Raka, seorang pemuda 24 tahun dari kota kecil di Sumatera, datang ke Jakarta dengan satu tujuan, mengubah nasib keluarganya yang terlilit utang. Dengan bekal ijazah SMA dan mimpi besar, ia yakin Jakarta adalah jawabannya. Namun, Jakarta bukan hanya kota penuh peluang, tapi juga ladang jebakan yang bisa menghancurkan siapa saja yang lengah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 Kebenaran yang Terkuak
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan pekerjaan di proyek Tanah Abang semakin mendekati titik krusial. Raka mulai menyadari bahwa ritme hidupnya telah sepenuhnya dikuasai oleh pekerjaan. Namun, di sela-sela kesibukan, hubungannya dengan Nadia kembali membawa warna dalam hidupnya yang penuh tekanan.
Pagi itu, Raka sedang memeriksa dokumen kontraktor di kantornya ketika sebuah pesan dari Nadia masuk ke ponselnya.
"Raka, nanti makan siang bareng, ya? Ada hal penting yang mau aku omongin."
Raka membaca pesan itu dengan alis terangkat. Nadia jarang bersikap terlalu serius dalam percakapan mereka, jadi pesan ini membuatnya sedikit penasaran.
**Pertemuan yang Membawa Kabar**
Tepat pukul satu siang, Raka bertemu dengan Nadia di sebuah warung makan kecil dekat lokasi proyek. Suasana warung yang sederhana itu terasa kontras dengan tekanan yang mereka hadapi sehari-hari.
“Ada apa, Nad? Kamu tadi bilang ada yang penting,” tanya Raka sambil meminum segelas es teh.
Nadia menghela napas panjang, wajahnya terlihat sedikit gugup. “Aku nggak tahu gimana cara ngomongnya, tapi aku rasa kamu perlu tahu sesuatu soal proyek ini.”
Raka mengerutkan kening. “Maksud kamu?”
Nadia mengeluarkan beberapa dokumen dari tasnya dan meletakkannya di atas meja. “Aku nggak sengaja nemuin ini waktu ngecek invoice supplier. Ada kejanggalan dalam pengadaan beberapa material di proyek ini. Harga yang tercantum di invoice jauh lebih tinggi dari harga pasar.”
Raka mengambil dokumen itu dan memeriksanya dengan seksama. Matanya terpaku pada angka-angka yang tidak masuk akal.
“Ini serius, Nad? Kamu yakin nggak ada kesalahan pencatatan?” tanyanya, meskipun dalam hati ia tahu Nadia bukan tipe orang yang ceroboh dalam pekerjaannya.
“Aku udah cek berkali-kali. Bahkan, aku cross-check dengan beberapa supplier lain. Ada pihak yang sengaja menaikkan harga, dan itu dilakukan dengan persetujuan dari oknum di manajemen proyek,” jawab Nadia dengan nada tegas.
Raka terdiam. Informasi ini seperti bom yang meledak di pikirannya. Jika benar ada kecurangan seperti ini, maka proyek yang sedang ia kerjakan penuh dengan korupsi yang melibatkan banyak pihak.
**Menyelidiki Lebih Dalam**
Malam harinya, Raka tidak bisa tidur. Dokumen yang diberikan Nadia terus terngiang di pikirannya. Ia mulai bertanya-tanya siapa yang terlibat dalam permainan kotor ini, dan sejauh mana dampaknya terhadap proyek mereka.
Keesokan paginya, Raka memutuskan untuk menyelidiki lebih dalam. Ia mengumpulkan beberapa laporan keuangan proyek yang sebelumnya tidak pernah ia perhatikan secara detail. Ketika ia membandingkan data tersebut dengan informasi dari Nadia, semuanya mulai terlihat jelas.
“Ada banyak ketidaksesuaian,” gumamnya sambil mencoret-coret catatan di bukunya.
Namun, semakin dalam ia menyelidiki, semakin besar rasa takut yang menghantuinya. Ia tahu bahwa menyentuh masalah seperti ini bisa membahayakan dirinya, apalagi jika pihak yang terlibat memiliki kekuasaan besar.
**Dihadapkan pada Pilihan Sulit**
Beberapa hari kemudian, Raka memutuskan untuk menemui Pak Hasan. Ia merasa perlu membicarakan masalah ini dengan seseorang yang lebih senior, seseorang yang ia anggap bisa dipercaya.
“Pak Hasan, saya ingin bicara soal sesuatu yang penting,” katanya setelah masuk ke ruang kerja pria itu.
Pak Hasan mengangguk. “Apa yang ingin kamu sampaikan, Raka?”
Raka menjelaskan semua temuan yang ia dapatkan, termasuk dokumen dari Nadia dan analisis yang ia lakukan sendiri. Saat ia selesai berbicara, ekspresi wajah Pak Hasan berubah serius.
“Raka, kamu tahu apa yang sedang kamu lakukan ini sangat berisiko, kan?” tanya Pak Hasan dengan nada rendah.
“Saya tahu, Pak. Tapi saya nggak bisa diam saja. Kalau dibiarkan, ini bisa menghancurkan proyek, bahkan karier kita semua,” jawab Raka tegas.
Pak Hasan menghela napas panjang, lalu bersandar di kursinya. “Saya sudah lama curiga ada sesuatu yang tidak beres, tapi tidak punya bukti yang cukup. Kalau kamu yakin dengan temuan ini, kita harus melaporkannya ke manajemen pusat. Tapi kamu juga harus siap dengan konsekuensinya.”
Raka merasa dadanya semakin berat. Ia tahu ini bukan keputusan yang mudah. Melaporkan masalah ini berarti ia harus melawan sistem yang sudah ada, dan risikonya bisa sangat besar.
**Tekanan yang Meningkat**
Beberapa hari setelah percakapan itu, Raka mulai merasakan perubahan di lingkungan kerjanya. Beberapa rekan mulai bersikap lebih dingin kepadanya, dan ia merasa bahwa pembicaraan tentang penyimpangan ini mulai bocor.
Di sisi lain, Nadia terus mendukungnya. “Kita harus tetap maju, Raka. Kalau kita nggak berani bicara, siapa lagi yang akan meluruskan ini?” katanya dengan nada penuh semangat.
Namun, tekanan itu benar-benar mencapai puncaknya ketika Raka dipanggil oleh salah satu atasan dari manajemen pusat.
“Raka, saya dengar kamu sedang menyelidiki sesuatu yang tidak seharusnya kamu sentuh,” kata pria itu dengan nada tajam.
“Maaf, Pak. Tapi saya hanya ingin memastikan bahwa proyek ini berjalan sesuai aturan,” jawab Raka dengan tegas.
“Dengarkan saya baik-baik. Jangan terlalu banyak ikut campur dalam hal yang bukan urusanmu. Fokus saja pada pekerjaanmu, atau kamu akan menyesal,” ujar pria itu sebelum pergi meninggalkan Raka dengan perasaan campur aduk.
**Keputusan Akhir**
Malam itu, Raka kembali merenung di kosannya. Ia tahu bahwa melanjutkan penyelidikan ini akan membawanya ke situasi yang lebih berbahaya, tetapi ia juga tidak bisa berpura-pura tidak tahu.
Setelah berjam-jam berpikir, Raka akhirnya memutuskan untuk melanjutkan langkahnya, tidak peduli seberapa besar risikonya. Ia merasa bahwa ini adalah ujian terbesar dalam hidupnya, dan ia tidak boleh mundur.
“Kalau gue berhenti sekarang, semuanya akan sia-sia,” gumamnya sambil menatap langit-langit kamar.
Dengan tekad yang semakin kuat, Raka bersiap untuk menghadapi hari esok—hari yang mungkin akan menjadi penentu nasibnya di proyek ini, atau bahkan dalam hidupnya.
Keesokan paginya, Raka bangun dengan perasaan campur aduk. Semalam, pikirannya dipenuhi dengan kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa terjadi akibat pilihannya untuk terus menyelidiki masalah ini. Namun, ia tahu bahwa membiarkan korupsi berlanjut sama saja dengan mengkhianati prinsipnya sebagai seorang profesional.
Saat tiba di lokasi proyek, suasana tampak seperti biasa. Para pekerja sibuk dengan tugas masing-masing, dan suara mesin memenuhi udara. Namun, bagi Raka, semuanya terasa berbeda. Ia menyadari bahwa di balik hiruk-pikuk ini, ada permainan kotor yang sedang berlangsung.
Raka memutuskan untuk menemui Nadia lagi. Ia butuh dukungan dan masukan dari satu-satunya orang yang ia percaya sepenuhnya saat ini. Mereka bertemu di kantin kecil di dekat lokasi proyek.
“Kamu yakin mau terus maju, Raka?” tanya Nadia sambil menatapnya lekat-lekat.
“Aku nggak punya pilihan lain, Nad. Kalau aku berhenti sekarang, aku akan selalu merasa bersalah,” jawab Raka dengan nada serius.
Nadia tersenyum tipis.
“Aku akan bantu sebisa mungkin. Tapi kamu harus hati-hati. Orang-orang yang terlibat dalam ini pasti nggak akan tinggal diam.”
**Temuan Baru**
Setelah pertemuan itu, Raka semakin gencar menggali informasi. Ia mulai memeriksa lebih dalam dokumen-dokumen lama proyek dan mewawancarai beberapa rekan kerja yang ia anggap bisa dipercaya. Dari situ, ia menemukan pola yang menguatkan dugaan Nadia.
Setiap pembelian material dari supplier tertentu selalu memiliki markup yang tidak masuk akal. Bahkan, ada beberapa material yang tercatat dibeli tetapi tidak pernah sampai di lokasi proyek.
“Ini jelas permainan kotor,” gumam Raka sambil mencatat semua temuan itu di buku kerjanya.
Namun, semakin dalam ia menggali, semakin ia merasa bahwa ada sesuatu yang jauh lebih besar di balik semua ini. Data-data yang ia temukan mengarah pada keterlibatan beberapa nama penting di manajemen pusat.
**Tekanan dari Semua Sisi**
Beberapa hari kemudian, tekanan mulai datang dari berbagai arah. Salah satu rekan kerja Raka tiba-tiba mendekatinya dengan nada sinis.
“Gue denger-denger, lo lagi sibuk ngurusin hal yang bukan urusan lo, ya?” kata pria itu, yang bernama Ardi.
“Apa maksud lo?” tanya Raka, mencoba tetap tenang.
“Udah, lah. Fokus aja sama kerjaan lo. Jangan cari masalah,” ujar Ardi sebelum pergi dengan senyum licik di wajahnya.
Raka mulai merasa bahwa gerak-geriknya diawasi. Beberapa pekerja yang sebelumnya ramah kini tampak menjauh darinya, seolah takut ikut terseret dalam masalah yang ia ungkapkan.
Namun, tekanan terbesar datang ketika ia menerima panggilan dari nomor yang tidak dikenal.
“Raka, kami tahu apa yang sedang kamu lakukan. Saran saya, berhenti sekarang sebelum semuanya jadi lebih buruk buat kamu,” kata suara di ujung telepon.
“Siapa ini?” tanya Raka, meskipun ia tahu tidak akan mendapatkan jawaban.
Telepon itu langsung terputus, meninggalkan Raka dengan perasaan was-was.
**Sebuah Kejadian Tak Terduga**
Pada suatu malam, ketika Raka sedang dalam perjalanan pulang ke kosannya, ia merasa ada seseorang yang mengikutinya. Ia mencoba tetap tenang, tetapi langkah-langkah kaki di belakangnya semakin mendekat.
Tiba-tiba, seorang pria tak dikenal muncul dari sudut jalan dan berdiri di depannya. Pria itu bertubuh besar, dengan wajah yang tampak tidak ramah.
“Lo Raka, kan?” tanya pria itu dengan nada mengintimidasi.
“Iya. Ada apa?” jawab Raka sambil berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang.
“Gue cuma mau bilang, lo nggak usah ikut campur soal proyek itu. Kalau lo masih keras kepala, jangan salahin gue kalau sesuatu yang buruk terjadi,” kata pria itu sebelum pergi meninggalkan Raka yang tertegun.
Ancaman itu membuat Raka sadar bahwa dirinya kini berada dalam bahaya nyata. Namun, bukannya mundur, ancaman itu justru semakin menguatkan tekadnya.
**Langkah Besar**
Keesokan harinya, Raka kembali menemui Pak Hasan untuk membahas langkah berikutnya.
“Pak, saya rasa kita harus melaporkan ini ke pihak yang lebih tinggi. Kalau dibiarkan, ini bisa menghancurkan integritas kita semua,” kata Raka tegas.
Pak Hasan mengangguk pelan. “Saya setuju, Raka. Tapi kita harus punya bukti yang cukup kuat. Kalau tidak, kita hanya akan menjadi sasaran mereka.”
Raka mengerti risiko yang mereka hadapi. Ia dan Pak Hasan mulai mengumpulkan semua dokumen yang relevan, termasuk data dari laporan keuangan, invoice, dan temuan lainnya. Mereka tahu bahwa ini bukan tugas mudah, tetapi mereka bertekad untuk melakukannya.
**Malam yang Sunyi**
Malam itu, Raka kembali ke kosannya dengan tubuh lelah tetapi hati yang sedikit lega. Ia tahu bahwa jalan yang ia pilih ini penuh dengan risiko, tetapi ia merasa bahwa ia berada di jalur yang benar.
Sambil menatap keluar jendela, ia melihat gemerlap lampu kota Jakarta yang tidak pernah padam. Ia tahu bahwa di kota ini, kebenaran sering kali dikalahkan oleh kekuasaan. Namun, ia tidak akan menyerah begitu saja.
“Jakarta mungkin keras, tapi gue nggak akan kalah,” gumamnya dengan penuh tekad.
Raka menutup matanya, bersiap untuk menghadapi tantangan yang lebih besar di hari esok. Ia tahu bahwa perjuangannya baru saja dimulai.
hadeh hadeh, kesal banget klo inget peristiwa pd wktu itu :)