"Kamu mau kan, San? Tolong, berikan keturunan untuk Niklas. Kami butuh bantuanmu," pesan Elma padaku.
Meski Elma telah merenggut kebahagiaanku, tetapi aku selalu kembali untuk memenuhi keinginannya. Aku hanyalah alat. Aku dimanfaatkan dan hidup sebagai bayang-bayang Elma. Bahkan ketika ini tentang pria yang sangat dicintainya; pernikahan dan keturunan yang tidak akan pernah mereka miliki. Sebab Elma gagal, sebab Elma dibenci keluarga Niklas—sang suami.
Aku mungkin memenangkan perhatian keluarga Niklas, tetapi tidak dengan hati lelaki itu.
"Setelah anak itu lahir, mari kita bercerai," ujar Niklas di malam kematian Elma.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kimmysan_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Garis Positif
Pagi-pagi sekali aku terbangun karena lagi-lagi merasa mual. Kali ini lebih hebat dari biasanya. Aku bangkit dari tempat tidur. Terpaku sejenak karena tubuh Niklas yang masih terlelap di sofa. Tak mau dia terbangun, aku keluar dari kamar menuju kamar mandi luar.
Tepat di depan wastafel, aku berusaha mengeluarkan isi perut, muntah-muntah di sama selama beberapa saat. Suaraku yang keras mungkin akan membuat Ayah Irfan dan Niklas bangun. Maka setelah merasa sedikit enakan, aku menenangkan diri sebentar.
Wajahku terlihat pucat di depan refleksi cermin. Seketika aku terpikir tentang testpack. Ya, aku harus segera mengeceknya. Benda itu untungnya berada di saku piyama karena aku sempat merampasnya di laci meja rias.
"Aku akan senang kalau kamu ada di perutku, tapi kalau misal pun kamu belum ada, aku juga nggak akan mempermasalahkannya," ujarku seraya mulai mengikuti instruksi yang dibeberkan pada bungkus testpack.
Selama sekian detik setelah mengikuti arahan itu, aku menanti dengan cemas. Aku menggerakkan benda itu dengan pelan, berharap hasilnya akan segera terlihat. Harap cemas menguasai tubuhku dalam hitungan detik. Aku menggigit kuku dengan penuh kekhawatiran.
Perlahan-lahan hasil pengecekan terlihat kian jelas. Dua garis yang muncul di sana membuat mataku terbelalak. Aku berjalan gusar sekaligus senang. Hamil! Ya, aku hamil! Aku akan menjadi seorang ibu?
Senyum merekah di bibirku, meski dengan keadaan lesu dan sedikit pusing. Hatiku bersorak senang, walaupun kemudian fakta menampar dengan telak; fakta bahwa pria yang menghamili aku adalah Niklas, pria yang pernah menjadi kekasihku dan mantan suami mendiang Elma.
"Nggak apa-apa, San. Lebih cepa hamil, lebih cepat kamu terbebas dari Niklas," gumamku sambil mencuci muka berkali-kali.
Sesaat setelah merasa tenang, aku keluar dari kamar mandi. Akan tetapi, keberadaan Ayah Irfan dan Niklas di depan kamar mandi membuatku melotot kaget. Sepertinya aku tak perlu bersembunyi lagi. Niklas menatapku tanpa ekspresi, sedangkan Ayah Irfan terlihat agak cemas.
"Bagaimana, San?" tanya Ayah Irfan. Dalam nada bicaranya terdengar kekhawatiran. "Ayah nggak bisa diam saja. Niklas suami kamu dan harus mengetahui kondisimu."
"Aku baik-baik saja," ujarku.
"San, ayolah." Ayah Irfan tampak memohon. "Kamu pasti ingin tau juga, kan?"
Tanpa menjawab Ayah Irfan, aku menyerahkan testpack di kantong piyama. Tangan pria itu sedikit bergetar saat meraihnya. Sepasang mata Ayah Irfan mengamati keterangan di sana dengan cermat.
Lalu, tanpa memedulikan aku, Ayah Irfan mendekati Niklas dan menyerahkan testpack. Kerutan di dahi Niklas terlihat samar ketika membaca keterangan garis yang menunjukkan aku positif hamil. Kedua mata Niklas menatapku seakan tak percaya.
Reaksi Niklas, sejujurnya aku menantikannya. Namun, aku segera melengos saat tatapan kami bertemu.
"Butuh dicek lagi dan periksa ke Dokter Rita. Hasilnya bisa saja nggak akurat kalau cuma periksa sekali," ungkapku seraya melenggang ke kamar.
Di luar dugaanku, Niklas mengekor. Pria itu menahan lenganku sesaat setelah kami masuk kamar. Meninggalkan Ayah Irfan yang masih di ruang keluarga.
"Kenapa lagi?" tanyaku, "kalau aku beneran hamil, tugasku sudah selesai, kan? Aku akan merawat calon bayiku dengan baik sementara kita bahas perpisahan. Jangan lupa, setelah kamu tau aku hamil, kamu nggak akan menemuiku lagi."
"Tsania ...."
Enggan mendengar respons Niklas, aku melangkah ke kamar mandi lagi. Kali ini hanya untuk menenangkan diri saja. Aku terlalu malas berdebat dengan Niklas pagi-pagi begini.
———oOo———
"Selamat ya, Tsania. Akhirnya apa yang kamu dan Niklas nantikan, terwujud juga." Dokter Rita tersenyum lebar padaku. Dia kemudian menjabat tangan Niklas. "Selamat, Niklas. Kamu akhirnya akan menjadi seorang ayah. Saya nggak sabar untuk lebih sering bertemu dan memeriksa Tsania serta calon buah hati kalian."
Tampang Niklas yang bisanya terlihat dingin, seketika menjadi super ramah di hadapan Dokter Rita. Menunjukkan bahwa seakan kami pasangan bahagia yang memang sangat menantikan momen ini. Fakta, kami menantikan ini, tetapi kami bukan pasangan bahagia.
"Ibumu sudah mengetahuinya?" tanya Dokter Rita.
"Belum. Saya sengaja ingin memberitahu setelah mendapat hasil pemeriksaan dari Anda," tutur Niklas.
"Ah ya, lebih baik begitu. Saya yakin, ibumu pasti akan sangat senang. Karena sudah sangat lama dia menantikan seorang cucu."
Ucapan Dokter Rita tak menenangkan hatiku. Butuh cucu? Ya, mereka butuh keturunan lagi untuk mewarisi kekayaan keluarga Atmaja. Niklas anak satu-satunya yang menjadi harapan mereka. Sekarang aku mengandung anak Niklas. Itulah yang mereka harapkan. Perlahan peranku akan segera berkahir.
Barangkali setelah anak ini lahir, aku akan disingkirkan. Niklas ... tentu saja aku akan dicerai olehnya. Jika dia tak menceraikan aku selama hamil, kemungkinan setelah anak kami lahir.
Aku tak masalah jika dia ingin berpisah saat aku hamil. Lebih baik begitu, kalau mentalku akan terus terganggu karena dia kerap membawa Bianca ke rumah.
"Tsania, jaga dirimu, ya. Lain kali kita bertemu lagi," kata Dokter Rita sembari memelukku sekian detik.
"Terima kasih, Dokter," balasku.
Kami lantas berpamitan pada Dokter Rita. Terjebak lagi dalam kebisuan yang canggung. Bahkan setelah naik ke Jeep Niklas, aku tak banyak bersuara. Hanya menyandarkan kepala ke kisi pintu mobil, mengamati lalu lintas yang ramai sore ini.
Begitu pula Niklas yang ikut diam. Aku tak heran, tak ada yang mau dia bicarakan, itu pasti. Karena sekarang aku sudah hamil, dia pasti tak akan membutuhkan aku lagi.
"Niklas, kenapa ke sini? Aku masih mau di rumah ayah," kataku memprotes saat Niklas membawa Jeep-nya menuju rumah.
"Pulang dan istirahat di rumah saja. Besok ibuku pasti akan datang. Aku nggak mau dia berpikir yang nggak-nggak, Tsania."
"Maksudmu?'
Namun, Niklas tak menjawab pertanyaanku. Selama sekian detik aku mengamatinya. Mencari-cari sendiri maksud tersembunyi dari ucapannya.
"Kamu takut ibumu tau kita bertengkar dan perbuatanmu bisa saja terbongkar?" tanyaku sesaat setelah menebak-nebak.
"Jaga bicaramu."
"Ya, kamu pasti takut perbuatanmu dan Bianca diketahui oleh Ibu Julia. Kalau kamu setakut itu, kenapa kamu harus membawanya ke rumahmu, Niklas? Apa nggak cukup hanya bertemu di luar?"
Niklas menghela napas. "Tsania? Kubilang jaga bicaramu."
"Tapi, aku benar, kan? Kamu memintaku pulang untuk menyembunyikan perbuatan ...."
Tiba-tiba Niklas mengerem mendadak. Aku terkesiap kaget saat kening nyaris membentur dashboard.
"Aku nggak memiliki hubungan apa pun dengan Bianca, jadi berhenti bersikap seakan kamu mengetahui banyak hal!" sergah Niklas.
"Kamu pikir aku bodoh?"
Niklas memejamkan mata selama sekian detik. Dia mengusap wajahnya sedikit frustrasi. "Kamu serius ingin seperti ini? Ingin kita memulainya dari awal? Ingin bersikap selayaknya suami-istri yang saling mencintai dan mencemburui satu sama lain?"
Pertanyaan Niklas membuatku terdiam selama sekian detik. Dia melepas seat belt yang menahan tubuhnya. Niklas mendekat dan menatapku lekat-lekat sebelum akhirnya mencium bibirku tanpa permisi.