Naura, seorang gadis desa, terjerat cinta pria kaya raya—Bimo Raharja, saat memulai pekerjaan pertama di kota.
Pada suatu hari, ia harus menahan luka karena janji palsu akan dinikahi secara resmi harus kandas di tengah jalan, padahal ke-dua belah pihak keluarga saling mengetahui mereka telah terikat secara pernikahan agama.
"Mas Bimo, tolong jangan seperti ini ...." Naura berbicara dengan tangis tertahan.
"Aku menceraikan kamu, Naura. Maaf, tapi aku telah jatuh cinta pada wanita lain."
Baru saja dinikahi secara agama, tapi tak lama berselang Naura ditinggalkan. Masalah semakin besar ketika orang tua Naura tahu jika Bimo menghamili wanita lainnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lintang Lia Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26. Bertemu Raka
Kota itu masih sama. Langitnya abu-abu, jalanannya ramai, tetapi terasa sepi di hati Naura.
Pagi ini, ia memutuskan kembali ke kota dengan satu tujuan mengambil barang-barangnya di apartemen Bimo.
Di sepanjang perjalanan, pikirannya kosong. Kereta yang ia naiki melaju cepat, tapiwaktu terasa begitu lambat.
Napasnya berat setiap kali ia mengingat wajah Bimo, suaranya, dan janji-janji manis yang pernah mereka bangun bersama.
“Mungkin aku harus melupakan semuanya,” gumamnya pada dirinya sendiri, meski ia tahu kata-kata itu hanya bohong belaka.
Sesampainya di apartemen, Naura berdiri beberapa saat di depan pintu.
Tangannya gemetar saat memegang kunci yang masih ia miliki.
Dengan perlahan, ia memutar kunci itu dan mendorong pintu hingga terbuka.
Ruangan itu masih seperti dulu—tertata rapi, harum khas ruangan Bimo, menyambutnya.
Namun, ada yang berbeda.
Tidak ada lagi kehangatan di sini. Baginya, ruangan ini kini hanyalah kenangan pahit yang menusuk-nusuk hatinya.
Langkah Naura tertahan ketika matanya menangkap sesuatu di atas meja makan.
Sebuah amplop berwarna cokelat, dengan nama "Bimo & Citra" tertulis rapi di permukaannya.
Ia mendekat dan meraih amplop itu dengan tangan gemetar.
Isinya undangan.
Undangan pernikahan.
Dadanya seperti dihantam palu besar saat membaca nama mereka berdua tertera jelas di sana. Tangannya bergetar hebat, amplop itu hampir terjatuh.
“Bimo ... Citra....”
Seolah waktu berhenti. Hawa di ruangan itu tiba-tiba terasa mencekik.
Naura merasakan sesak luar biasa di dadanya.
Ia ingin menjerit, tapi suaranya tak keluar. Matanya mulai memanas, air mata menggenang di pelupuknya.
“Jadi, selama ini .... semua sudah direncanakan?” suaranya tercekat.
“Aku hanya permainanmu?”
Seketika tubuhnya terasa lemas. Ia merosot ke lantai, mencengkeram undangan itu dengan erat.
Tangisnya pecah, tapi ruangan itu terlalu dingin dan hening untuk meredamnya. Bimo benar-benar telah pergi.
Bukan hanya meninggalkannya, tapi juga menikah dengan orang lain.
Naura bangkit dengan kaki yang lemah. Tanpa memikirkan apapun, ia berlari keluar dari apartemen.
Langkahnya terhuyung, air matanya tak henti mengalir. Hatinya terasa seperti dirobek-robek, dibiarkan hancur tanpa sisa.
"Kenapa, Mas? Kenapa sampai seperti ini?"
Ia terus berjalan tanpa arah. Di kepalanya hanya ada satu kalimat: lebih baik aku tidak ada ... lebih baik semuanya berakhir.
*
Langit masih mendung ketika Naura tiba di salah satu jembatan besar di pusat kota.
Sungai di bawahnya mengalir deras, suaranya bergemuruh memecah keheningan.
Angin berhembus kencang, menyibak rambutnya yang berantakan. Naura berjalan mendekat, lalu menaiki pembatas jembatan. Tangannya terentang, seakan memeluk udara.
Dari atas sini, dunia terasa jauh. Semua rasa sakit, semua kepedihan, mungkin akan menghilang jika ia membiarkan dirinya terjatuh.
Naura benar-benar hancur hingga ingin mengakhiri hidup.
“Tidak ada lagi yang perlu aku perjuangkan ...,” bisiknya, suaranya nyaris tenggelam oleh angin.
“Bimo ... kamu sudah menghancurkan aku ....”
Air matanya terus mengalir, menyatu dengan dinginnya angin yang menerpa wajahnya.
“Naura!”
Suara keras itu terdengar samar di telinganya.
Namun, Naura tidak peduli. Tangannya tetap terbentang, tubuhnya sedikit condong ke depan.
“Naura, turun dari situ!”
Suara itu semakin dekat.
Sebuah mobil berhenti mendadak di tengah jalan, dan seseorang berlari ke arahnya.
Itu Raka.
Dengan napas terengah, ia mendekat dan melihat Naura yang hampir terjatuh.
“Naura! Apa yang kamu lakukan?” suaranya menggema, panik, tentu saja.
Naura menoleh dengan mata berkaca-kaca. Melihat Raka justru membuatnya semakin lemah.
“Biarkan aku, Mas Raka ... biarkan semuanya selesai ....” Suaranya bergetar.
Raka melangkah lebih dekat, sangat hati-hati.
“Naura, dengarkan aku. Jangan lakukan ini. Kamu tidak sendiri, kamu bisa melewati ini ....”
Naura tertawa kecil, tapi tawanya penuh kepedihan.
“Aku? Melewati ini? Aku sudah hancur, Mas. Tidak ada yang bisa menyelamatkanku ....”
Tubuhnya semakin condong ke depan, membuat Raka panik.
Dengan cepat, ia melompat dan meraih tubuh Naura, menariknya turun dari pembatas.
“Lepaskan aku! Lepaskan!” Naura berteriak sambil meronta.
“Tidak akan!” seru Raka sambil memeluknya erat. “Aku tidak akan membiarkan kamu melakukan hal bodoh seperti ini!”
Naura akhirnya menyerah. Tubuhnya melemas di dalam pelukan Raka.
Ia menangis histeris, tangis yang selama ini ia tahan.
Raka hanya memeluknya erat, mencoba memberikan kehangatan di tengah dinginnya angin dan derasnya hujan yang mulai turun.
“Kenapa, Mas? Kenapa aku harus mengalami ini?” isaknya lirih.
Raka menghela napas panjang, merasa perih melihat keadaan Naura.
“Kamu kuat, Naura ... kamu jauh lebih kuat dari yang kamu kira.”
Naura menggeleng lemah, air matanya terus mengalir.
“Aku tidak kuat ... aku lelah, Mas Raka. Aku ingin berhenti.”
Raka menatap wajah Naura yang penuh air mata. Matanya yang biasanya tegas kini dipenuhi kesedihan.
Dengan lembut, ia mengusap kepala Naura, mencoba menenangkannya.
“Naura, aku tahu ini berat. Tapi percayalah, semua ini akan berlalu. Kamu akan melewati semuanya, kamu akan bahagia lagi.”
Naura tidak menjawab. Ia hanya menangis dalam diam, memeluk Raka lebih erat seakan takut kehilangan satu-satunya pijakan yang tersisa.
Di tengah derasnya hujan, dua sosok itu berdiri di atas jembatan, mengabaikan beberapa orang berlalu lalang yang memperhatikan mereka.
Setelah beberapa saat, Raka memegang kedua bahu Naura dan menatapnya serius.
“Ayo, kita pulang. Kamu butuh istirahat. Kita akan bicarakan ini nanti.”
Naura hanya menunduk, tidak memiliki kekuatan untuk melawan.
Raka merangkul bahunya, membawanya menuju mobil yang diparkir di pinggir jalan.
Hujan mengguyur keduanya tanpa ampun, tapi Raka tidak peduli. Yang penting baginya adalah menyelamatkan Naura dari keterpurukan.
Di dalam mobil, Naura bersandar lemas di kursi penumpang. Raka meliriknya dengan penuh iba, hatinya terasa sakit melihat gadis itu hancur seperti ini.
“Bimo benar-benar keterlaluan ...,” gumam Raka pelan, tapicukup terdengar oleh Naura.
Naura menoleh dengan mata yang sembab.
“Kenapa, Mas? Kenapa dia melakukan ini padaku?”
Raka tidak langsung menjawab.
Ia hanya menghela napas panjang, lalu berkata dengan suara pelan, “Kadang ... orang yang kita cintai bisa menjadi orang yang paling menyakiti kita. Tapi itu bukan salahmu, Naura. Kamu hanya memberi hati pada orang yang salah.”
Naura kembali menangis pelan. Kata-kata Raka seakan menamparnya, menyadarkannya bahwa mungkin, selama ini, cintanya pada Bimo memanglah sebuah kesalahan.
Mobil itu melaju pelan di tengah derasnya hujan. Naura memandang keluar jendela, pikirannya kosong.
Namun jauh di dalam hatinya, dendam dan tekad itu kembali tumbuh.
"Aku akan mencari tahu semua tentang kamu, Bimo. Kamu akan menyesal telah menghancurkan aku seperti ini."
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Naura berjanji pada dirinya sendiri untuk bangkit. Bukan untuk cinta, tapi untuk dirinya sendiri.
***
Mobil yang dikendarai Raka terus melaju pelan melewati jalanan basah.
Hujan tak juga mereda, malah semakin deras. Di dalam mobil, hening. Naura masih terisak pelan, menatap kosong ke luar jendela.
Suara hujan yang menghantam kaca mobil seolah menyatu dengan tangisnya yang mulai mereda.
Raka, yang duduk di sebelah kemudi, sesekali melirik ke arah Naura. Ekspresi wajahnya tak bisa menyembunyikan kepedihan yang ia rasakan.
Gadis yang dulu selalu ia lihat ceria dan penuh senyum kini tampak rapuh, seolah telah kehilangan arah hidup.
Setelah beberapa saat, Raka berdeham pelan, berusaha memecah kesunyian.
“Naura ...,” panggilnya lembut.
Naura menoleh perlahan. Matanya sembab dan wajahnya pucat.
“Iya, Mas?” suaranya terdengar serak.
Raka mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, “Aku tahu ini berat buat kamu. Tapi kamu nggak bisa terus-terusan seperti ini.”
“Terus, aku harus apa, Mas? Seolah semua yang pernah aku percaya, semua yang pernah aku perjuangkan ... semuanya hancur dalam sekejap. Rasanya nggak ada lagi yang bisa aku lakukan.” Naura tersenyum pahit.
“Kamu bisa bangkit,” jawab Raka tegas.
“Kamu punya pilihan untuk memperbaiki semuanya. Jangan biarkan Bimo atau siapa pun membuatmu merasa kalah.”
Naura menggeleng lemah, lalu bersandar kembali ke kursi.
“Aku lelah, Mas. Aku nggak tahu harus mulai dari mana. Bimo ....” Suaranya tercekat.
“Dia udah menghancurkan aku sepenuhnya. Aku bahkan nggak tahu siapa diriku lagi.”
Raka menatap lurus ke depan, tangannya mencengkeram kemudi dengan erat.
Tatapannya tajam, tapi suaranya tetap lembut ketika berkata, “Kalau kamu nggak tahu harus mulai dari mana, biarkan aku yang bantu.”
Naura memandangnya dengan bingung. “Apa maksud Mas?”
Raka meliriknya sekilas sebelum melanjutkan, “Aku tahu kamu butuh sesuatu untuk mengalihkan pikiranmu. Kamu butuh kesibukan, sesuatu yang bisa membuat kamu lupa sama semua ini.”
Naura terdiam, menatap Raka dengan bingung.
“Maksud Mas ...?”
“Aku punya teman yang sedang butuh bantuan di perusahaannya,” kata Raka, suaranya serius tapi penuh harap.
“Dia lagi buka posisi yang mungkin cocok buat kamu. Aku tahu kamu punya potensi, Naura. Kamu bisa mulai sesuatu yang baru. Ini saatnya kamu berdiri lagi dan membuktikan kalau kamu bisa hidup tanpa bayang-bayang Bimo.”
Naura menatap Raka lama, seakan mencerna setiap kata yang ia dengar.
Namun, jauh di dalam hatinya, masih ada keraguan.
“Mas Raka, aku nggak yakin ....” Suaranya nyaris berbisik. “Aku nggak tahu apakah aku sanggup.”
Raka menatapnya serius, lalu memarkir mobil di pinggir jalan. Ia berbalik menghadap Naura, kedua matanya penuh keyakinan.
“Kamu pasti sanggup, Naura. Aku percaya sama kamu,” katanya tegas.
“Jangan biarkan dirimu terus-menerus tenggelam dalam kesedihan. Kalau kamu terus di sini, terus mengingat semuanya, kamu nggak akan pernah sembuh.”
Naura memalingkan wajahnya, matanya mulai kembali berkaca-kaca. Kata-kata Raka terasa seperti tamparan lembut yang menyadarkannya dari keterpurukan.
“Aku hanya ingin kamu bahagia, Naura,” lanjut Raka, suaranya lebih lembut kali ini.
“Aku tahu Bimo sudah menghancurkan hati kamu. Tapi hidup kamu nggak berhenti sampai di sini. Kamu punya hak untuk memulai lagi.”
Naura terdiam lama. Kata-kata Raka menyusup jauh ke dalam hatinya. Ada ketakutan di dalam dirinya, tapi ada juga secercah harapan.
Untuk pertama kalinya sejak kepergian Bimo, ia merasa seperti seseorang sedang menggenggam tangannya dan membantunya bangkit.
“Pekerjaan apa, Mas?” tanyanya pelan, nyaris tak terdengar.
Raka tersenyum tipis, seolah lega mendengar Naura membuka dirinya sedikit.
“Aku jelasin nanti, yang pasti ini sesuatu yang cocok buat kamu. Aku janji, Naura. Kamu akan mulai merasa lebih baik.”
Naura hanya bisa menatap Raka tanpa berkata apa-apa. Dalam hatinya, perasaan bercampur aduk, sedih, takut, dan harapan yang entah dari mana datangnya.
Raka menyalakan mesin mobil kembali, lalu berkata dengan nada serius tapi bersahabat, “Mulai sekarang, aku nggak akan biarkan kamu sendirian lagi. Aku akan ada di sini sampai kamu bisa bangkit. Dan suatu hari nanti, kamu akan lupa sama Bimo.”
Naura menunduk, bibirnya bergetar. Satu kalimat dari Raka seakan menggantung di benaknya: "Suatu hari, kamu akan lupa sama Bimo."
Benarkah itu mungkin? Bisakah ia melupakan semuanya?
Mobil melaju kembali di bawah derasnya hujan, seolah membawa Naura pergi dari kesedihannya.
(Bersambung....)
si Naura pun bodoh juga Uda di ingatkan