia mau dipaksa. Kan kasian, dek. Mbak jadi dilema. Mbak mau cerita sama Bunda, tapi Mbak takut Bunda kepikiran."
"Jangan deh mbak."
"Ah nggak enak gini kalau ceritanya di telpon ya. Nanti sore aku main ke rumahmu ya, dek."
"Boleh, Mbak."
"Ya sudah, mbak tutup dulu. Assalamu'alaikum... "
"Wa'alaikum salam... "
Bunda Winda termenung setelah menerima telpon dari sang Kakak. Ia langsung terpikirkan pada putra sulungnya. Bunda Winda segera meletakkan handphone-nya lalu pergi menemui suami dan putranya lagi ke ruang tamu.
Sampai di ruang tamu, Bunda Winda bisa bernafas lega karena kata suaminya Qonita setuju untuk dilamar Kendra. Jadi mereka akan mengadakan lamaran besok malam. Kendra pulang ke rumahnya untuk memberitahu kedua orang tuanya. Semua biaya tentu Papa Pras yang akan menanggungnya. Erlangga sangat berterima kasih kepada sahabat sekaligus asisten pribadinya itu.
Setelah kepulangan Kendra, Erlangga masuk ke kamarnya untuk beristirahat karena matanya perih dan otaknya sedang mumet. Begitu pun dengan Bunda dan Papanya.
Tiba waktunya makan siang. Melihat putranya belum keluar dari kamar, Bunda Winda pun menghampiri Erlangga ke kamarnya.
Tok tok tok
"Bang.... "
"Iya Bunda... "
Erlangga segera membuka pintu kamarnya.
"Kamu sehat kan, Bang?"
"Hem, iya Bunda. Setelah tidur sebentar, sudah nggak pusing lagi."
"Ayo kita makan siang dulu."
"Iya, Bunda."
"Kamu tidak pintar berbohong, Nak. Bunda tahu kamu sedang menyembunyikan sesuatu." Batin Bunda.
Erlangga pun ikut bergabung makan siang bersama keluarga lainnya. Mereka makan dengan nikmat. Setelah selesai makan siang, Erlangga kembali ke kamarnya untuk shalat Dhuhur.
Sore pun tiba.
Mami Fatin benar-benar mengajak meminta antar sopir untuk pergi ke rumah Bunda Winda. Tadinya ia ingin mengajak suaminya, tapi ternyata Papi Zaki sedang ada pertemuan dengan kliennya yang ada di Surabaya. Sebenarnya Mami Fatin bisa saja mengendarai mobil sendiri, namun Papi Zaki melarangnya.
"Mami mau ke rumah Aunty Winda?" Tanya Rifka.
"Iya, mau ikut?"
"Nggak deh, Mi."
"Huh, alhamdulillah... Mami kan mau curhat masalah kamu. Kalau kamu ikut kan lucu jadinya. "
"Kalau aku ikut, aku akan bertemu dengannya. Lalu bagaimana aku bisa melupakannya?" Batin Rifka.
Mami Fatin pun siap berangkat.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 20 menit, akhirnya mereka sampai. Bunda Winda sudah menunggu kedatangan Mami Fatin di depan pintu rumah.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam."
Mereka berdua sangat senang bisa bercengkrama berdua. Kebetulan Papa Pras dan Erlangga keluar ke Mall bersama Kendra juga untuk membeli barang seserahan.
Mami Fatin dan Bunda Winda ngobrol di taman belakang. Sedangkan Pak sopir menunggu di pos satpam sambil ngopi. Msmi Fatin menceritakan apa yang telah terjadi kepada Rifka.
"Bayangin gimana aku nggak khawatir, dek? Rifka itu berbeda dengan anak perempuan ku yang lain. Papinya takut dia akan asik dengan dunianya sehingga tidak ingin menikah."
"Aku ngerti kekhawatiran kalian, Mbak. Kita hampir memiliki kekhawatiran yang sama. Erlangga sampai saat ini tidak mau menikah. Dan itu bukan karena dia tidak menyukai lawan jenisnya, tapi aku menangkap ada seseorang yang dia tunggu."
Bunda Winda tidak berani mengatakan yang sebenarnya kepada saudaranya, karena ia tidak ingin lancang mendahului Erlangga. Ia harus tahu pasti keinginan putranya itu agar tidak salah mengambil langkah.
"Hah, benarkah? Apa jangan-nangan Rifka juga sama seperti Er ya, dek?"
"Mungkin, bisa jadi."
"Aku sih nggak tahu Mbak apa Rifka memiliki perasaan yang sama dengan Er. Tapi aku merasa begitu." Batinnya.
"Apa aku tanya saja ya sama Rifka. Tapi kalau ditanya mesti jawabannya itu nggak adalah. Dial cuma belum siap menikah. Huh... serba salah sama anak dan sui kalau begini."
Bunda Winda mengulum senyum dan mendekap saudaranya.
"Sabar ya, Mbak. Tetap do'akan saja yang terbaik. Kita saling men do'akan. "
"Iya dek, makasih. Aku cukup lega setelah cerita sama kamu. Semoga apa pun keputusan Rifka nanti tidak membuat Papinya emosi. Maklum sudah tua, suka hipertensi haha.... "
Sementara di Mall. Tiga lelaki sibuk mencari barang untuk lamaran. Mulai dari, baju, tas, sepatu dan peralatan make-up juga perhiasan. Kendra sangat antusias dalam mempersiapkan semuanya. Erlangga hanya bisa berdo'a semoga hati Qonita bisa terbuka untuk Kendra. Setelah mendapatkan barang-barang tersebut, mereka langsung membawanya ke galery Bunda Winda untuk dibungkus. Galery sudah tutup, tapi mereka sengaja menaruhnya di sana, agar besok pagi saat buka, karyawannya bisa langsung mengeksekusi barang-barang tersebut.
Mereka pun pulang secara terpisah.
Sesampainya di rumah, ternyata sudah waktu Isyak. Mereka langsung shalat Isyak. Sedangkan Mami Fatin baru saja pulang dari rumah mereka.
Bersambung....
...****************...
Readers nikmati saja alurnya ya.
Jangan lupa supportnya untuk author. Karena support kalian semangat untuk author 🥰
Thank you 😘
lanjut
semangat untuk up date nya
semoga bahagia terus Erlangga dan Rifka