seorang wanita muda yang terjebak dalam kehidupan yang penuh rasa sakit dan kehilangan, kisah cinta yang terhalang restu membuat sepasang kekasih harus menyerah dan berakhir pada perpisahan.
namun takdir mempertemukan mereka kembali pada acara reuni SMA tujuh tahun kemudian yang membuat keduanya di tuntun kembali untuk bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 8
Ayana yang berada dalam konflik batin antara masa lalunya dan kenyataan saat ini. Ayana masih menyimpan rasa rindu dan cinta kepada Biantara, yang mungkin adalah cinta sejatinya di masa lalu. Namun, dia menyadari bahwa hidupnya telah berubah drastis, dan sekarang dia memiliki tanggung jawab baru dalam pernikahannya dengan Devano.
Meskipun Ayana tidak mencintai Devano, dia merasa harus menghormati posisinya sebagai suami, terutama karena Devano telah berkorban banyak untuknya. Ini menunjukkan bahwa adanya pengorbanan, cinta yang tak tersampaikan, dan konflik antara kewajiban dan perasaan yang Ayana rasakan saat ini.
Pertarungan Hati Ayana
Ayana masih berdiri di balkon, melihat punggung Biantara yang perlahan menjauh. Dalam hatinya, ada gelombang perasaan yang sulit dia kendalikan. Sesuatu di dalam dirinya ingin berlari mengejar pria itu, melupakan semua batasan dan berkata jujur bahwa dia merindukannya. Namun, kenyataan hidupnya sekarang menghentikan langkah yang bahkan belum sempat dia ambil.
"Bi, aku merindukanmu. Tapi siapa aku sekarang? Aku bukan lagi gadis bebas yang bisa memilih siapa yang kucintai. Aku adalah istri dari pria yang tidak pernah kucintai, tapi setidaknya aku harus menghormati dia. Devano sudah banyak berkorban untukku... terlalu banyak." monolog ayana dalam hatinya
Sebuah angin dingin bertiup di balkon, membuat Ayana menggigil. Tapi itu bukan hanya karena cuaca. Itu karena pertempuran batin yang sedang dia rasakan. Dia menguatkan dirinya, menarik napas dalam-dalam, dan menahan air mata yang hampir jatuh.
Ayana kembali masuk ke ballroom. Dia memasang senyum tipis, mencoba menyembunyikan kekacauan yang melanda dirinya. Beberapa teman menyambutnya, bercanda tentang betapa Ayana terlihat lebih dewasa dan elegan sekarang. Namun, Ayana hanya menanggapinya dengan anggukan kecil, tanpa kata-kata lebih.
---
Setelah acara selesai, Ayana duduk di kursi belakang mobil yang menjemputnya. Jihan duduk di sampingnya, berbicara tentang betapa menyenangkannya reuni tadi. Namun, Ayana hanya terdiam, menatap keluar jendela, memikirkan Biantara. Matanya sedikit berkaca-kaca, tapi dia berusaha keras menahan diri.
"Kamu masih mikirin Biantara, ya?"Jihan memecah keheningan
Ayana tidak menjawab, hanya menghela napas panjang. Setelah beberapa detik, dia akhirnya berbicara, dengan suara yang hampir tidak terdengar.
"Aku nggak bisa memungkiri apa yang aku rasakan, Ji. Tapi aku juga nggak bisa mengkhianati Devano. Dia mungkin bukan pria yang aku cintai, tapi dia suamiku. Dia berhak atas kesetiaanku, meskipun hatiku terasa seperti tidak utuh." tutur Ayana pelan
Jihan menatap Ayana dengan iba
"Kamu terlalu keras pada dirimu sendiri, Na. Tapi aku ngerti kenapa kamu merasa begitu. Kamu memang orang yang selalu memikirkan orang lain dulu, baru dirimu sendiri."
Ayana tersenyum tipis, matanya masih menatap keluar
"Ini bukan tentang aku lagi, Ji. Aku memilih untuk menghormati janji yang sudah aku buat. Itu saja yang bisa aku lakukan sekarang."
---
Ayana tiba di Surabaya minggu malam, ia menemukan Devano sudah tertidur di sofa ruang keluarga, masih mengenakan kemeja kerjanya. Dia terlihat kelelahan bahkan di hari libur pun ia masih tetap bekerja. Ayana berhenti sejenak, memandang suaminya dengan perasaan campur aduk. Meski dia tahu bahwa dia tidak mencintai Devano, dia tidak bisa mengabaikan pengorbanan pria itu untuknya selama ini.
Ayana mengambil selimut tipis dari kamar dan menutupkan ke tubuh Devano. Dia duduk di sofa di sebelahnya, menatap wajah suaminya yang tenang dalam tidur. Dalam hatinya, dia berbicara kepada dirinya sendiri.
"Kak Devan, aku tahu aku belum bisa mencintaimu. Tapi aku tahu kamu mencintaiku dengan tulus, dan aku tidak bisa mengkhianati itu. Aku harap, suatu saat aku bisa belajar mencintaimu seperti kamu mencintaiku." Monolog ayana dalam hatinya
Ayana berdiri, mematikan lampu, lalu berjalan ke kamar. Dia merebahkan tubuhnya di tempat tidur, menatap langit-langit kamar dengan mata yang berat. Malam itu, Ayana memutuskan untuk melepaskan bayangan Biantara, meski itu mungkin menjadi salah satu hal tersulit dalam hidupnya.
-----------
Pagi itu, sinar matahari masuk lembut melalui tirai tipis di ruang televisi. Ayana duduk bersandar di sofa, mengenakan baju santai dan memegang piring kecil berisi potongan cake. Di sebelahnya, Devano sibuk dengan laptop di pangkuannya, matanya fokus pada layar sementara jemarinya sibuk mengetik. Televisi di depan mereka menyala, menampilkan acara wawancara eksklusif.
Pembawa Acara di Televisi:
"Hadir bersama kami, pengusaha muda yang sangat menginspirasi, Biantara Prajadipta. Pemuda kelahiran Indonesia ini telah berhasil menorehkan prestasi luar biasa dengan bisnis yang menjangkau berbagai negara. Biantara, bisa Anda ceritakan bagaimana perjalanan Anda hingga bisa berada di posisi seperti sekarang?"
Ayana awalnya tidak terlalu memperhatikan. Namun, begitu nama Biantara Prajadipta disebut, tubuhnya seketika menegang. Piring kecil di tangannya bergeser sedikit. Matanya terpaku ke layar, sementara suara pewawancara terus mengalun.
"Semua ini tidak lepas dari dukungan keluarga saya, terutama ibu saya, yang selalu mengingatkan pentingnya pendidikan dan ketekunan dalam setiap langkah. Meski perjalanan ini tidak mudah, saya percaya bahwa setiap kegagalan adalah guru terbaik." Ucap Biantara di Televisi
Devano, yang masih sibuk dengan pekerjaannya, tampaknya juga mulai memperhatikan. Meski matanya tidak sepenuhnya beralih dari layar laptop, telinganya mendengar setiap kata yang keluar dari televisi.
Pembawa Acara di Televisi:
"Luar biasa! Dan, tentu saja, banyak yang penasaran, Biantara. Dengan kesibukan Anda yang luar biasa, bagaimana dengan kehidupan asmara? Adakah seseorang yang spesial saat ini?"
(Ayana tanpa sadar menggenggam ujung sofanya, jantungnya berdegup kencang. Wajah Biantara yang terlihat dewasa namun tetap menyimpan tatapan yang dulu ia kenal begitu baik kini memenuhi layar televisi.
Sambil tersenyum tipis, suaranya terdengar tenang namun tegas.
"Seseorang di masa lalu telah mengisi sepenuh hati saya. Hingga hari ini, saya merasa tidak ada ruang untuk orang lain. Jadi, saya belum berencana untuk menjalin hubungan dengan wanita mana pun lagi."
Potongan cake yang Ayana pegang jatuh ke piring di pangkuannya. Dia tidak bergerak, hanya menatap layar dengan tatapan kosong, seperti waktu berhenti. Di sebelahnya, Devano melirik ke arah televisi tanpa mengangkat kepalanya, tapi jelas bahwa dia mendengar setiap kata itu.
Devano dengan nada datar, masih mengetik
"Biantara, ya? Sepertinya pria itu cukup terkenal sekarang."
Ayana tidak menjawab. Tenggorokannya terasa kering, dan matanya mulai berkaca-kaca. Dia buru-buru menunduk, berpura-pura sibuk dengan piringnya untuk menyembunyikan wajahnya.
Devano melanjutkan, kini menatap Ayana
"Kamu kenal dia?"
Ayana terdiam sejenak, mencoba mengatur napasnya. Akhirnya, dia menjawab dengan suara pelan.
"Dulu... dia teman SMA." tutur ayana ragu
"Hanya teman?" yakin devano
Ayana mengangguk pelan, tidak berani menatap Devano. Namun, dia bisa merasakan tatapan suaminya yang tajam, seperti mencoba membaca lebih dalam dari jawabannya.
Devano mengembalikan pandangannya ke laptop, tapi jari-jarinya berhenti mengetik. Wajahnya tetap tenang, tapi rahangnya mengeras. Sementara itu, Ayana mencoba mengalihkan perasaannya, namun kata-kata Biantara terus terngiang di kepalanya.
"Bi... kenapa kamu harus berkata seperti itu? Kenapa aku masih bisa merasakan kehadiranmu, meski jarak dan waktu sudah memisahkan kita begitu jauh?"monolog ayana dalam hati
Ayana bangkit dari sofa, membawa piringnya ke dapur dengan langkah yang tergesa. Devano hanya mengawasinya tanpa kata, tapi di balik ketenangannya, pikirannya berputar, mencoba memahami perasaan Ayana yang terlihat begitu terganggu oleh sosok Biantara.
Devano menutup laptopnya, menatap kosong ke arah televisi yang masih menyala, sementara wajah Biantara tersenyum tenang di layar.