Pinky, gadis rusuh dan ceplas-ceplos, tergila-gila pada Dev Jaycolin meski cintanya selalu ditolak. Suatu kejadian menghancurkan hati Pinky, membuatnya menyerah dan menjauh.
Tanpa disadari, Dev diam-diam menyukai Pinky, tapi rahasia kelam yang menghubungkan keluarga mereka menjadi penghalang. Pinky juga harus menghadapi perselingkuhan ayahnya dan anak dari hubungan gelap tersebut, membuat hubungannya dengan keluarga semakin rumit.
Akankah cinta mereka bertahan di tengah konflik keluarga dan rahasia yang belum terungkap? Cinta Gadis Rusuh & Konglomerat adalah kisah penuh emosi, perjuangan, dan cinta yang diuji oleh takdir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
"Kenapa aku menjadi tersangka, padahal aku yang menjadi korban penculikan? Apakah kalian tidak menyelidiki dengan baik?" tanya Pinky dengan nada tinggi.
Ryan, seorang polisi muda dengan sorot mata tajam, menatapnya tanpa ekspresi. "Kenapa Anda tidak datang melapor kalau Anda adalah korban penculikan?" tanyanya, nada suaranya tetap tegas meski berusaha terdengar netral.
"Aku masih trauma dan butuh waktu," jawab Pinky dengan suara gemetar. "Lagi pula, aku dan mama adalah orang miskin. Sedangkan Sania dibela oleh papaku dan juga kaya. Mana mungkin aku bisa menuntut dia?"
Ryan menghela napas panjang. Sebelum ia sempat berbicara lagi, Shane, rekan kerjanya, menyela. "Ini bukan masalah kaya atau tidak. Kalau Anda memiliki bukti, Anda bisa langsung datang ke kantor polisi," ujar Shane dengan nada sedikit lebih lembut, berusaha menenangkan situasi.
"Bagaimana aku bisa pergi kalau aku saja masih trauma? Lagi pula aku berusaha tidak memberitahu mamaku," Pinky menjawab dengan nada penuh keputusasaan. Matanya mulai memerah, menahan tangis yang hampir meledak. "Aku tidak tahu siapa yang menyebarkan rekaman itu. Aku hanya berharap mamaku tidak melihatnya. Bagaimana perasaannya setelah tahu anaknya diculik oleh selingkuhan suaminya sendiri?" lanjutnya dengan pura-pura sedih.
Ryan menatap Shane, seolah meminta pendapat. Shane hanya mengangguk kecil, menyetujui langkah selanjutnya. Ryan kemudian menatap Pinky dengan tegas. "Nona Pinky, tolong ikut kami ke kantor polisi. Harap kerja samanya," ucap Ryan dengan nada formal.
Pinky mengangguk pasrah. "Baiklah, karena kalian sudah tahu hal ini, aku ingin melayangkan tuntutan pada Sania," ucapnya dengan nada dingin. Ia berdiri perlahan, mengangkat kedua pergelangan tangannya yang masih terlihat bekas ikatan tali. "Dia menculikku dan ingin kedua anak buahnya melecehkan aku. Itu tuduhannya. Kedua tanganku saja masih ada bekas ikatan. Bisa diperiksa," tegasnya sambil menunjukkannya kepada Ryan dan Shane.
Beberapa saat kemudian, di kantor polisi, suasana ruangan interogasi terasa tegang. Pinky duduk di kursi kayu keras, menatap seorang pria paruh baya dengan raut wajah cemberut. Polisi itu adalah Detektif Meels, seorang pria yang sudah lama bertugas dan dikenal karena pendekatannya yang blak-blakan.
"Kenapa kau lagi?" kata Meels dengan nada sinis, menatap Pinky dari atas kacamatanya. "Kenapa kau selalu menjadi korban dan tersangka, seakan-akan manusia di dunia ini sudah pupus?" lanjutnya sambil menyandarkan tubuhnya di kursi, menatap Pinky dengan ekspresi mencurigakan.
Pinky mendengus pelan, mencoba menahan emosinya. "Jangan salahkan aku. Aku adalah korban. Ini bukan pilihanku juga!" jawabnya dengan nada penuh frustrasi.
Meels membuka laptop di depannya dan mulai mengetik sesuatu dengan cepat. Setelah beberapa detik, ia menatap Pinky dengan tatapan tajam. "Katakan apa yang terjadi!" perintahnya tanpa basa-basi, suaranya menggelegar di ruangan kecil itu.
Pinky menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum mulai berbicara. "Sania menculikku karena dia ingin aku menghilang dari kehidupan ayahku. Dia menyuruh anak buahnya untuk—" Pinky berhenti.
Meels mengetik dengan cepat, mencatat setiap detail yang Pinky ucapkan. Suara ketikan terdengar nyaring, seakan menambah beban pada suasana yang sudah mencekam. "Teruskan," perintah Meels, tidak menunjukkan belas kasihan sedikit pun.
Setelah setengah jam memberikan keterangannya, Pinky berusaha tetap tenang meski emosinya menguasai. Namun, ketenangan itu terusik ketika Mark, ayah Pinky, melangkah masuk diikuti oleh Sania, wanita yang telah menghancurkan keluarganya.
"Kedatanganku adalah untuk mengklarifikasi bahwa rekaman itu palsu," ujar Sania dengan angkuh. Ia melipat tangannya di dada, pandangannya penuh penghinaan terhadap Pinky. "Aku tidak akan melakukan hal yang merugikan diriku sendiri, apalagi di tempatku sendiri."
Pinky tersenyum sinis, pandangan matanya tajam menatap wanita itu. "Yang namanya pelaku mana mungkin mengaku," balasnya dengan dingin. "Merebut suami dari ibuku saja kau tidak malu. Apalagi yang tidak berani kau lakukan?" Sindirannya tajam menusuk, membuat wajah Sania berubah tegang.
Mark, yang merasa keadaan mulai memanas, melangkah mendekati Pinky. Ia menarik lengan putrinya dengan paksa. "Cepat katakan apa yang sebenarnya terjadi! Kenapa Jenny bisa menjadi korban pelecehan?" tanyanya dengan suara keras, matanya menatap Pinky dengan penuh tekanan.
Pinky menarik tangannya dari genggaman ayahnya dengan kasar. Tatapannya penuh kemarahan dan luka. "Kenapa? Apakah kalau korbannya adalah aku, kau akan merasa lebih lega?" balas Pinky dengan nada getir, suaranya bergetar menahan emosi.
"Pinky..." Mark mencoba meredakan situasi, tetapi suaranya terhenti oleh langkah cepat Sania yang mendekati Pinky.
"Dasar kurang ajar!" bentak Sania dengan penuh amarah, tangannya melayang cepat ke wajah Pinky.
Plak!
Tamparan keras itu membuat kepala Pinky menoleh ke samping. Suara itu menggema di ruangan, membuat semua orang terdiam sesaat.
"Putriku hancur karena kau! Aku akan memastikan kau masuk ke dalam penjara!" seru Sania dengan penuh kebencian, matanya berkilat tajam.
Namun, Pinky tidak tinggal diam. Dengan cepat, ia membalas tamparan itu dengan lebih keras.
Plak!
Tamparan Pinky menghantam wajah Sania, membuatnya terhuyung mundur. Bekas lima jari terlihat jelas di pipi Sania yang memerah.
Ruangan itu langsung dipenuhi ketegangan. Ryan dan Shane, yang berdiri di sudut ruangan, segera melangkah maju untuk melerai.
"Sudah cukup! Ini kantor polisi, bukan tempat kalian menyelesaikan dendam pribadi!" seru Ryan dengan suara tegas. Ia berdiri di antara Pinky dan Sania, memastikan tidak ada serangan lanjutan.
Sania memegang pipinya yang masih perih, menatap Pinky dengan penuh kebencian. "Kau akan menyesal, Pinky. Aku bersumpah akan menghancurkan hidupmu!" ancamnya dengan suara serak.
"Semua ini adalah bagian dari rencanamu, Jalang!" seru Pinky, suaranya tegas dan dingin, menusuk seperti belati. "Dan seharusnya kau merasa bersalah karena putrimu yang menjadi korbanmu sendiri!"
Pinky melanjutkan dengan nada yang semakin tajam, "Dengan tidak tahu malunya, kau malah menyalahkan aku, seolah-olah semua ini salahku! Padahal kau yang memulai semua kehancuran ini!"
"Pinky, jaga bicaramu!" bentak Mark, mencoba mengambil kendali situasi. Namun, Pinky tidak gentar.
"Aku sudah cukup lama diam," jawab Pinky, matanya kini beralih menatap pria yang seharusnya melindunginya. "Tapi aku tidak akan diam lagi. Tidak untuk wanita seperti dia atau untukmu." Pinky menunjuk Sania dengan penuh keberanian.
Pinky menoleh ke arah Detektif Meels, dan berkata dengan tegas," Dengar baik-baik! Aku ingin menuntut wanita ini yang berusaha melukaiku. Dan...pria ini adalah ayah kandungku yang menelantarkan aku di saat aku usia 3 tahun. Selama ini mamaku yang membesarkan aku dengan kedua tangannya. Aku harus putus sekolah karena dia tidak membantu biayaku. Dia hanya fokus pada anak luar nikahnya!" ucap Pinky dengan nada tegas.