Karina kembali membina rumah tangga setelah empat tahun bercerai. Ia mendapatkan seorang suami yang benar-benar mencintai dan menyayanginya.
Namun, enam bulan setelah menikah dengan Nino, Karina belum juga disentuh oleh sang suami. Karina mulai bertanya-tanya, apa yang terjadi pada suaminya dan mulai mencari tahu.
Hingga suatu hari, ia mendapati penyebab yang sebenarnya tentang perceraiannya dengan sang mantan suami. Apakah Karina akan bertahan dengan Nino? Atau ia akan mengalami pahitnya perceraian untuk kedua kalinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fahyana Dea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berbeda
Aroma kopi menguar di udara, mengeluarkan bau rempah-rempah yang bercampur dengan lembut dan manis. Menggoda siapa saja untuk mencicipi rasa hangat dan kentalnya, merayu siapa pun agar mencecap nikmatnya pahit dan manis yang saling melengkapi. Namun, kopi ini tidak manis, Karina rasa begitu, karena ia tidak menuangkan gula sedikit pun.
Aromanya yang menyenangkan, mengingatkan Karina pada sang kakek karena selalu menyeduh kopi pahit di pagi hari. Hal itu membuatnya bernostalgia pada masa kecil.
Ia pernah diam-diam mencicipi minuman itu sedikit, tidak sampai satu sendok, tetapi efeknya membuat seluruh tubuh gatal dan menyebabkan ruam pada kulitnya. Sejak saat itu, Karina tidak pernah coba-coba lagi. Begitu juga dengan cokelat dan teh.
Hanya jeruk hangat yang bisa ia minum seumur hidup atau minuman lain yang tidak mengandung kafein. Nino juga tidak menyediakan teh dan cokelat di rumah. Ia hanya menyediakan kopi untuk dirinya sendiri dan beberapa botol jeruk peras untuk Karina yang disiapkan oleh Mbak Tika. Karina tinggal menyeduhnya jika mau. Dua botol kecil selalu habis dalam dua hari.
Karina meletakkan cangkir kopi itu di tatakan, lalu membawanya ke ruangan kerja. Ketika bersantai, pria itu lebih suka berada di ruangan itu dan menghabiskan waktu untuk membaca buku.
Karina duduk di samping Nino setelah menaruh cangkir kopi di meja. Ia memerhatikan suaminya yang tidak terganggu sama sekali dan tetap fokus pada bukunya.
Karina menunggu pria itu melihatnya, tetapi sia-sia. Ia mendesah pelan, lalu berdiri. Setelah itu, duduk di pangkuan Nino, hal itu membuat Nino terkejut.
"Jadi istrinya mau dianggurin aja, nih?" goda Karina.
Nino tersenyum, lalu menutup buku dan menyimpannya. Ia melingkarkan tangan di pinggang wanita itu.
"Jadi istriku ini merasa diabaikan?"
"Kamu kalau udah baca tuh lupa segalanya."
"Kamu juga begitu."
"Aku enggak."
Nino terkekeh. "Oh, ya?"
Karina tertegun sejenak, lalu tersenyum saat menyadari hal yang sama. Lalu, Karina melingkarkan tangan di leher Nino.
"Aku penasaran, kenapa akhir-akhir ini kamu manja begini? Apa ada sesuatu?"
Karina merenggangkan pelukan. "Enggak ada."
"Terus?" Nino mengangkat sebelah alis.
"Enggak ada apa-apa. Kalau gak mau, ya udah, aku gak akan begini lagi." Karina akan beranjak, tetapi Nino menahannya dan semakin mengeratkan pelukan di pinggang Karina.
"Kamu mau sesuatu gak?"
Karina mengernyit. "Apa?"
"Ini." Nino mendekatkan wajahnya lalu mencium bibir Karina.
Karina terkekeh sambil memukul pelan lengan Nino setelah melepaskan ciumannya. "Kirain apa."
"Mau lagi?" tanya Nino dengan suara lebih pelan.
Karina hanya memandangi Nino. Namun, dalam hitungan detik, bibir mereka sudah kembali bersentuhan. Nino tidak perlu menunggu jawaban ya atau tidak dari Karina. Wanita itu tidak akan menolak.
Bibirnya bergerak lembut, menciptakan rangsangan seperti aliran sungai yang mengalir tenang. Tidak terburu-buru dan tidak memaksa. Setiap detiknya ternikmati seolah tidak boleh terlewat sedikit pun.
Nino sadar tidak dapat memberikan sesuatu yang lebih dari ini. Namun, untuk kali ini saja, ia ingin melawan semuanya, ia ingin melawan ketakutannya, ia tidak ingin melihat raut wajah kecewa saat Nino menghentikan semuanya dengan tiba-tiba. Walaupun Karina tidak pernah berbicara tentang perasaan sebenarnya, tetapi ia tahu, karena dirinya juga merasa seperti itu.
Nino tidak lagi mencium Karina dengan ritme yang lambat dan Karina berusaha untuk mengimbangi. Bukan hanya sekadar ciuman, lumatan, gigitan, sampai isapan, ia lakukan. Lalu, tangannya beralih meraba sisi leher Karina, mengusapnya perlahan, terus turun, hingga berhasil membuka satu kancing piama wanita itu. Kemudian, kancing kedua, tetapi tangannya berhenti di kancing ketiga.
Ada ingatan yang melintas cepat di kepalanya. Mengganggu untuk menghentikan semua aktivitas normalnya. Jantungnya semakin cepat berdetak, bukan karena gairah yang semakin meningkat, tetapi karena ingatan itu. Teriakan, tangisan, dan saat itu napasnya terasa terhenti sejenak. Nino melepaskan tautan bibir mereka dengan paksa hingga Karina tersentak dan menatapnya bingung.
Napas Nino terengah-engah, tubuhnya sedikit gemetaran. Ia berusaha untuk mengembalikan kesadarannya.
"Maaf, Karin." Suara Nino bergetar.
Tersirat ketakutan di wajah pria itu saat Karina menatapnya. Bukan yang pertama Nino seperti ini. Mereka harus berhenti saat semuanya belum tuntas.
Karina turun dari pangkuan Nino, lalu duduk di sampingnya. Ia memeluk pria itu yang sedang memejamkan mata sambil menengadah. Tubuh yang sebelumnya tegang, perlahan rileks kembali.
***
Karina terbangun saat di sampingnya tidak merasakan kehadiran Nino. Ia beranjak duduk, menatap jam yang sudah menunjukkan pukul enam pagi. Ini hari minggu, biasanya Nino pergi joging di sekitar kompleks.
Karina jarang ikut, ia memang pemalas jika menyangkut olahraga. Nino sudah beberapa kali mengomelinya karena tidak mau olahraga. Ia tahu itu untuk dirinya sendiri, tapi rasa mager-nya lebih tidak dapat dibantah.
Telapak kakinya merasakan dingin ketika menjejak lantai. Ia keluar dari kamar sambil membawa mug yang sudah kosong. Namun, ia merasakan pakaiannya sangat longgar, setelah menunduk, matanya membulat. Ternyata ia lupa mengancingkan pakaiannya semalam.
***
Nino kembali ke rumah saat Karina sedang 'konser' di ruangan kerja. Ia masih memakai piamanya dan belum mandi, di kepalanya terpasang beberapa rol rambut. Nino membuka pintu lebih lebar, tetapi istrinya tidak menyadari kehadiran Nino di sana. Ia bersandar pada kosen pintu sambil melipat tangan di dada, memerhatikan sang istri yang sedang bersenandung ria.
Saat Karina berputar dan sedang menyanyikan lagu bagian rap yang tidak jelas liriknya. Ia menyadari Nino berdiri di ambang pintu sambil tersenyum. Karina terkejut sekaligus malu, karena tertangkap basah sedang menyanyi dengan suaranya yang tidak merdu itu.
"M-mas?" Karina segera mematikan audio komputernya. "Kapan pulang?"
"Udah cukup lama, sekitar sepuluh menitan." Nino berjalan menghampiri Karina.
"Ah." Karina tersenyum canggung. "M-mau aku buatin kopi?"
"Enggak usah. Aku bisa bikin sendiri nanti."
"Aahh." Karina mengangguk-angguk, ia mendadak kehilangan kata-kata di kepalanya karena kepalang malu.
"Sebentar lagi mau aku pergi, ada urusan sebentar."
"Kamu lembur hari ini?" tanya Karina cepat.
"Enggak." Nino tersenyum, lalu berbalik tanpa menjelaskan ke mana dia akan pergi.
Karina tertegun sejenak, memandangi Nino yang keluar dari ruangan itu.
Sejak tadi, Nino tidak banyak bicara. Karina melihat perbedaan yang sangat kontras pada sikap Nino pagi ini, sangat berbeda dengan hari-hari sebelumnya.
Karina sesekali mencuri pandang pada Nino yang sedang sarapan. Ia ingin bertanya, tetapi sejak tadi mulutnya seakan dikunci. Karina membuang napas pelan, lalu ia berkata, "Mas—"
"Besok aku harus ke Semarang. Kayaknya sekitar dua hari di sana." Nino memotong ucapan Karina yang baru saja memanggilnya.
"Oh? Bukannya minggu depan, ya?" Karina ingat jika Nino pernah berkata akan pergi ke Semarang beberapa waktu lalu.
Nino melirik sekilas. "Aku kan bilang minggu kemarin. Ya, berarti besok." Nino menuangkan air putih ke dalam gelas miliknya.
"Cuma dua hari kan, Mas?" tanya Karina.
Nino tersenyum. "Iya."
Entah hanya perasaannya saja, Karina merasa pagi ini terasa sangat canggung. Ia merasa tidak nyaman dengan situasi ini, ia merasa asing. Apa karena kejadian semalam Nino jadi seperti ini? Karina sangat ingin bertanya, tetapi kenapa ia malah takut. Ia tidak pernah membayangkan jika Nino banyak diam, suasana di sekitarnya terasa sangat suram. Apa semalam Karina menyinggung perasaannya? Rasanya ia tidak berkata apa-apa.