DIBUANG ANAKNYA, DIKEJAR-KEJAR AYAHNYA?
Bella tak menyangka akan dikhianati kekasihnya yaitu Gabriel Costa tapi justru Louis Costa, ayah dari Gabriel yang seorang mafia malah menyukai Bella.
Apakah Bella bisa keluar dari gairah Louis yang jauh lebih tua darinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ria Mariana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Alice merasa kesal dan hendak membalasnya tapi orang suruhan Louis langsung menghalau tangan Alice.
"Lepaskan tanganku!" teriak Alice.
Pria itu melepaskannya dan Alice menatap tajam ke arah Bella.
"Kamu yang murahan, saat aku masih ada hubungan dengan Gabriel, kamu merebutnya dariku bahkan kamu mau jadi simpanannya," kata Bella.
"Ambillah Gabriel! Rudalnya sangat kecil dan tidak membuatku puas," ucap Alice.
Bella tersenyum kecut karena pada akhirnya Alice mengaku.
"Nikmatilah rudal kecil itu! Aku sudah mendapatkan rudal besar, panjang dan jumbo sampai aku berteriak kesakitan tapi terasa candu," kata Bella memanas-manasi Alice.
Alice merasa kesal. "Kita lihat saja! Seberapa lama usia pernikahan kalian."
Kemudian wanita menyebalkan itu pergi dan Bella menghela nafas panjang.
Bella kemudian kembali ke kamar hotelnya dengan sebuah kotak pizza di tangan dan segelas coklat panas di tangan lainnya. Langkahnya terasa sedikit lebih ringan setelah menghabiskan waktu di luar, meski pria suruhan Louis masih saja mengawasinya dari kejauhan. Dia mendorong pintu kamar dan menutupnya pelan.
Setelah meletakkan kotak pizza di meja kecil di samping tempat tidur, Bella menyalakan televisi. Bella duduk di ujung ranjang, menyandarkan punggungnya pada bantal, lalu membuka kotak pizza.
Dia menggigit sepotong pizza sambil sesekali menyeruput coklat panasnya. Namun, perhatiannya tiba-tiba tertuju pada berita yang muncul di layar televisi.
Gambar seorang wanita anggun dengan gaun merah yang berkilauan muncul di layar, tersenyum lebar sambil memegang piala emas. Pembawa berita melaporkan dengan antusias.
"Giselle, mantan istri pengusaha ternama Louis Costa berhasil memenangkan Piala Citra sebagai Aktris Terbaik tahun ini!"
Bella menghentikan kunyahannya, matanya terpaku pada layar. Wajah Giselle tampak memancarkan kebahagiaan dan kebanggaan saat dia berpose di depan para fotografer, kilatan kamera menghujani setiap gerakannya.
Bella menelan pizza yang tersisa di mulutnya dengan susah payah. Giselle begitu berkilau di panggung itu, di tengah sorotan lampu dan pujian dari semua orang. Seorang wanita dengan karir gemilang dan nama besar yang diperoleh dari kerja kerasnya di dunia hiburan.
Sementara Bella? Dia hanyalah seorang gadis biasa, tanpa gelar atau prestasi yang mengesankan.
Bella meletakkan potongan pizza yang tersisa ke dalam kotak, kehilangan nafsu makannya. Di layar, Giselle masih tersenyum, memberikan pidato kemenangan yang penuh haru.
"Hah! Menyebalkan!"
Bella mematikan televisi dan rasa bosan terus menghantuinya.
**
Malam itu, Louis membuka pintu kamar hotel dengan perlahan. Bella duduk di tepi ranjang, punggungnya menghadap pintu. Wajahnya masam, dan dia sama sekali tidak memutar kepala untuk melihat Louis.
"Bella, aku baru saja selesai mengurus beberapa pekerjaan penting," ucapnya sambil menutup pintu.
Bella tidak menjawab, bahkan tidak menoleh. Hanya diam, matanya tetap tertuju ke arah jendela.
"Aku tahu hari ini tidak berjalan baik. Tapi aku benar-benar harus menyelesaikan urusan itu," kata Louis.
Bella tetap diam.
"Kamu tidak mau bicara padaku?" tanya Louis.
"Bicara? Apa gunanya bicara kalau aku selalu merasa diabaikan?" jawab Bella kesal.
"Aku tidak mengabaikanmu dan aku memang sibuk bekerjam" ucap Louis.
"Tapi aku bosan, Louis! Aku bosan sendirian, bosan dikurung di kamar ini," teriak Bella.
Louis merasa bingung dan frustrasi menghadapi Bella yang tetap dingin padanya. Dengan langkah berat, Louis masuk ke dalam kamar mandi dan mengunci pintunya pelan, lalu mengeluarkan ponselnya. Dia menekan nomor Alister lalu berharap asistennya bisa memberinya petunjuk.
Setelah beberapa dering, suara Alister terdengar di ujung sana.
"Selamat malam, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?"
"Aku butuh bantuanmu. Bella sedang marah, dan aku tidak tahu apa yang harus kulakukan," ucap Louis.
"Maksud Anda, Nona Bella masih marah karena urusan pekerjaan, Tuan?"
"Bukan cuma itu, dia bilang dia merasa diabaikan. Aku sudah minta maaf, dan dia tetap tidak mau bicara padaku," jawab Louis.
"Tuan, mungkin Nona Bella butuh lebih dari sekadar kata-kata maaf. Wanita seusianya, apalagi yang masih muda, biasanya butuh perhatian lebih," jelas Alister.
"Perhatian lebih? Maksudmu, aku harus melakukan apa? Membawanya ke tempat yang dia suka?"
"Itu bisa jadi salah satu cara, Tuan. Tapi mungkin lebih penting lagi, Anda perlu menunjukkan bahwa Anda benar-benar peduli. Bukan hanya lewat kata-kata, tapi lewat tindakan," jawab Alister.
"Tindakan seperti apa? Kamu tahu, aku tidak terbiasa menghadapi situasi seperti ini," ucap Louis bingung.
"Coba tunjukkan bahwa Anda mengerti perasaannya, Tuan. Dengarkan dia, mungkin ajak bicara tanpa menganggapnya sebagai masalah yang harus diselesaikan. Nona Bella mungkin hanya butuh didengarkan."
"Maksudmu aku kurang mendengarkannya, Alister?"
"Saya tidak bermaksud begitu. Hanya saja, wanita muda seperti Nona Bella sering merasa ingin dimengerti tanpa perlu dijelaskan. Mereka ingin tahu bahwa perasaan mereka dianggap penting," ucap Alister.
Louis mengangguk meskipun Alister tak bisa melihatnya. "Jadi, kau pikir aku harus duduk saja dan mendengarkan?"
"Mungkin begitu dan jika itu tidak berhasil, beri dia kejutan kecil seperti bunga mungkin atau hal sederhana yang dia sukai, sebagai tanda perhatian," ucap Alister.
Louis mendengus pelan. "Bunga? Huh! Terdengar tidak menarik."
"Setidaknya, itu akan menunjukkan bahwa Anda perhatian padanya," jawab Alister.
"Baiklah, aku akan coba. Semoga ini berhasil. Terima kasih, Alister."
"Sama-sama, Tuan. Semoga sukses berbicara dengan Nona Bella," ucap Alister.
***
Keesokan harinya, Louis bangun lebih awal dari biasanya. Dia memutuskan untuk tidak pergi bekerja dan mengambil hari libur. Dia mengenakan pakaian kasual, berbeda dari biasanya yang selalu formal, dan menyiapkan dirinya untuk hari yang panjang bersama Bella.
"Hari ini, aku tidak bekerja," katanya mencoba terdengar ceria.
"Pentingkah untukku?" ketus Bella.
"Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat untuk menghabiskan waktu bersama," ucap Louis.
"Baiklah," jawab Bella singkat.
Perjalanan berlangsung dengan suasana yang canggung. Bella masih memandang keluar jendela, tampak enggan untuk memulai obrolan. Louis mencoba beberapa kali mengajaknya bicara, tapi hanya mendapat jawaban pendek. Akhirnya, dia memutuskan untuk diam dan fokus pada tujuan mereka.
Setelah perjalanan yang cukup jauh, mereka tiba di sebuah tempat yang dikelilingi oleh hamparan bunga yang luas. Louis mengajak Bella untuk turun. Wanita itu menatap sekeliling, matanya terbelalak karena terkejut.
"Apa ini?" tanya Bella.
"Ini taman bunga dan aku ingin memberikan ini untukmu," ucap Louis.
Bella terdiam, wajahnya bingung. "Apa maksudmu, Louis?"
"Aku menghadiahkan tempat ini untukmu. Seluruh kebun bunga ini milikmu sekarang."
Bella mengerutkan kening. "Kamu menghadiahkan kebun bunga untukku?"
"Ya, tentu saja. Semua wanita suka bunga, dari pada aku hanya memberikan 1 tangkai lebih baik aku berikan sekebun-kebunnya," jawab Louis.
"Oh, Tuan, saya tidak bermaksud se-ekstrim ini..." Alister bergumam pelan pada dirinya sendiri.
Tiba-tiba...
"Huaaachooo... huaaachooo... huaaachooo..."
Bella bersin-bersin berulang kali.
"Ada apa?" tanya Louis terkejut.
"Aku... huachoooo... alergi bunga... huaachoooo!" jawab Bella lalu menjauh dari sana.
Louis melirik Alister dengan kesal, Alister menelan ludahnya kasar karena salah memberikan salah. Louis lalu menghampiri Bella yang masuk ke dalam mobil.
"Jual kembali kebun ini!" ucap Louis sambil menatap tajam asistennya.